Chapter 5 : Nenek Sihir

3 1 0
                                    

Hampir semua kedai makan di kota ini kami datangi. Namun tidak ada yang nampak sesuai dengan kami. Seluruh kedai isinya hanya ada orang-orang kurang ajar dengan bau alkohol yang memenuhi ruangan.

Memang wajar untuk kota ini sebenarnya. Kota ini terkenal dengan tingkat kejahatan yang tinggi di kerajaan. Bahkan pernah terdengar rumor bahwa pihak kerajaan dan Asosiasi sudah memutuskan untuk melepas tanggung jawab terhadap kota ini.

"Ini adalah kedai terakhir," kata Francesco. "Kalau gagal lagi, kita akan pergi dari kota ini."

Benar seperti yang dikatakan oleh Francesco. Mau tidak mau kami harus menahan rasa lapar hingga tiba di kota sebelah. Aku merasa kalau kedai ini juga terlihat tidak begitu ramah. Dinding kedai ini sudah hampir rubuh. Nampak peyot seperti sudah mau hancur jika diterpa dengan angin.

Kami melangkah kaki masuk ke dalam kedai paling kecil di kota ini dengan berhati-hati. Francesco yang paling depan sembari dia membukakan tirai kedai tersebut. Setelah kami satu persatu masuk mengikuti langkahnya.

"Selamat datang!" sambut wanita paruh baya si penjaga kedai dengan sangat ramah dan sopan. Aku awalnya sedikit terkejut. Dari semua kedai yang kami datangi, baru ini yang bersifat seperti itu.

Tidak pengunjung sama sekali di dalam kedai ini. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang menyambut kami dan seorang gadis kecil yang sepertinya merupakan cucu dari wanita itu. Gadis kecil itu sedang membersihkan lantai dengan sapu.

Kami langsung menuju meja kosong—semuanya memang kosong— dan duduk dengan teratur.

"Mau makan apa, Tuan dan Nona sekalian?" tanya wanita yang itu dengan sangat ramah. Kami berpikir bahwa inilah kedai yang kami cari selama ini. Tidak ada pemabuk dan orang-orang kurang ajar.

"Marry, cepat kau layani pelanggan kita!" kata si nenek kepada cucunya tersebut. Gadis kecil itu lalu meng-iya kan perkataan sang nenek. Setelah dia merapikan sapu yang tadi dia gunakan, dia lalu menghampiri kami dengan membawa kertas dan pena layaknya seorang pelayan.

Sesampainya di meja kami, gadis itu terdiam. Dia nampak ketakutan saat melihat tombak biru besar milik Francesco yang dia letakkan di sebelah kursi makannya dengan sangat gagah dan sombong.

"M...ma...mau pesan apa, Tuan?" tanya gadis kecil itu dengan gugup. Mata terlihat sekali kalau dia sedang memperhatikan tombak biru itu. Francesco sendiri kemudian menyadarinya.

Francesco lalu mensenyumi gadis kecil itu. "Namamu Marry bukan? Marry tidak perlu takut," kata Francesco seraya memegang tangan gadis kecil itu ke tombak miliknya.

Gadis itu dengan wajah yang bingung ketakutan mengikuti saja perkataan dari Francesco dengan polosnya. Tangan kecil dari Marry menyentuh tombak biru itu. Awalnya dia nampak ragu, namun lama-kelamaan dia mulai terbiasa menyentuh tombak besar itu.

Marry semakin asyik menyentuh tombak tersebut hingga tiba-tiba neneknya menegurnya. "Jangan merusak barang milik pelanggan kita, Marry," kata sang nenek.

Marry kemudian melepaskan sentuhannya dari tombak biru yang gagah itu dengan sedikit perasaan terpaksa. "Mau pesan apa?" tanya gadis kecil imut itu menangi pertanyaannya sebelumnya.

"Disini dijual makanan apa saja?" tanya Sylvia kepada gadis imut itu seraya tersenyum. Mendengar hal itu, entah mengapa wajah dari Marry terlihat bersemangat sekali.

"Menu andalan nenek adalah sup iga sapi dengan bumbu rahasia. Itu adalah yang terbaik di kota ini," jawab dia dengan sangat antusias.

"Baiklah! Kami pesan 4 piring," timpal Francesco dengan tiba-tiba. Gadis itu lalu mencatat apa yang kami pesan di kertas yang dia bawa tersebut dengan sangat cekatan. Setelah itu dia pergi memberikan kertas tersebut kepada sang nenek.

Black Zokudan [vol 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang