[1.1] Terjebak di Pesta

141 11 4
                                    

Orang-orang beserta seisi dunia, boleh saja menyebutnya harapan, mimpi, bahkan ilusi sekalipun. Sebab bagiku, itu sama saja. Segalanya selalu berlawanan arah dariku. Satu langkah aku memangkas jarak, justru mimpi-mimpi itu semakin berarak menjauh. Tidak mungkin tergapai lagi;

~Sashikirana~

***

LANGIT malam yang semarak. Disesaki gugusan bintang, juga benda angkasa lainnya yang mengerlip setiap satu detik sekali, seolah terasa memanjakan mata. Bulan purnama yang membentuk bulatan sempurna serta memancarkan cahaya lembutnya, turut tampil sebagai pelengkap. Sinar bulan yang begitu menenangkan. Mampu menyalurkan kehangatan pada hati siapapun yang memandangnya. Aku pun selalu suka memandang Bulan. Bahkan, bulan sudah seperti sahabat bisu di setiap malamku yang senyap.

Setidaknya, hal itu yang ada di pikiranku jika dalam keadaan biasa. Sangat disayangkan, semua itu tak mampu meredakan rasa gundah yang terus menerus mengusik hatiku. Detik ini.

Haruskah aku datang dan menyerahkan diri dengan sukarela, pada tempat yang sangat jauh dari zona nyamanku?

Alam bawah sadarku masih berkeliaran. Hingga, sebuah teguran lembut menerobos telinga.

"Non Sas... kenapa belum siap-siap?"

Aku menoleh pada orang yang baru saja memanggilku. Melepas pegangan tanganku dari pilar balkon, lalu memutar posisi hingga bertatap muka dengannya.

Aku memperhatikan orang itu sejenak, masih sedikit ragu, serta menimang-nimang keputusanku, "mungkin... sebentar lagi."

"Oh ... Bibi kira, non nggak jadi berangkat. Ada yang perlu Bibi siapkan nggak non?" tanya wanita itu, menguarkan aroma perhatian seperti biasanya.

"Memangnya Sas punya pilihan ya, Bi?"

Wanita bertubuh gempal, pendek, berbalut seragam khusus kepala pekerja di rumahku itu, menghela nafas paham.

Ia hanya tersenyum. Masih berdiri dengan aura keibuan yang selalu terpancar dari kulit wajahnya yang mulai keriput. Kulitnya tidak sekencang anak remaja lagi, termakan oleh usianya yang hampir menggenapi kepala lima. Setengah dari usianya sudah ia habiskan untuk mengabdi di keluarga besarku secara turun temurun. Sangat memahami pula seluk beluknya. Karena itulah, dia tidak menanggapi pertanyaan basa-basi yang kulontarkan barusan.

"Non! Lah, kok malah melamun?"

Aku sedikit tersentak, ketika tangan Bi Hanum mengibas-ngibas tepat di depan mataku.

Aku menggeleng pelan, "Kok, bibi masih disini aja? Apa bibi mau bantuin Sas dandan, nih? Bukannya... soal fashion, Bibi jauh lebih parah ya, daripada Sas?" senyum jenaka tersimpul di mulutku.

"Waduh ... Non Sas malah ngeledek Bibi, lagi. Ya wajar atuh non, sudah sepuh begini mana ngerti soal pesyen atau sejenisnya, sudah pasti itu mah bibi kurang tahu," ucapnya lalu tertawa renyah, "ya sudah atuh, karena kehadiran Bibi tidak membantu sama sekali, lebih baik bibi ngurus hal lain."

Sebagai respon, aku hanya mengangguk. Tak lama dari itu, jejak bibi sudah tak terlihat lagi dari hadapanku. Aku melirik jam dipergelangan tanganku, lalu mendesah pelan.

Jam 19:00

Setengah jam lagi.

Semilir angin mulai menabrak-nabrak tubuhku yang hanya berbalut kimono tipis, menimbulkan rasa dingin yang mulai merayapi permukaan kulit. Dengan sedikit terpaksa aku menyeret kaki dari balkon tempatku berpijak, menuju kamar tidur yang dihubungkan langsung oleh pintu kaca tebal serta berlapis.

SashikiranaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang