Ara menapakkan kakinya disekolah kembali. Sedikit tersenyum, ia menatap pemandangan asri dihadapannya. Mungkin itu yang membuat Ara betah sekolah. Ia sering bolos, tapi tak pernah menjahili gurunya lagi. Baginya sekarang, fokus lebih penting demi kelulusannya dijenjang SMA ini.
"Ara." panggil beberapa orang yang membuatnya langsung menoleh.
Diseberang sana atau lebih tepatnya di depat pos satpam sekolah, berdiri beberapa orang yang sangat dikenalnya. Ada Dito, Dodo, tak ketinggalan dengan El yang setia menyandarkan diri pada dinding tembok.
Ara yang baru saja memasuk gerbang, langsung saja berlari dan ber tos ria dengan mereka, seperti sebuah sapaan ketika bertemu.
"Dari mana aja lo, nggak pernah sekolah ya!" tuduh Dodo, yang langsung membuat kedua temannya melotot tak suka.
Ara tersenyum tipis. "Kangen lo sama gue."
"Aishhh... Enggak lah, tuh Pak Bos yang kangen sama lo." elak Dodo sambil menunjuk Dito yang baru saja menyandarkan dirinya juga.
Dito tentu saja menggeleng cepat tak terima. Apa-apaan ini? Ia yang menjadi umpan dari kebodohan sahabatnya yang satu itu. Ia takkan terima, meskipun hatinya menerima ucapan Dodo dengan lapang dada. Ini soal logika, dan ia tak ingin harga dirinya runtuh karena soal cewek.
"Lo fitnah gue? Istirahat nanti, lo nggak bakalan gue traktir lagi." Dito menyombongkan diri, ia mengambil dompetnya dari saku celana kemudian memamerkannya di depan Dodo.
Dodo mengangkat kedua jarinya tanda damai. Niat menabung untuk masa depan bisa sirna begitu saja, ketika dirinya tak lagi mendapatkan traktiran dari kedua sahabatnya itu.
"Damai Bos... Damai..."
El memilih untuk menjadi pendengar yang baik saja. Ia sama sekali tak ingin menjadi penengah dari kedua sahabat yang tengah beradu mulut itu. El menarik tangan Ara, dan membawanya kesuatu tempat. Meninggalkan dua orang sahabatnya yang masih adu mulut.
El tak ingin melakukan apapun. Hanya saja ia ingin berbicara serius dengan teman seperjuangannya dulu. Ada satu hal penting yang ingin dia katakan, bukan berarti di hadapan banyak pasang mata.
El sendiri mengajak Ara ke taman belakang sekolah. Terbilang sepi, karena tempatnya sudah di klaim agar tak di jajah oleh banyak murid. Tentu saja karena murid-murid sekolah ini tak berani melawan mereka terlebih lagi adalah Dito yang menjabat sebagai anak pemilik sekolah, alhasil taman ini menjadi tempat khusus ketiganya untuk bersantai ria.
"Lo apa kabar? Kemarin lo nggak pernah kelihatan di sekolah. Kemana? Atau lo punya tempat persembunyian sendiri?" El bersuara. Memberikan pertanyaan bertubi-tubi yang wajib Ara jawab.
Ara sendiri hanya memaklumi. Selain mereka muncul dihadapan mereka hanya sekali saja, ia pun jarang keluar dari kelas. Tentu saja karena seorang Nadia yang sanantiasa mengikutinya kemana-mana. Ia sungguh malu jika harus membawa Nadia di mana-mana.
Hal pertama yang Ara lakukan,adalah meletakkan tasnya di samping ia duduk, kemudian menatap El seolah-olah ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
"Seperti yang lo lihat sekarang. Gue dikelas terus, jadi lo nggak pernah lihat gue. Lo sendiri gimana kabar?"
Jawaban yang masuk akal. El bersedekap dada, kemudian manik matanya menatap lurus ke depan sana.
"Semenjak kejadian itu, gue nggak pernah baik-baik saja. Bukan berarti gue nggak baik-baik saja, gue harus pasang muka tembok kemana-mana. Sepenuhnya gue buka sifat yang dari dulu ada, dan menyampingkan keadaan gue yang sebenarnya itu."
Kalimat terpanjang setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Ara sendiri memilih untuk terdiam, mendengar setiap curahan dari mulut El yang keluar.
"Setelah lo pergi, gue ngerasa sangat bersalah lagi. Terlebih nggak ada lo, gue rasa beban yang gue pikul itu terlalu berat."
Ara menepuk-nepuk bahu El seraya menguatkan. "Ini bukan salah lo, salah gue, ataupun salah kita. Itu salah dia sendiri yang terlalu egois, sehingga membuat dia jatuh kejurang yang ia buat sendiri."
El tahu, itu bukan salah mereka. Tetapi...
"Lo tahu semenjak kejadian itu, banyak sekali yang terjadi setelah kepergian lo dari sisi gue ataupun dari sana."
Ara terdiam. Ia tak tahu apa-apa soal itu. Ia menatap El seolah bertanya, berharap bahwa El akan memberikan jawabannya untuk sesegera.
"Kekasihnya depresi yang akhirnya menghembuskan napas untuk yang terakhir kali."
Sebesar itu pengaruhnya, tetapi kenapa?
"Bukan hanya itu, Ibunya mengalami ganguan jiwa setelah mengetahui Anaknya yang menjadi korban. Dia dilarikan kerumah sakit jiwa karena terlanjur parah."
Ara langsung menatap kosong, begitupula dengan El. Kedua orang itu seakan tak ada dunia lagi, saling bertatap kosong tak ada satu pandangan yang menguatkan mereka.
"Gue jadi ngerasa bersalah." Ara memegang dadanya yang berdenyut cepat.
El sendiri sedikit menoleh kemudian tersenyum kecut. "Bukan hanya lo aja, gue juga sama seperti lo!"
Ara mengiyakan. Mimpi buruknya ternyata telah menjadi nyata sekarang. Pikiran-pikiran masa lampau yang mengingatkannya pada kejadian-kejadian itu, membuatnya seakan tak ingin menopang hidup.
"Kita harus kuat Ar, bukan kita yang bersalah tapi mereka." El menguatkan Ara, menguatkan dirinya juga dengan sepenuh hati.
"Merekanya siapa? Gue nggak tahu El."
Ara benar, ia menyandarkan tubuhnya begitu kasar kemudian sedikit bergumam. Tangannya pun enggan untuk melepaskan tangan Ara, begitupula sebaliknya. Keduanya sama-sama terjerumus ke masa lalu yang membuat keduanya merasa palung bersalah di dunia. Jika mereka tak terlambat menyelamatkan, pasti dia tak kenapa-napa sampai sekarang.
"Ekhhemmm... Ada bau-bau PHO nih?"
Ara dan El sama-sama menoleh. Sudah berdiri Dodo dan Dito dengan tatapannya yang tak bisa diartikan. Lirikan mata Dito menatap kedua tangan yang saling berpegangan, sehingga keduanya yang tersadar dari kebodohan mereka, sama-sama saling melepaskan.
"Ekhemmm... Bentar lagi masuk, gue balik kekelas dulu ya. Bye semua!" Ara mengambil tasnya, kemudian meninggalkan tempat itu. Demi menghindari rasa malunya, ia harus pergi secepat mungkin.
Belum saja ia melangkah, suara Dodo menghentikan niatnya untuk melangkah.
"Lo kelas apa Ar?" tanya Dodo yang ingin tahu.
"12-IPA 3. See you next time."
Ara berlari di sepanjang koridor. Memang jarak antara taman dan koridor sekolah saling berdekatan. Terlebih taman itu tak jauh dari kelasnya, jadi ia tak harus lagi berlama-lama di jalan. Baru saja ia di depan pintu, kegaduhan kelasnya membuat ia menghembuskan napas pelan.
"Aku nggak bisa ngerjain itu Kak. Tolong jangan ganggu Nadia lagi."
Suara yang sedikit bergetar itu, membuat dirinya mendesah pelan. Tak ada hiburan yang lebih keren dari ini apa? Ara bersandar pada pintu kelas, ikut menyaksikan aksi yang membosankan itu.
"Lo udah mau lulus, tapi nggak bisa perkalian kayak gini. Tolol!"
Ara tersenyum sinis. "Lebih tolol dia atau lo? Udah tahu dia bodoh, tapi masih aja dikerjain mulu."
Itu Ara. Nadia tersenyum kecil, meskipun ia sendiri sangat sakit hati dengan ucapan pedas dari mulut Ara.
"Lo?!" desisi beberapa orang yang aksinya telah diganggu.
Tett... Tett...
Nadia tersenyum lega, namun tidak bagi Ara. Ara menatap tajam beberapa orang itu, kemudian tersenyum sinis.
"Bel tuh, sana pergi. Dan lain kali, kalau mau kesini dan bully dia, cari bahan yang elit sedikit lah. Siapa tahu semuanya bisa terhibur."
Nadia menggigit bawah bibirnya. Ara ternyata lebih jahat dari yang ia kira.
*****
1111 Kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA (Completed)
Teen Fiction(CERITA SUDAH PINDAH DI MANGATOON) Aku dan kamu terikat dalam sebuah ikatan yang diwali dengan kata-kata, berbahan dasar Aksara. Cinta yang berawal dari sebuah aksara. Tidak saling mengenal, bahkan awalnya tidak saling mengetahui satu sama lain. Aka...