Akhirnya Rian tahu mengapa kamar yang satu itu berbeda. Ia sudah mendengar penjelasan dokter Risma, salah seorang dokter senior di rumah sakit tersebut. Pasien yang menghuni kamar itu adalah seorang pasien yang mengidap PTSD alias post traumatic stress disorder (gangguan pasca trauma). Sang pasien yang Rian lupa tanyakan namanya adalah korban kekerasan termasuk kekerasan seksual, sehingga ia akan diserang kepanikan jika melihat sesuatu yang mengingatkannya dengan kejadian nahas yang ia alami.
Tak terasa langkah kaki Rian menuntunnya kembali ke kamar itu, kamar VIP 101. Lagi-lagi kamar itu nampak sepi. Rian tak mendapati seorang pun di dalamnya. Ketika akan pergi, Rian melihat sebuah gelang tergeletak di atas meja di dalam kamar tersebut, sebuah gelang yang seketika itu juga mengingatkan Rian pada peristiwa di masa lalu.
Rian, ketika masih menempuh perkuliahan strata satu, ia diam-diam menyukai seorang wanita, teman kuliahnya. Benar kata orang tua dulu, cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan dan berjalannya waktu. Dinar, dialah wanita yang mampu membuat hati Rian tergerak. Wanita itu memiliki sifat yang periang dan suka bercanda, namun hati wanita itu juga amatlah peka.
Tidak jarang Rian mendapati Dinar diam-diam menyeka kedua mata dengan ujung jilbabnya tatkala mereka sedang menangani pasien karena setiap pasien pasti punya ceritanya masing-masing. Perasaan Dinar terlalu halus, sedikit saja tersentuh, maka ia akan langsung menangis baik karena sedih maupun karena merasa bahagia.
Suatu ketika Rian mendapati Dinar sedang mengobati seorang anak kecil. Ketika sedang memeriksa, sang anak sedikit menolak karena takut disuntik. Dinar memperhatikan sang anak perempuan dengan seksama. Ia tahu sang anak sejak tadi memperhatikan pergelangan kiri Dinar. Dinar seketika itu melepas gelang yang dipakainya dan memberikan kepada sang anak dengan syarat anak perempuan itu tidak menolak untuk disuntik. Anak itu pun mengangguk setuju.
Rian terus menyimpan perasaannya dalam hati selama 6 tahun. Ketika masa-masa akhir di kampus, Rian mulai mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya. Ia ingin menikahi wanita itu dan mengajaknya ke Jepang bersama-sama, wanita yang Rian tahu tak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun.
Tapi di hari ketika ia akan menyatakan perasaannya, di saat itu pula Dinar datang dengan wajah riang gembira, membawa setumpuk undangan yang ia bagikan kepada teman-teman sekelas. Rian juga mendapatkan undangan berwarna merah marun itu, undangan pernikahan Dinar.
-Bersambung-