KATAMU KITA TERLARANG

5 1 0
                                    

Aku dan kamu adalah dua insan yang sedang menghindari sebuah pertemuan. Kita ada di satu jalan. Sayangnya, arah kita  berlawanan.  Saat bertatap muka seolah kita tak pernah mengenal. Padahal, jauh sebelum kejadian dahsyat itu kita adalah dua orang yang tak dapat terpisahkan.

Aku pernah kau buat menangis. Bukan sebab kau menyakitiku namun, hanya karena sebuah pertanyaan singkat darimu “Andai Tuhan mengambilku lebih dulu apakah kau akan menerimanya?” tanpa kata apapun air mata berbicara namun bisu. Hanya genangan bening yang mau muncul dari lipatan kelopak. Yang tergambar sudah tanah merah, batu kubur tertera nama dan taburan bunga yang melukis kedukaan. Dan aku masih ingat, kala itu kau tak lagi mau meminta jawaban atas pertanyaan. Kau meraih tanganku, mendekap tubuhku, dan kecup mendarat di dahiku.

Dahulu aku lah si egois yang meminta kita harus tetap bersama dan kamu adalah si penerima keadaan di mana titik tetap harus titik. Aturan tetap aturan. Dan adat tetap lah adat. Hingga memperjuangkan hubungan ini kau tak mau. Kamu selalu takut akan hujatan orang dan keluarga. Sekali lagi aku saat itu masih menjadi si egois yang harus menang. Aku berusaha meyakinkanmu bahwa kita pasti bisa melewatinya. Bahagia kita yang ciptakan bukan apa yang dikatakan orang.

Lagi dan lagi. Kau masih kokoh dengan fondasi yang kau buat saat itu untuk membiarkan hubungan kita tanpa kejelasan. Sedang aku sebagai wanita tak mau kau biarkan tanpa kejelasan hubungan seperti ini. Aku tengah berlari namun kau tetap saja berjalan lamban. Aku telah berteriak menggemakan suara namun kau berbisik tak ingin orang lain mendengar tentang kita. Aku berjuang namun, kau diam.

Hatiku masih teguh. Aku selalu yakin semesta itu baik. Dan pasti akan mempersatukan kita di satu titik terbaik pula. Kamu selalu bilang kita adalah sebuah larangan, kita adalah ketidakmungkinan, kita adalah kemustahilan, dan alasan lain untuk tak pernah bisa bersama. Perlahan kau hancurkan keteguhanku untuk tetap tinggal. Keyakinan-keyakinan itu perlahan kau lunturkan kemudian hancur. DAN AKU KALAH

Seiring waktu aku sadar, apa yang terucap dari bibir mungilmu itu benar. Mana mungkin  seumur hidup kita akan kuat dengan hujatan orang yang akan menyiksa batin? Lalu aku menjauh. Yang semula aku berlari kini diam pada satu titik, yang dahulu berteriak dengan tujuan didengarkan kini membisu tanpa satu kata. Aku lari dari keegoisan menjadi wanita yang mencintai kesunyian. Iya, kesunyian tanpa kamu. Membiasakan diri melakukan apapun tanpa kamu, membiasakan tak menerima dan memberi sebuah kabar darimu, serta semua kebiasaan yang pernah kita lakukan berdua.

Malam itu kamu datang. Menyergap aku dengan ketidakrelaan. Tidak terima bahwa menjauh adalah keputusan dariku. Sekarang apa yang kau mau? Kamu yang lebih dulu mematahkan segalanya. Memutuskan seenaknya. Dan saat hati sudah ada pada pusat kerelaan malah kau yang tak rela. Kukira aku lah yang paling egois ternyata kau lebih egois. Kamu datang dan pergi seenaknya, menarik ulur hatiku semaunya. Kau pikir aku ini apa? Bonekamu? Hatiku berhak diberi kepastian. Bukan diambang pada pengharapan. Cintaku padamu dulu terlalu buta sampai tersakiti mau saja. Jadi, jangan memaksaku untuk tetap tinggal sekarang karena kamu pernah memintaku untuk meninggalkan.

Kamu menjilat ludahmu sendiri. Mencoba memadukan dengan ucapan-ucapan tajam yang sebenarnya sudah tak layak untuk dikunyah. Hanya akan menimbulkan lumuran darah semakin parah dan lidah mati rasa. Kau tetap melakukannya. Mungkin berharap ada iba dari dalam hati. Tetapi sayangnya, aku sudah tak memiliki hati. Kini, aku telah bahagia dengan kesendirian. Jangan pernah coba-coba menyusup masuk.

Meski kau tawarkan bahagia yang memuncak aku tetap akan tinggal pada sebuah keputusan SENDIRI.
Bukankah kau paling tau, bahwa diri adalah si egois yang ulung?
Maka maaf, aku (PERGI) tanpa memperdulikan (HATI).

PREFELENSI LAKONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang