Rian mengikuti Dinar dan sang perawat dari belakang dengan sangat pelan. Ia ingat perkataan Silvi bahwa sejak tiga tahun di rawat di rumah sakit jiwa, kondisi Dinar hari ini sudah sangat membaik. Bahkan dari luar ia terlihat seperti orang sehat pada umumnya tapi tidak, ia masih seorang yang sakit. Ia masih belum bisa atau tepatnya menolak bertemu dengan orang tuanya, ia juga masih sangat takut untuk pulang ke rumah. Bahkan menatap tempat tidur masih selalu membuat dadanya sesak mengingat perlakuan kasar laki-laki itu yang kini telah mendekam di penjara.
Rian menghentikan langkahnya ketika sang perawat baru saja keluar dari kamar Dinar dan berpapasan dengannya di depan pintu. Segera sang perawat pamit untuk pergi mengerjakan tugas yang lain. Rian menatap dari luar pintu, ia melihat Dinar duduk di sova panjang dengan masih menggunakan jas putih kebanggaannya. Dinar menatap keluar jendela seperti sedang menunggu sesuatu.
Perlahan Rian mengetuk pintu itu, pintu kamar VIP 101. Dinar menoleh dan menatap laki-laki berkecamata itu. Dinar tersenyum bahagia.
“Kau sudah datang? Aku sudah lama menunggumu. Duduklah.” Dinar masih tersenyum dan mempersilahkan Rian duduk di sebelahnya. Rian menurut saja. “Kau tahu, mengapa aku ingin sekali menjadi dokter?” Lanjut wanita itu.
“Tidak. Mengapa?” Rian menimpali.
“Karena di negeri ini terlalu banyak orang yang sakit. Bukan fisiknya, tapi jiwanya…” Dinar menatap keluar jendela masih dengan tersenyum.
Rian yang mendengar perkataan Dinar sungguh tak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi ia tahan. Cepat-cepat ia menghapus air mata yang berhasil jatuh di pipinya.
“Hai…, kenapa menangis?” Dinar menegur Rian. Rian menggelengkan kepalanya, memaksakan senyum di bibirnya. “Bukankah seharusya wanita ini yang menangis? Dia sudah banyak melewati penderitaan.” Dinar meletakkan telapak tangan di dadanya. Rian berusaha sekuat tenaga untuk tegar. Laki-laki itu mengangguk empati.
“Tapi mulai hari ini ia tidak akan menderita lagi, mulai hari ini ia akan bahagia karena seseorang yang sejak dulu ia tunggu, kini telah datang.” Sambungnya memperlihatkan senyum pada laki-laki berkecamata itu, laki-laki yang sejak lama ia tunggu, Rian.
-Tamat-
_Nurhudayanti Saleh_ Independent Writer (Kamar Tercinta, 27/1/2017. Ketika menunggu terasa begitu lambat).
---
Terimakasih telah mengikuti dengan setia kisah Rian dan Dinar.Jangan lupa komen dan bintangnya ya 😉
Dan sampai jumpa pada kisah yang baru yang tak kalah mengharu biru 😍🙏