Capter 20 : Kehilangan

178 18 3
                                    

Jika memilikimu hanya sebuah nafsu. Lantas apakah pantas cinta ini aku pertahankan ?

Aku tersenyum dengan penuh ketabahan. Lagi-lagi aku terluka karena cinta. Seorang perempuan berseragam sekolah itu terus mencoba membuatku tersenyum. Aku terluka karena ucapanya.

"Gak papa Al." ucapku padanya.

Kalimat demi kalimat yang temanku ucapkan itu teramat melukai hatiku. Bagaimana tidak, aku telah berharap lebih namun sekarang aku di jatuhkan.

"Ka Rizqan gak mau nunggu lebih lama Rin. Andai aja kamu mau nerima sekarang." ucapnya lagi. Aku tau Alma pasti merasa tidak enak atas pesan yang di titipkan Rizqan untukku.

"Masih mau sekolah Al, Belum siap sekarang" ucapku terus terang.

Alma terus menatap wajahku. Rasanya ingin sekali menangis. Tapi aku harus terlihat kuat.

"Terus gimana respon kamu jika Ka Rizqan nikah sama orang lain ?" Tanya Alma meyakinkan.

Aku diam. Tidak berkata sepeser katapun.

"Rin?" Ucap Alma kembali.

"Iya"

"Berat sih Rin. Andai aku di posisi kamu. Pasti aku udah nangis." ucap Alma.

Seorang Alma yang terkenal kuat saya berkata seperti itu. Apalagi aku yang terbilang cengeng, rasanya sedih, sakit, pengen nangis. Tapi kali ini aku harus kuat.

"Gak papa Al. Nikah aja Ka Rizqan. Lagian aku suka sama Ka Jindan" Ucapku berbohong. Aneh, kenapa aku menyebut nama Jindan ? padahal aku tidak memiliki perasaan sedikitpun kepada lelaki itu.

"Ka Jindan Rin ?" Tanya Alma dengan mimik wajah bertanya-tanya.

"Iya Ka Jindan Al."

"Ka Jindan anak Abuya ?" Tanyanya lagi.

"Siapa lagi ? ya Ka Jindan anak Abuya lah" Ucapku tertawa.

Aku berada di titik terberat. Aku berbohong tentang perasaan lalu berpura-pura tertawa.

"Selera kamu tinggi ya Rin. Jauh lebih baik dia dari Ka Rizqan. Apalagi masalah pendidikan, Ka Rizqan hanya sebatas ustadz lulusan pesantren sini. Sedangkan Ka Jindan pendidikan tinggi, terus calon pemimpin pondok sini, anak Abuya, ditambah dia ganteng dan tajir" tutur Alma membandingkan antara Keduanya.

"Bukan gitu Al, Kan Ka Rizqan mau cepat, Aku gak bisa" Ucapku.

"Terus Ka Jindan?"

"Aku suka Ka Jindan sejak dulu" Ucapku berbohong lagi.

"Aku doakan kamu sama Ka Jindan. Cocok banget sih kelihatannya. Kamu kan cantik, keturuanan orang baik, terus sama-sama tajir, dan..."

Aku memutus ucapan Alma. "Udah Al, Kamu berlebihan" Kataku.

Setelah banyak berbincang. Alma terus menghiburku. Aku benar-benar berbohong masalah perasaan di hari ini. Kenapa aku menyebut nama Ka Jindan, bukan nama lelaki lain.

Jujur dari hati terdalam. Aku benar-benar tidak memiliki perasaan terhadap Ka Jindan. Aku tau ratusan santri purti pesantren ini mengidolakan Ka Jindan. Wajar saja, dia telah di pilih Abuya untuk menjadi penerus pesantren ini dengan adiknya sendiri- Ka Hasan.

📓📓📓

Yasmin mencoba tersenyum. Sekarang ia telah menikah dengan seseorang yang ia cintai. Seorang laki-laki yang telah menunggu cintanya sejak lama. Ia adalah Hasan adik dari ka Jindan.

Senyum itu terus menghias bibir mungil perempuan bernama Yasmin. Ia terus berpikir. Apa benar ia  telah menikah dengan laki-laki yang pernah ia tulis di buku pertamanya ?

Perjalanan cinta yang pernah ada di pikirannya benar-benar terjadi. Ia benar-benar telah menikah dengan adik dari cinta lamanya.

Selesai menulis : 22 Maret.

Tulisan itu aku selesaikan di sebuah buku tebal berukuran standar. Entah apa yang ada di pikiranku. Aku menulis nama Jindan dan Hasan dalam bukuku itu. Aku hanya berharap suatu saat aku bertemu dengan seseorang yang ada di ceritaku. Nama Jindan dan Hasan hanya sebuah hayalanku. Mengingat nama dua lelaki itu setidaknya mampu membuatku melupakan nama Rizqan yang sempat aku tulis di buku pertamaku. Aku pernah bercita-cita menulis lagi yang endingnya aku behagia dengan Rizqan. Tapi itu hanya hayalan. Nama Rizqan perlahan aku hilangkan. Hingga ia benar-benar hilang.

"Kak Rin, udah selesai gak ?" Tanya Ana- Anak kamarku.

"Iya nih, Kak Rin. Lawas banar ulun menunggui. ulun pemulaan pang membaca" (Udah lama aku nunggu. Aku pertama baca ya), ucap Rizqia dengan bahasa banjarnya.

"Ohhh, Gak bisa, Aku dong yang duluan" Cetos Ana.

"Kalonya kaitu, ulun barang badahulu" (Jika seperti itu, Aku aja yang duluan), ucap Shofia yang terbiasa dengan bahasa banjarnya.

"Ini bukunya. Ingat ya jangan banyak komen. Itu hanya hayalan. Gak ada di kehidupannyata" ucapku kepada mereka seraya menyerahkan buku.

Setiap harinya adik kelas yang ada di kamarku selalu meminta kelanjutan cerita Yasmin. Sebuah cerbung itu sering membuat mereka baper dengan sendirinya. Sebuah buku tulis itu menjadi mediaku untuk menyakurkan bakat. Lagi-lagi aku menulis. Padahal aku tau resiko di balik semua ini. Aku hanya berharap tulisanku tidak dibakar untuk kedua kalinya.

Jika pada tulisan pertama banyak yang benar-benar terjadi. Bagaimana dengan tulisan kedua ? apa itu juga akan terjadi di kehidupan nyata ?

Pikiran itu sesekali aku tepis. Aku tersenyum sendiri ketika memikirkannya. Mana mungkin anak abuya bisa suka sama aku yang teramat biasa. sedangkan mereka berdua teramat di idolakan oleh teman-temanku. Benar-benar hayalan di luar kenyataan.

📓📓📓

Hinak si langkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang