EPILOG

13 0 0
                                    

Januari, 2019

Jadi, sudah dua tahun, ya? Ternyata waktu berjalan sangat cepat. Kalau aku punya mesin waktu, aku akan kembali ke masa ketika kita bersama, Rak. Ketika akhir pekan tiba lalu kita pergi seharian menaiki motormu. Ketika pagi, kamu mengajakku makan nasi uduk dekat rumahmu. Lalu pergi membeli es cendol di siang hari dekat taman kota. Lalu sambil menunggu sore tiba, kita duduk di dalam kafe. Sekedar mengobrol, bercanda riang, mentertawakan orang-orang di dalam kafe, atau menemanimu mengerjakan tugas.

Lalu ketika sore tiba, kita kembali ke taman kota. Biasanya aku beli gulali Bang Maun. Lalu kamu ajak aku duduk di depan air mancur taman sambil melihat anak kecil bermain dengan ibunya. Kamu selalu bilang kalau anak kecil itu adalah makhluk paling bahagia di dunia ini. Karena ia tidak pernah memikirkan rumitnya cinta.

Setelah itu pasti aku menyangkal. Aku akan bilang "tidak enak menjadi anak kecil, aku jadi tidak bisa mencintai kamu."

Terus kamu akan jawab "ih, kamu jayus. Tapi lucu."

Setelah itu kamu cubit pipiku dengan gemas. Katamu, pipiku seperti jeli. Kenyal dan gembul. Aku selalu kesal tau kalau kamu bilang aku gembul. Makanya setelah itu aku cubit pinggang kamu. Terus kamu kayak cacing dikasih garam karena geli.

Lalu ketika malam tiba, kamu ajak aku menaiki bianglala. Jujur, aku takut ketinggian. Tapi karena ada kamu di samping aku dan kamu setia pegang tanganku ketika di atas, keberanianku muncul. Aku bahkan berani melihat ke bawah.

Raka, itu sangat indah ya? Sampai sekarang aku tidak bisa melupakan itu semua. Hatiku juga tidak pernah berubah. Aku memang pergi mejauh darimu, Rak. Tapi bukan berarti aku tidak mencintaimu.

Terakhir kali aku dengar kabarmu, katanya kamu sedang sibuk bekerja. Kamu banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kerjamu, ya? Rendi bilang kepadaku kalau sejak kita berpisah di Bandung, kamu mulai menyibukkan diri. Tapi kadang katanya kamu masih sering menangis. Ya, kalau kamu ingin tahu aku juga masih sering menangis. Bahkan saat aku menulis ini, aku menangis, Rak.

Sungguh, Rak. Aku rindu padamu. Aku rindu pelukanmu. Aku rindu tanganmu yang merangkulku. Aku rindu ketika kamu mencium keningku lalu bilang "aku mencintaimu." Aku rindu semuanya, Rak. Semua tentangmu, tentang kita.

Kalau aku punya alat untuk memberhentikan waktu, akan aku hentikan waktu saat kita bahagia dulu. Supaya tidak ada yang datang merusak kebahagiaan kita.

Kalau aku punya alat untuk memberhentikan waktu, akan aku hentikan waktu ketika terakhir kali aku memelukmu di Bandung.

Entah sampai kapan aku seperti ini, Rak. Padahal aku sudah berjanji untuk hidup bahagia. Aku tidak punya batasan apapun untuk mencintaimu. Tidak ada rambu untuk berhenti mencintaimu, merindukanmu.

Aku akan terus berusaha untuk hidup bahagia. Sebenarnya, sudah ada laki-laki yang mendekatiku. Tapi aku masih belum siap untuk menjalani fase itu. Tapi aku akan mencobanya, Rak. Aku harap kamu bisa bertemu sosok lain yang lebih dariku. Semoga dia bisa membuatmu lebih bahagia dariku.

Ps: sepertinya dalam cerita ini kamu lah layang-layang itu, Rak.

Noviana Aramita

Layang-Layang Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang