6

14 1 0
                                    

6: Sepeda

Gue gak tau, ternyata dengan ngajarin lo naik sepeda, gue jadi lebih deket.
***

Nath mengelap keringat di dahinya. Ia menatap Budi yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu memakai celana training, kaos t-sirt, dan jaket berwarna hitam. Ia melambai ke arah Nath. Lalu mempercepat langkahnya untuk menghampiri gadis yang menuntun sepeda merah mudanya.

Sebenarnya, itu bukan sepeda Budi. Sepeda itu adalah milik teman Budi, saat mereka masih kecil. Ia sama sekali tak bisa mengendarai sepeda.

"Nath," ucap Budi sambil menepuk pundak Nath.

Hari Minggu, jalan di taman cukup ramai. Jadi, Nath memutuskan untuk mengajari Budi naik sepeda di pinggir taman. Sebuah jalan khusus pesepeda. Terlihat beberapa orang yang mengayuh sepedanya dari arah berlawanan. Angin berhembus pelan, cukup normal dengan suhu di pagi hari. Jika siang, jalan ini akan semakin ramai dengan matahari yang menusuk kulit.

"Gue udah berusaha gak peduli," ucap Budi memulai pembicaraan.

"Maksudnya?" tanya Nath sambil memarkirkan sepeda dan duduk di kursi taman.

"Arya itu ambang," balas Budi sembari menarik nafas panjang.

"Kenapa harus libatin gue?" balas Nath dingin. Selama ini ia sudah lelah dengan masalahnya, rasa yang bercampur aduk menghinggapi hatinya. Belum lagi, perasaan serba salah terus membuat pikirannya kacau.

Tujuan ia kembali ke kota yang pengap akan manusia, cuma Buu.

Budi berdiri lalu menuntun sepedanya, ia menaikinya dan mencoba menjalankan sendiri namun terus jatuh. Nath terkekeh pelan, lalu mendekati Budi.

"Gue bantu," ucap Nath lalu berjalan di samping Budi dan menahan sepeda.

"Kayuh pelan-pelan, jangan panik," ucap Nath. Lalu tiba-tiba melepaskan genggamannya pada stang sepeda dan membiarkan Budi mengendarai sendiri. Budi yang kehilangan keseimbangan akhirnya jatuh ke tanah.

"Kok lo lepasin, sih?!" kesal Budi sambil mencoba berusaha bangkit.

Nath berjalan ke arah Budi sambil tertawa-tawa. Ia menuntun kembali sepedanya. Lalu mengusap-usap tubuh sepeda yang terkena tanah. Ia memarkirkan sepeda di sampingnya, dan duduk di kursi. Ia menepuk kursi sebelahnya, memberi isyarat untuk Budi "Duduk di sini".

"Harusnya lo terusin, payah," ucap Nath sambil menghela nafas.

"Tangkap," ucap Budi sambil melempar minuman mineral ke arah Nath.

"Sepedanya gue suka," ucap Nath sebelum meminum minuman yang diberikan Budi.

"Milik lo," ucap Budi pendek. Ujung matanya terus menatap gadis mungil di sebelahnya.

"Maksudnya?"

Budi tak menjawab pertanyaan Nath, ia yakin bahwa gadis itu mengerti ucapannya. Ia merebahkan punggungnya ke kursi, lalu menghela nafas panjang. Kapan ya terakhir kali ia ke sini? Bibirnya tersungging sedikit, saat mengingat wajah Nath yang kesal.

"Pulang," ucap Nath lalu berdiri dan bersiap mengambil sepeda "barunya".

"Jangan," balas Budi sambil mencekal lengan Nath untuk pergi.

Jantung Budi tiba-tiba berdetak kencang, ia tahu perasaan ini.

Budi menatap Nath yang berlari kencang ke arahnya. Ia menangis sesenggukan di bawah hujan yang deras. Lalu langsung memeluk tubuh Budi.

"Aku harus pergi, aku gak boleh di sini," ucap Nath terisak-isak.

"Jangan," ucap Budi berusaha mencekal lengan Nath namun gadis itu malah menghempaskan tangannya dan berlari menembus hujan. "pergi," lanjut Budi.

"Bud, lo malah ngelamun," ucap Nath kesal melihat tingkah Budi.

Tiba-tiba Budi memeluk tubuh Nath. Nath yang terkejut sontak terdiam beberapa saat hingga akhirnya tersadar dan mencoba melepaskan pelukan Budi.

"Jangan pergi lagi," ucap Budi tanpa sadar.

"Bud, lepas," ucap Nath lirih.

Mendengar lirihan Nath, Budi pun segera melepaskan pelukannya. Tanpa rasa bersalah, ia duduk di boncengan sepeda. Ia menarik lengan Nath dan menepuk jok sepeda.

Nath menarik nafas panjang lalu duduk dan mulai mengayuh sepeda. Banyak hal yang ia pikirkan. Sepeda yang diberikan Budi mirip dengan sepedanya dulu. Entah kebetulan atau tidak.

Dan beberapa tanda tanya besar di pikirannya adalah, bolehkah ia memikirkan Budi sebagai Buu? Atau jika Buu adalah orang yang berbeda, lalu mengapa Budi sering mengingatkannya akan sosok Buu?

Pertama, namanya Budi. Akan ada kemungkinan, jika Buu adalah nama panggilannya. Sifatnya yang selalu diam dan irit bicara sama seperti Buu, meski Budi lebih dingin.

Kedua, sadar-tidak-sadar, saat Nath memeluk Budi. Muncul rasa familiar di benak Nath. Rasa hangat yang berbanding terbalik dengan wajah dingin Budi.

Namun, juga ada beberapa yang menjadi titik baliknya. Jika Budi benar-benar teman masa kecilnya, kenapa Budi tidak mengenalinya? Dan sebaliknya, Nath juga tidak mengenali Budi sebagai Buu. Dan lagi, Buu tak pernah dingin terhadap Nath. Buu hanya sedikit berbicara.

"Nath, stop!" seru Budi sambil menepuk pundak Nath. Gadis itu pun mengerem sepedanya, lalu menolehkan wajah ke arah Budi.

"Apa?"

"Cafe," ucap Budi lalu berdiri dan berjalan ke arah Cafe.

Nath menatap punggung Budi lekat-lekat. Sosoknya yang barusan, persis seperti seorang anak kecil yang ingin mengunjungi sebuah tempat. Ia akhirnya mengikuti Budi dan duduk di sebelahnya.

"Nih," ucap Budi sembari memberikan secangkir cappucino ke Nath.

"Siapanya lo?" tanya Nath tiba-tiba. Budi hanya menatap heran Nath. Namun, ia menunjuk ke arah belakang. Terlihat lelaki yang memakai pakaian serba hitam. Ia menutupi wajahnya dengan koran yang dibacanya.

"Kakak gue."

Dan terakhir, Buu tidak punya kakak.

For A SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang