BAGIAN SATU

55 2 2
                                    

Pertemuan Tidak Sengaja

Pagi ini, aku duduk bersandar di kursi kayu ditemani segelas susu cokelat hangat. Handuk putih kecil melingkar di leher jenjangku yang dipenuhi keringat. Rambut hitam legam yang panjang ini sengaja aku ikat buntut kuda supaya terlihat lebih rapi. Jam tangan berlogo hewan buaya ini menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit. Menandakan seseorang yang aku tunggu sebentar lagi tiba dan duduk di hadapanku.

Aku Noviana Aramita. Gadis berusia 25 tahun. Bekerja sebagai guru Biologi di salah satu tempat kursus di Jakarta. Memiliki paras yang lumayan cantik, itu pun juga kata ibuku.

Aku biasa dipanggil Ara atau Novi. Anak kedua dari tiga bersaudara. Memiliki satu kakak laki-laki bernama Arik Santoso berumur 30 tahun dan satu adik laki-laki bernama Fernando Athalas berumur 22 tahun.

Keluargaku sangat harmonis, walaupun ayah kami sudah tiada. Ibuku seorang janda yang tak ingin mencari pengganti sang suami yang katanya, tiada duanya di dunia ini.

Mungkin sudah cukup dengan pengenalan keluargaku.

Orang yang aku tunggu datang. Arakas Widyautama. Sesuai dengan namanya, ia anak pertama dari lima bersaudara. Mempunyai tiga orang adik perempuan dan satu adik laki-laki.

Raka adalah laki-laki yang sangat spesial di kehidupanku sekarang. Sudah enam bulan lebih dia menemaniku disaat aku sedih. Menemaniku disaat aku lelah dan hampa. Menemaniku disaat aku membutuhkan bahunya untuk bersandar.

Ya. Raka adalah pacarku.

Raka tak pernah berubah walaupun sudah enam bulan kita bersama. Ia selalu sama seperti kita baru menjalani hubungan ini. Memberikan kabarnya, menanyakan kabarku,  menjemput aku seusai aku mengajar, mengajakku jalan santai sore hari disetiap minggu.

Raka tak pernah berubah.

Namun, kali ini, saat laki-laki tinggi itu masuk ke dalam kafe, dia keliatan berbeda.

Ia tampak seperti tak sedang mencariku. Ia tampak seperti sedang mencari sosok lain. Biasanya, ia sudah tahu di mana aku duduk. Meja inilah tempat langganan kami. Dari wajahnya terlihat jelas Raka lebih bahagia dari biasanya.

Ia berdiri dan mengambil ponselnya. Aku berharap, orang yang Raka hubungi itu adalah aku. Aku berharap, ponsel pintar yang ada di hadapanku ini bergetar, mengalunkan irama bel sepeda.

Namun, dugaanku salah.

Ponselku tak kunjung bergetar sedangkan Raka sudah tampak berbicara dengan orang itu. Tak sampai satu menit, Raka bergegas berlari ke arah ku. Aku sudah sangat senang. Akhirnya, dia menghampiriku.

Aku sengaja berpura-pura memegang ponselku. Berlagak kalau aku sedang serius memainkan ponselku dan saat dia datang, aku akan terkejut.

Namun, untuk kedua kalinya, dugaanku salah.

Raka dengan santainya, seperti angin sore hari di tepi pantai, melewati mejaku sambil berteriak memanggil nama seorang perempuan yang sangat asing untuk telingaku dengar.

Jantungku serasa jatuh meluncur masuk ke dalam perut. Saking senangnya dia, Raka tak menyadari kalau ada aku di sini menunggunya. Duduk dengan gelisah kenapa dia tak menyadari kehadiranku.

Ada apa sebenarnya?

Aku menoleh ke belakang. Dua meja dari mejaku terdapat sesosok wanita dan Raka. Aku tak tahu bagaimana bentuk wajahnya karena wanita itu duduk membelakangiku.

Tampak sangat jelas kalau Raka sangat bahagia bisa duduk di hadapan wanita itu. Senyum Raka tak pernah lepas saat berhadapan dengan wanita itu.

Aku berpindah tempat duduk. Menyejajarkan posisiku seperti wanita itu. Aku masih setia duduk diam memperhatikan mereka yang terlibat perbincangan serius.

Layang-Layang Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang