BAGIAN EMPAT

3 1 0
                                    

Awal Mula dengan Ara

Satu kata untuk menanggapi ini: diam.

"Ara?"

"Abis itu, kenapa kamu bisa cinta sama aku dan kenapa kamu ngelakuin semua ini?"

●●●

Saat ini aku sedang mengendarai sepeda motorku menuju kafe di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mengendarai motor sambil menembus masa lalu melintasi ruang waktu. Mengingat kejadian dua tahun aku bersama Anis. Kisah manis penuh warna yang selalu menemani kami berdua. Berbagai kejadian hitam-putih mengitari hubungan cinta kami. Tidak ada satu pun yang berani menyerah. Kami selalu menghapadapinya. Bersama-sama.

Rasanya bagai mimpi di siang hari bahwa sekarang kami sudah tidak lagi berhubungan. Dua hari setelah Anis menyatakan untuk mengakhiri semuanya, terasa sangat asing bagiku. Semuanya terlalu cepat. Amat sangat cepat hingga aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Motorku melaju memasuki area basement. Mencari satu tempat kosong untuk motorku letakkan. Hingga bagian ujung yang bersedia untuk menampung motor hitam tua ini.

Telepon genggamku tiba-tiba bergetar. Menunjukkan satu nama yang tidak asing lagi.

"Udah di mana lo? Gue udah nyampe kafe."

Dia Rendi. Teman kuliahku yang paling ajaib. 

"Gue udah di basement. Pesenin gue mocha float sama roti cokelat dua. Lo yang bayar. Gue lagi bokek."

"Putus sih putus, tapi duit masa putus juga. Payah lo."

"Bacot amat, deh. Udah buruan pesenin. Nanti uangnya diganti."

Aku memutuskan sambungan telepon. Lalu berjalan menuju kafe tempat Rendi menunggu. Saat aku sampai di sana, Rendi sudah duduk dengan makanan yang tadi aku pesan.

"Thanks, Bro. Kayaknya gue harus sering-sering putus cinta deh biar ditraktir sama lo."

Rendi memukul kepalaku. "Bocah kalo dikasih semen jadinya gini, nih. Otaknya gila, sedeng."

Aku tertawa miris. Lantas diam, berbicara dengan pikiranku.

"Woy! Buat apa lo ngajak gue ke sini kalo ujung-ujungnya gue dianggurin?" Rendi memukul lagi kepalaku. Anak ini benar-benar. Kepalaku selalu jadi sasaran empuknya.

"Ya wajar sih orang galau cuma diem. Lo duduk aja temenin gue galau. Terserah lo mau ngapain. Yang jelas ada badan lo di depan muka gue."

Rendi menggelengkan kepalanya. Heran. "Emang lo ngapain sih sampe bikin gagal tunangan sama Anis?"

Aku menghembuskan napas. Gusar. Lalu aku ceritakan semuanya kepada Rendi. Rendi diam. Terkadang mengangguk, menanggapi. Aku selalu terbuka dengannya. Apapun masalahnya, selalu aku ceritakan padanya. Rendi sudah aku anggap saudaraku sendiri. Kemanapun aku pergi maka Rendi harus ikut. Begitupun sebaliknya. Tiap tahun pada saat liburan, Rendi selalu aku ajak ke kampung halamanku di Yogyakarta. Setelah itu aku pergi ke kampung halaman Rendi di Bandung. Ya, sedekat itulah kami.

"Kalo menurut gue, mereka terlalu egois. Karena mereka ga mikirin tentang lo yang sebentar lagi mau sidang. Ya mungkin karena rasa cinta seorang ayah ke anak perempuannya terlalu besar, jadi over protective ke lo. Maybe, ayahnya ngga mau anaknya kecewa ataupun sakit hati. Makanya pas lo bilang mau mengundur tanggal pertunangan, ayahnya ngira lo main-main. That's the point.

Layang-Layang Tanpa ArahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang