BAGIAN TIGA

9 0 0
                                    

Awal Mula dengan Anis

"Aku nggak mau tau lagi, Rak. Intinya kita putus." Anis pergi meninggalkanku yang diam mematung tanpa bisa menahannya untuk pergi.

Aku tahu, ini semua akibat kesalahanku yang gagal untuk membuktikan kalau aku layak bersandar di sebelah Anis. Aku gagal membuktikan kepada ayahnya kalau aku pantas untuk menikahi gadis semata wayangnya.

Semuanya karena satu: aku tidak sengaja membatalkan pertunanganku dengan Anis.

Sekarang, aku sedang berada dimasa persiapan perang dunia ke-tiga. Menyiapkan mental, bahan presentasi, dan ilmu yang aku dapatkan selama tiga tahun.

Kalian benar. Aku sedang mengerjakan skripsi-ku untuk sidang nanti.

Dua minggu lagi sidang akan dilaksanakan. Sementara satu minggu sebelum sidang, acara pertunanganku dengan Anis dilaksanakan.

Aku kewalahan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan agar aku bisa melaksanakan pertunanganku sekaligus menyiapkan skripsiku yang hampir selesai.

Beberapa bulan terakhir ini aku memang sedang tidak fokus membahas pertunanganku dengan Anis karena aku lebih fokus memikirkan sidang skripsiku. Anis merasa mungkin aku terlihat menyepelekan acara ini dan tidak sungguh-sungguh ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Mungkin juga keluarga Anis, terutama ayahnya merasa seperti itu. Dengan terpaksa, akhirnya aku memutuskan untuk membatalkan pertunanganku dengan Anis.

Sebenarnya, aku tidak bermaksud untuk membatalkan melainkan mengundur waktu pertunangan. Tapi, keluarga Anis salah kaprah. Mereka menganggap kalau aku membatalkan pertunangan ini. Mereka juga menganggap kalau aku hanyalah laki-laki yang penuh dengan kepalsuan hati.

Aku geram. Bukan itu maksudku. Aku menjelaskannya dari awal sampai akhir. Tapi mereka semua sudah tersulut api kemarahan. Akhirnya, tanpa sadar dan diluar kendaliku, aku menggebrak meja tamu dan berlalu pergi meninggalkan rumah Anis tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Dan aku yakin, mereka semua sudah tidak ingin lagi berhubungan denganku.

Termasuk Anis.

•••

Esok hari.

"Aku ada di depan kost. Keluar sekarang dan jangan banyak bertanya."

Telepon ditutup secara sepihak. Aku keluar dengan membawa handuk yang melingkar di leher.

"Ada apa?" Tanyaku kepadanya.

"Apa yang kamu lakukan kemarin di depan ayahku, sudah menjadi satu bukti kuat kalau kamu tidak pernah serius untuk melamarku."

Aku terkejut. Masalah itu rupanya.

"Aku tidak bermaksud untuk melakukan hal itu. Semua itu ada di luar kendali aku. Aku hanya kesal karena kalian semua, keluargamu, termasuk kamu, mengartikan perkataanku dengan salah."

"Salah apanya? Jelas-jelas kemarin kamu mengatakan kalau kamu ingin membatalkan pertunangan kita--"

"Aku tidak membatalkan pertunangan. Aku hanya mengundur waktu pertunangan sampai aku selesai sidang, Anis."

Anis terkejut. Tanda kalau ia lupa hal itu.

"Kamu lupa kalau aku masih ada tanggung jawab yang besar sebelum kamu?" Tanyaku padanya. Sungguh hal tidak masuk akal apa lagi ini? Anis jelas-jelas terkejut akan fakta bahwa aku akan sidang. Tidak bisa ku percaya ini. Tunanganku sendiri lupa bahwa aku akan sidang skripsi?

Ia menjawab. "Ayahku sudah kecewa denganmu, Raka. Ayahku sudah kecewa dengan kelakuanmu yang menggebrak meja itu. Ayahku sudah tak ingin kamu berhubungan denganku lagi."

"Jadi, kamu menuruti perkataan ayahmu?"

Anis mengangguk. Aku maju selangkah untuk melihatnya lebih dekat. Untuk kembali menanamkan kepercayaan pada dirinya bahwa aku memang pantas memilikinya seutuhnya.

"Aku bisa buktikan lagi kepada ayahmu kalau aku memang pantas, Anis. Sekarang pun aku akan buktikan kalau aku..."

"Nggak ada lagi yang harus kamu buktiin, Rak. Kamu lebih milih skripsi kamu daripada aku."

Aku diam. Pernyataannya sungguh tidak masuk akal.

"Bukan itu maksudnya, Anis. Tolong hargai aku sekali ini aja. Aku butuh persiapan yang matang untuk sidangku ini. Sidang ini termasuk hidup dan mati. Kalau aku gagal menjalankan sidang ini, aku harus mengulang lagi. Aku nggak mau ngulang lagi, Anis.

"Lagipula, ini juga untuk persiapan masa depan kita. Aku lulus S1, lalu aku cari kerjaan, dan aku akan menabung untuk kehidupan kita kelak. Ini semua aku jalanin demi kamu, demi keluarga kecil kita nanti, Anis."

Aku memeluknya. Membenamkan kepalanya di dadaku. Mengelus punggungnya yang ringkih.

"Tolong, An. Beri aku satu kesempatan lagi untuk membuktikan kalau aku pantas bersanding dengan kamu. Dan membuktikan kalau aku tidak membatalkan pertunangan, melainkan mengundur waktu pertunangan. Aku tidak pernah main-main denganmu, An.

"Aku sayang kamu, Anis. Kamu itu cinta pertama aku. Seumur hidup, hanya kamu yang mampu mencairkan hati dingin ku ini. Tak ada yang lain. You are the one and only for me, An."

Anis mundur dua langkah. Ia menangis. Dan ia menggeleng kuat. "Aku nggak mau lihat kamu lagi, Rak. Aku nggak mau tau lagi, Rak. Kita akhiri saja hubungan kita sampai di sini. Selamat tinggal, Raka."

Anis pergi meninggalkanku tanpa berniat untuk kembali.

An, kenapa kamu semudah itu untuk pergi? Tolong kembali, aku membutuhkanmu.

Layang-Layang Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang