Hampir satu jam Rian menghabiskan waktu membaca buku bersampul biru itu yang tak lain adalah buku harian milik Dinar. Silvi masih berada di sampingnya, menyempurnakan potongan-potongan cerita dalam buku itu.
Hati laki-laki itu terasa sesak. Ia merasa bersalah dan amat menyesal. Ia menyesal mengapa dulu ia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya dan mengajak wanita yang ia cintai hidup bersama. Ia menggenggam erat buku bersampul biru itu. Ada kemarahan di dalam dadanya. Rian bertekad akan memperbaiki kesalahannya yang dulu mulai saat ini.
“Aku titip Dinar. Kurasa, yang ia tunggu selama ini adalah kamu Rian.” Silvi bangkit dari duduknya. Ia masih menatap Dinar dari balik kaca.
“Aku akan melakukan yang terbaik. Terima kasih telah menceritakan semuanya.” Rian ikut berdiri. Setelah berpamitan, Silvi meninggalkan laki-laki berkacamata itu seorang diri.
Rian menatap Dinar dengan perasaan penuh iba. Ia memperhatikan Dinar yang kini berdiri dari dudukya dan berjalan menuju sebuah kamar pasien ditemani oleh seorang perawat. Rian kembali mengingat kenyataan yang baru saja ia ketahui dari buku harian Dinar dan cerita Silvi.
Empat tahun lalu Dinar menikah atas perjodohan kedua orang tuanya. Awalnya Dinar menolak dengan dalih masih ingin fokus melanjutkan kuliah ke jenjang S2, tapi dalih itu langsung dibantah oleh kedua orang tuanya bahwa menikah tidak akan menghambat apapun.
Karena terus terdesak akhirnya Dinar mengaku bahwa ia tidak ingin menikah karena ia telah menyukai laki-laki lain. Orang tua Dinar menantang anaknya untuk membuktikan kata-kata sang anak dengan membawa laki-laki itu ke hadapan mereka. Tapi di hari Dinar akan mengutarakan perasaannya kepada laki-laki itu, di hari yang sama pula laki-laki itu mengungkapkan dengan rasa bangga bahwa ia akan melanjutkan kuliahnya di Jepang dan akan fokus di sana. Dinar seketika mengurungkan niatnya. Ia sadar ternyata ia tidak punya kesempatan apapun pada laki-laki itu, laki-laki berkacamata itu, Rian.
Akhirnya Dinar menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya yang ternyata setelah menikah barulah Dinar tahu bahwa laki-laki itu juga terpaksa menikah dengannya. Bahkan laki-laki itu diam-diam masih berhubungan dengan kekasihnya setelah mereka menikah. Dinar yang sejak awal tidak mencintai dan tahu perselingkuhan itu menolak untuk ‘melayani’ suaminya.
Dinar meminta agar laki-laki itu menceraikannya saja. Tapi laki-laki itu menolak dengan alasan orang tua mereka ingin mereka seperti suami isteri yang lain, terus hidup bersama dan memiliki anak. Tapi Dinar menolak dan karena penolakan itulah laki-laki itu memaksa Dinar untuk melayani keinginannya. Ia diperkosa oleh suaminya sendiri ditambah setelahnya ia terus mendapatkan perlakuan kasar. Tidak jarang Dinar dipukul, ditampar, bahkan ditendang hanya karena kesalahan kecil.
Dinar tidak tinggal diam, ia melaporkan semua kelakuan suaminya itu pada orang tuanya. Malangnya orang tuanya malah menyalahkannya, menuduh penolakan Dinar sebagai sebab atas sikap kasar laki-laki itu. Orang tuanya memaksanya untuk menerima dan bersabar apalagi saat itu Dinar tengah mengandung. Orang tuanya berpendapat bahwa suaminya pasti akan melembut ketika ia tahu Dinar mengandung anak mereka.
Dinar mulai putus asa. Sikap lembut yang diharapkan dari sang suami tak kunjung muncul juga. Laki-laki itu malah tak peduli atas kehamilan Dinar. Ia terus melakukan kekerasan apalagi ketika ingin dilayani. Laki-laki itu telah menghancurkan semua harapan yang diimpikan oleh wanita malang itu. Ia tidak meneruskan kuliahnya karena kekerasan yang ia alami, ia pun tidak bisa bertemu dengan sahabatnya karena larangan dari sang suami. Sejak saat itu ia diam-diam menulis semua derita yang ia rasakan di dalam buku hariannya dan harapan-harapan yang ia pendam selama ini. Harapan hidup bahagia bersama laki-laki yang ia cintai.
Puncaknya, Dinar tak sadarkan diri ketika laki-laki itu lagi-lagi memukulinya. Darah begitu banyak keluar melewati kedua pahanya. Ketika sadar, ia telah di rumah sakit dengan badan penuh lebam, tulangnya terasa remuk dan yang paling terasa sakit adalah kenyataan bahwa ia telah kehilangan anak yang dikandungnya. Dinar berteriak histeris. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia membuka paksa infus di lengannya lalu berlari menuju meja dan melempar vas bunga hingga pecah berkeping-keping. Ia mengambil salah satu pecahan kaca itu dan menggoreskan ke pergelangan tangannya berkali-kali. Sekali lagi darah keluar dan mengalir deras. Ia lalu tak sadarkan diri. Ketika sadar, ia telah berada di ruangan yang baru, kamar VIP 101.
-Bersambung-