4: Satu
Lain kali kita berduaan dengan romantis. Mungkin.
***Budi menggendong Nath, tak ada cara lain. Ia tak membawa kendaraan juga angkutan umum sudah tidak lagi terlihat. Angin malam menambah suasana sunyi. Budi berjalan menapaki jalan aspal. Lalu mendudukkan tubuh Nath ke atas kursi depan rumahnya.
Budi mengacak-acak rambutnya lalu menggendong Nath kembali dan masuk. Ia menidurkan Nath ke kamarnya, dan tidur di ruang tamu.
"Bud, Budi!" teriak Arya di kamarnya. Budi menarik napas panjang lalu berlari ke kamar Arya.
Ia melihat Arya yang duduk di pojok kamar. Budi menyalakan lampu, lalu terlihat kondisi Arya yang berantakan.
"Mau ngomong apa lo?" tanya Budi to-the-point.
Arya menengadahkan kepalanya menatap jendela. Ia menyeringai, "Nath punya gue kan?"
Budi terkejut dengan apa yang ditanyakan Arya. Namun, Budi berpura-pura tak peduli, "Milik lo, puas?"
Akhirnya Budi meninggalkan Arya yang tertawa di kamarnya. Kakaknya tidak bisa menerima penolakan sama sekali. Ia percaya, takkan ada yang buruk menimpa Nath jika ia di sampingnya.
"Gue gak peduli," ucap Budi meyakinkan diri sendiri lalu tidur.
Keesokan harinya masih di rumah Arya. Sejak SD hingga SMP, Budi tinggal di kediaman neneknya. Keburuntungan menyelamatkannya dari orang tuanya yang sering melakukan kekerasan fisik. Dulu ia dan Arya tidur di gudang, dengan kegelapan dan hewan yang kadang merayap. Sepiring nasi sisa untuk Budi dan Arya, itu pun jika tersisa. Rumah yang sempit di lingkungan kumuh, ditempati oleh empat orang. Bapaknya yang selalu pulang dengan wanita lain. Dan ibunya yang melampiaskan amarahnya kepada mereka.
Jika Budi sedikit lebih lama tinggal bersama orang tuanya, mungkin bisa saja lebih dari Arya.
Teriakan Nath menghangatkan rumah besar dan kosong Arya. Rumah peninggalan neneknya.
Nath menatap histeris lingkungan asing di sekitarnya. Interior klasik dengan furnitur kayu berbahan jati. Belum lagi ukiran-ukiran ala zaman dulu terukir di dinding-dinding. Penerangan dengan lampu neon di dua sudut, menambah suasana memorial. Berbeda dengan kamar Nath.
"Budi!" teriak Nath ketika melihat Budi tengah berjalan ke arahnya. Kaos oblong dengan celana jeans dan memegang cangkir plastik, menciptakan kesan santai.
Budi tak berbicara, hanya menarikkan sebelah alisnya ke atas.
"Ini kamar lo?"
"Iya."
"Gue pergi," ucap Nath lalu bangkit dan pergi ke arah pintu.
Tiba-tiba Budi mencekal lengannya, "Sarapan dulu."
Nath berdiri di ambang pintu sementara Budi menuangkan masakannya ke atas piring. Budi berjalan ke arah meja dengan membawa dua piring. Ruang dengan meja makan di sisi kanan menghadap jendela. Dan dapur di sisi berlawanan. Suasana dingin ditambah udara pagi membuat Nath sedikit tak biasa.
Suara dentingan sendok di piring mengagetkan Nath, Budi tengah menatapnya dengan tatapan tajam. Nath menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, enak.
"Gue pergi," ucap Nath lalu pergi meninggalkan Budi. Konyol, orang yang ingin ia hindari justru sarapan dengannya. Ditambah hanya berdua di rumah yang luas.
Nath berjalan di halaman rumah. Ayunan terpatri di sebelah kanan dengan rerumputan yang tumbuh. Bunga-bunga menghiasi bagian luar rumah. Ia menghampiri ayunan itu lalu menaikinya.
Saat itu, Buu anak lelaki berambut hitam kecoklatan dengan warna mata hazel, duduk di ayunan sampingnya. Baik ia atau pun Buu adalah anak yang ceria, namun masalah yang menimpa mereka bertubi-tubi membuat kehilangan keceriaan itu. Buu selalu datang, meski ia dan Buu tidak banyak bicara. Namun, masing-masing dari mereka senang. Seolah lari dari kenyataan hidup.
Biasanya mereka beradu seberapa cepat ayunan mengayun. Mereka takkan berhenti sebelum salah satunya terjatuh. Lalu tertawa.
"Gak jadi?"
Nath menatap Budi terkejut, ia tengah berdiri tepat di sampingnya.
"Lo gak tau jalan, biar gue tunjukin," ucap Budi masih dengan nada datarnya sementara Nath hanya menganggukan kepalanya.
Budi mengajaknya ke sebuah garasi. Di gesernya pintu, lalu ia mengeluarkan sebuah sepeda. Sepeda lipat berwarna merah muda dengan debu yang hampir menutupinya. Ia mengelap sepeda itu lalu memandang Nath yang melamun di ambang pintu. Budi berdehem, mencoba membangungkan Nath dari lamunannya.
Ia menatap Nath yang masih mematung.
"Buu," ucap Nath berdiri di ujung taman dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Ia langsung memeluk tubuh Budi. Budi mencoba melepaskan pelukan Nath.
"Siapa?" tanya Budi setengah berbisik. Nath menunjukan jari telunjuknya ke arah beberapa anak perempuan yang tengah berjalan. Mereka tertawa-tawa sambil meneriakan nama Nath.
Setelah Budi melihatnya, ia pun mendorong tubuh Nath ke bawah seluncuran. "Setelah ini pergilah."
"Aish, kenapa gue malah keingetan itu," gumam Budi sambil mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa?"
Budi menggeleng pelan lalu menyerahkan sepedanya ke tangan Nath.
"Lo bawa."
KAMU SEDANG MEMBACA
For A Smile
Teen Fiction"Di lain waktu kita bertemu." Ketika coldgirl dan coldboy bertemu. Hubungan masa lalu yang rumit. Belum lagi keluarga yang hancur. Akankah ada alasan untuk bisa tersenyum?