PELARIAN HATI YANG MENETAP

30 6 2
                                    

Hari ini aku tengah berada di tempat pertama kali kita jumpa. Mengenang kembali betapa lucunya pertemuan itu tanpa sengaja. Senyum tiba-tiba ikut hadir membayangkan betapa dulu kau takut untuk mendekatiku. Hanya melontarkan tatap dan senyum yang membuat aku bingung, sebenarnya kau sedang tersenyum kepada siapa di antara kegaduhan banyak orang ini?

Tetiba seorang pelayan menghampiriku. Memberi sepucuk surat yang berisikan seuntai puisi. Aku semakin bingung. Kemudian bertanya siapa yang memberikan ini? Si pelayan pun menunjukmu. Akhirnya aku paham siapa yang sedari tadi sedang kau pandang. Tak lama kemudian kau datang kepada ku. Mengulurkan tangan perkenalan dan membahas topik untuk berbincang. Kala itu kau sendiri aku pun juga. Di tengah keterlukaan itu kau hadir memberi setumpuk tawa untuk mengobati. Membuat aku mudah percaya dan membuka hati lagi.

Terkadang aku tak mengerti apa yang inginkan hati? Aku bimbang, menerimamu ini sebuah perasaan atau pelampiasan? Bila sebuah perasaan, apakah semua secepat ini? Jikalau ini pelampiasan, mengapa tega aku melukai hati? Pertanyaan-pertanyaan itu masih mengiang dalam otakku. Terus berputar bagai bianglala yang berharap akan berhenti tepat pada waktunya.

Namun, aku sadar. Seseorang yang berani memutuskan bersama kita tak boleh kita lukai hatinya dengan beralasan masa lalu yang menyakitkan. Kita berada di masa sekarang. Bersama orang baru, kisah baru, kehidupan baru, dan semuanya tak boleh dihancurkan oleh masa lalu. Masa lalu telah jelas menyakiti lantas mengapa mengorek lagi?

Kehidupan berjalan maju bukan mundur. Di sela-sela aku menyelami itu, kamu selalu ada bahkan untuk menerima semua amarah yang jelas-jelas bukan kamu penyebabnya. Kamu tau, aku selalu merasa bersalah setelah melampiaskan amarah kepadamu. Tanpa berdosa ujung-ujungnya aku selalu bertanya, “Apakah kamu marah?”. Dengan kelembutan suara yang khas kamu selalu bilang, “Tidak, kamu membenci aku sekalipun aku tak akan pernah bisa marah kepadamu. Aku yang memilihmu, maka biar aku juga yang meredammu.” Jawaban itu menyesakkan hati. Bagaimana bisa kamu setulus itu mencintai seorang wanita yang bahkan melupakan masa lalunya belum bisa.

Kata kebanyakan orang, mata adalah bahasa tubuh yang paling jujur, jendela hati, dan kau akan mengerti keseriusan seseorang hanya dari matanya saja. Akhirnya, aku memutuskan untuk menatap dalam-dalam mata indahmu. Dan aku menemukan satu hal yaitu ;Keteduhan.

Di ujung senja yang akan membawa pergi bayangmu, aku sadar bahwa bersamamu aku harus mengarsipkan masa lalu. Petang itu, di kerumunan kota aku menggenggam tanganmu. Tak ingin kau pergi bersama hilangnya senja. Seiring berjalan waktu aku sadar, kehilangan seseorang yang tulus sepertimu adalah hal paling menyakitkan dibanding dengan masa lalu yang terus aku salahkan. Kesakitanku mungkin butuh pelampiasan tetapi bukan kamu sebagai tempatnya.

Sejak menyadari hal itu, sikapku berubah. Katamu aku lebih manja dari biasanya, lebih meminta waktu yang luang terisi oleh kita, dan tak pernah membiarkan tengkar oleh persoalan. Berkali-kali aku mendapatimu tersenyum setiap memandangku. Asal kau tau, meski telah lama bersamamu aku masih saja tersipu malu. Tak jarang pula kamu memilih untuk mencubit dua pipiku kala sikap sudah tak bertoleransi. Kadang aku merasa aneh dengan dirimu. Mengapa ya, kamu bisa sebegitunya terhadapku.

Kini, aku menyesali satu hal. Mengapa perasaan percaya bahwa hati akan kau jaga sebaik-baiknya ini tak dari dulu aku lakukan? Mengapa aku harus menggoreskan dulu luka oleh kenangan lalu kepadamu? Harus aku akui aku bodoh namun, bukankah akan lebih bodoh lagi bila aku tak pernah mencoba merubah dan percaya kepadamu? Ku harap kau sependapat denganku.

Terima kasih ya, untuk penantiannya selama ini. Kepercayaan yang tak pernah ada habisnya untuk membuat aku yakin bahwa suatu saat aku akan meninggalkan kenangan-kenangan lalu. Dan terima kasih karena di balik semua proses itu kamu ada. Maka berjanjilah, untuk tidak pernah meninggalkan kecuali kematian. Aku pun sedemikian.

Maaf aku lancang
Segelas kopi dihadapanmu merasa canggung
Oleh tatapan gadis berparas ayu
KAU, tawamu jangan beku

_Devita Yahya_

PREFELENSI LAKONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang