Selamat berimajinasi!
Jika ada orang yang bertanya, pernahkah kamu melakukan suatu kejahatan? Aku pasti menjawab, ya. Dengan penuh keyakinan. Bahkan, aku merasa jadi manusia paling jahat, diantara miliaran manusia jahat lainnya di dunia!
Ribuan memori silam mulai bermunculan, begitu aku menuntaskan halaman terakhir dalam buku diary yang bersampul jingga itu. Sementara satu helai memori yang paling ku sesali, masih terputar jelas rekamannya dalam nalar, melayang jatuh bersama air mataku yang mulai meluncur tanpa permisi.
"Saaas ... kamu mau tahu nggak? Barusan itu, aku habis nonton film. Sedih banget, loh. Filmnya mengisahkan tentang persahabatan antara dua orang anak perempuan yang bertemu di rumah sakit, serta dalam keadaan sama-sama menunggu kematian. Tahu kenapa? Mereka itu terdiagnosis penyakit serius. Coba, bayangin ... leukimia stadium lanjut loh, Sas! Kasian banget yaaa ... sampai-sampai aku nangis seember, terus diledekin mulu sama Bi Hanum!"
Celotehan panjang lebar itu mengubah atmosfer sekelilingku, yang tadinya senyap menjadi gaduh seketika.
Menghentikan pergerakan kuas di tanganku, aku menoleh. Mataku langsung bersitatap dengan bola mata hitam gelap yang berbinar.
Jelas. Dia, seseorang yang sengaja kuhindari sejak tadi.
Mata bulat yang mengerjap-ngerjap polos itu, sangat sesuai dengan tubuhnya yang jauh lebih pendek dan berisi jika dibanding denganku. Sementara, tubuhku cenderung kurus. Apalagi dengan tinggi badanku, yang terlampau jangkung dari remaja puber kebanyakan.
"Kamu, nggak bisa diam ya? Omonganmu itu, nggak penting banget, Sha. Memangnya, aku pernah bilang suka kisah kayak gitu? Udah jelas, nggak. Terlalu dramatis," aku menjawab dengan nada ketus, lalu kembali fokus pada aktivitas sebelumnya. Semoga saja itu cukup membungkamnya.
Bagaimana bisa, dia masuk ke ruangan pribadiku?
Sepertinya, aku melupakan satu hal. Dia selalu memiliki cara untuk mengganggu kehidupan damaiku. Kedatangannya sukses pula merusak suasana hatiku, menjadi ambyar seketika.
"Dengerin bentar Saaas, kamu pasti tertarik," pintanya dengan mata yang berbinar antusias.
Aku masih tidak tertarik.
"Soalnya ada satu adegan yang menurutku keren banget, pas salah satu dari dua anak itu bertanya, 'Seandainya ... Tuhan menganugerahkan sebuah keajaiban untuk kita berdua, sebutin satu hal yang hendak kamu ubah dari hidupmu?', terus kamu tahu nggak Sas, sahabat yang satunya jawab gimana?" dia berdeham sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan nada sok puitis, "'Aku ingin hidup lebih lama, mengenalmu jauh lebih dalam, merangkai mimpi bersama-sama. Hingga saatnya aku menutup mata, aku bisa membawa cerita indah persahabatan kita ke dalam liang lahat'. Romantis banget kaaan? Nah, kalau kamu gimana Sas, apa jawabanmu semisal ditanya begitu?"
Rupanya, dia tidak mau menyerah.
"Kalau kubilang nggak mau jawab?" cetusku sinis.
Matanya semakin membulat penasaran, "Yaaahh ... emangnya aku nggak boleh tahu ya?" keluhan anak itu, benar-benar berlebihan menurutku.
"Nggak. Lagian, kita juga bukan sahabat."
Dia memasang wajah cemberutnya, "Loh, Sas? Kok, bicara kamu ngawur banget, sih? Kita itu, lebih dari sahabat tau! Ikatannya malah lebih kuat, karena kita punya hubungan darah. Kamu, pura-pura lupa ya?" anak itu menyangkal omonganku, seolah baru saja mendengar ungkapan yang sangat tidak masuk akal, "ayolah Sas ... aku penasaran banget sama isi kepalamu. Jadi, apa jawabannya?"
Aku hanya menghela napas, lalu memutar bola mata. Ngeyel banget, sih!
"Saaas ...?" mata bulatnya kembali mengerjap, penuh harap.
Aku menatapnya datar, sekaligus tersenyum sinis. Tanpa berpikir jauh, aku sudah tahu keinginanku. Bahkan sejak lama. Baiklah ... jika ini yang ingin ia dengar.
"Pastinya mengubahmu," lolos kata dari bibirku.
Aku melihatnya terperanjat, dalam sekejap bibirnya membulat.
Tanpa mau tahu ekspresinya lebih banyak lagi, aku kembali memusatkan perhatian pada kanvas yang sedang ku tekuni. Lukisan seorang anak yang tengah dirangkul mesra oleh kedua orangtuanya, dengan latar taman bunga yang baru separuh jadi. Aku benar-benar memvisualkan sebuah keluarga kecil yang bahagia, pada lukisan yang kubuat itu. Seperti yang kuharapkan.
"Apa? Aku katamu? Kamu mau mengubahku seperti apa, sih?" tanyanya dengan nada jenaka, "Mm ... jangan bilang, jadi jin lampu ajaib, supaya permintaanmu yang akan terkabul nanti bertambah jadi tiga?
Beberapa detik setelahnya, telingaku langsung pekak. Sebab ia malah menyemburkan tawa, bahkan terpingkal-pingkal geli. Sepertinya ia hanya menganggap perkataanku sebagai sebuah lelucon.
Aku menatap tepat pada matanya. Sedikit menghela napas aku berkata, "Aku serius, Sha. Sangat serius malah ... aku berharap, kamu lenyap saja. Akan lebih baik, kalau kamu nggak pernah menyusup masuk dalam setiap momen hidupku Sha!" seruku dengan sangat mantap, tanpa diliputi setitikpun penyesalan.
Perlahan tawanya mereda. Anak itu mengusap kedua sudut matanya yang sedikit basah, sepertinya cairan itu keluar akibat tawa gelinya yang berlebihan, ia juga mulai mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya seolah berpikir keras, diakhiri dengan kepalanya yang mulai mengangguk-angguk takzim.
"Hmm ... menarik. Artinya, kamu lebih suka kalau aku mati ya? Aku tahu, kamu lagi bergurau, iya 'kan?"
Aku hanya terdiam.
Remaja tanggung seumuranku itu lagi-lagi mulai merengek jengkel, karena aku tak menanggapi rentetan pertanyaannya.
"Sas, ini mulai nggak lucu deh!" ucapnya menaikkan suara, sedikit terselip getar khawatir didalamnya. "Sekarang aku tanya sekali lagi," tukasnya dengan nada yang lebih dari serius, "kamu nggak sungguh-sungguh 'kan?"
Ku tembuskan tatapan tajam pada bola matanya, "Kamu kira, aku main-main?" tukasku dengan nada yakin, "aku serius Sha!" tekanku lagi.
Tiba-tiba, binar mata hitamnya berangsur redup, berkabut tebal, lalu berkaca-kaca.
Segera aku memalingkan wajah. Aku sungguh benci hal ini. Dia memang cengeng!
"Ke-napa Sas?" suaranya terdengar parau.
Pikiranku menerawang jauh, meraba hati kecilku yang mulai perih.
"Karena, perasaanku nggak bakalan sekacau ini, kalau saja kamu nggak hadir di sini ... di hidupku."
***
Authors Note :
Hai readers! Apa kabar? Semoga selalu sehat baik itu jiwa, raga maupun kantongnya hihi... semoga masih pada tebel ya!
Akhirnya prolog ceritanya selesai diupdate. Awalnya saya bingung mau membuat prolog atau tidak. Tapi akhirnya saya buat. Mohon maaf jika prolognya masih terkesan amburadul dan belum enak dibaca. Mungkin ini hanya prolog sementara. Jika ada waktu akan saya perbaiki lagi.
Bagaimana? Apakah prolog yang saya buat udah bikin kalian penasaran dengan isi ceritanya? Nantikan part pertamanya minggu depan, oke.
Kritik dan saran kalian saya tunggu ya guys! Sekaligus jika berkenan tinggalkan jejak votenya ya! Hehe😁
Sampai jumpa di part pertama senin depan!
Salam hangat,
🌹Aksarahma

KAMU SEDANG MEMBACA
Sashikirana
Novela Juvenil#1 in prosa(24/11/24) "Perihal luka yang tak menemu cara sembuhnya..." -Sashikirana Azure Maheswara- ☆☆☆ Sas sadar, hubungannya dengan orang tuanya jauh dari kata baik-baik saja. Satu insiden besar yang dahulu terjadi, begitu mempengaruhi kehidupann...