5

19 2 0
                                    

5: Dua
Gue cuma nunggu lo, cuma ngarep kedatangan lo, bukan yang lain.
***

Nath berangkat ke sekolah dengan memakai sepeda yang dititipkan Budi kepadanya. Pukul 06.50, ia mengayuh sepeda dengan secepat mungkin berharap tidak terlambat. Beruntung jalanan sedang tidak terlalu ramai. Nath menatap ke arah kirinya terlihat siswa dan siswi lain yang berjalan santai. Ia pun memperlambat, hatinya bertanya kenapa ia jadi tiba-tiba rajin?

Ia memarkirkan sepedanya diparkiran. Guru BK tengah berdiri di depan gerbang, menghitung dan mencatat murid-murid yang melanggar tata tertib.

"Sekali lagi terlambat, ke ruangan saya."

Nath menganggukan kepalanya lalu menyalami tangan Bu Siska. Ia berjalan melewati lapangan, terlihat  koridor yang nampak sepi. Udara menghembus pelan, sementara ia berjalan santai. Di sudut koridor, Budi berjalan ke arah Nath. Tiba-tiba matanya membelalak ketika Arya menggandeng tangan Nath. Ia terlihat agak risih, Budi menggelengkan kepalanya lalu berbalik.

Budi masuk ke kelas dengan membawa setumpuk buku paket Fisika. Ia membagikan buku tersebut, kemudian Nath dan Arya datang. Mereka menyalami Bu Frisda lalu duduk di bangku masing-masing. Budi berjalan ke bangku Nath. Ditatapnya sekilas wajah Nath, lalu segera memalingkan. Terlihat Nath yang sedang panik mencari pulpennya. Ketika Nath menumpahkan tas, Pulpennya jatuh ke depan kaki Nath. Ia menatap Nath keheranan yang tengah memandangnya.

"Lo gak ambilin pulpen gue?" tanya Nath kesal.

"Harus?" tanya Budi dingin.

"Terserah," ucap Nath lalu mengambil pulpennya.

"Apa lagi?" tanya Nath menatap Budi yang mematung di hadapannya.

"Buku," ucap Budi tanpa mengubah ekspresinya. Ia meletakkan buku Fisikanya di meja Nath dan Fatimah.

Nath tersenyum kaku, sedingin apa pun Budi terhadapnya namun ia tak pernah sehangat ini menatap seseorang. Nath mengusap dahinya pelan lalu mengambil buku tulis dan mulai mencatat apa yang Bu Frisda terangkan. Ia tak pernah mengerti dengan sosok Budi. Lelaki yang dingin namun selalu ada di saat ia membutuhkan pertolongan.

Tiba-tiba Nath teringat hari kemarin, ketika ia berada di rumah Budi. Ia sebenarnya berharap dapat menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Budi, namun ternyata rasa malunya lebih mendominasi. Ia terheran-heran, dari sekian banyaknya orang yang bisa menolongnya kenapa harus Budi?

Dan apa-apaan ekspresi itu, "Lo bawa." Nath tersenyum sendiri saat mengingat Budi dengan menyembunyikan wajah sambil memberikan sepedanya. Dan lagi, sepeda warna merah muda untuk seorang lelaki dingin?

"Nath, kamu kok ngelamun aja?" tanya Fatimah.

Nath terkekeh pelan lalu memusatkan pikirannya ke arah Bu Frisda. Di belakang Nath, Arya tersenyum kemenangan. Ia tengah menulis rencana-rencana untuk mendapatkan hati gadis di hadapannya. Bagian yang terpenting adalah Budi takkan mengkhianatinya.

Tak lama, bel istirahat berbunyi. Nath memilih tetap duduk di bangkunya. Ia membuka tasnya, mencari laptop untuk menulis.

"Nath kamu gak ke kantin?" tanya Fatimah yang duduk semeja dengan Nath.

"Nggak," balas Nath pendek.

"Mau nitip sesuatu, gak?" tanya Fatimah lagi.

"Nggak."

"Kamu gak ada kata selain nggak?" tanya Fatimah kesal ketika Nath malah sibuk dengan laptopnya.

"Maksudnya?"

"Aku pergi," ucap Fatimah singkat lalu pergi dengan wajah kesal.

Nath menatap layar laptopnya, ia mengetik perlahan.

Buu, kapan kamu akan kembali? Katamu, kamu akan sekolah di sini.

Hari-hari telah kulewati, banyak hal yang berubah. Kau tahu, lampu jalan yang dulu masih nyala? Sekarang ia telah redup. Padahal kamu paling suka melihat cahaya oranye itu. Taman dimana kita kali pertama bertemu, aku hampir selalu mengunjunginya setelah memutuskan untuk kembali. Aku selalu naik ayunan, membayangi kamu yang duduk di sebelahku. Kamu yang hanya terdiam kala aku menangis dan mencurahkan hatiku, karena kamu saat itu juga tengah terluka.

Buu,
Hanya kamu,
Yang kutunggu.

Nath mengusap air matanya yang tak sengaja menetes. Ia menutup laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba Arya mendatanginya lalu memberikan secarik sapu tangan.

"Gak perlu," ucap Nath lalu berdiri.

"Gue minta maaf soal kemarin, gue gak sengaja. Gue cuma ingin deket sama lo. Cuma itu," ucap Arya sambil meneteskan air matanya saat duduk di bangku Fatimah.

"Gue maafin, udah kan?" balas Nath dingin.

"Lo masih mau kan jadi temen gue?" tanya Arya pelan dengan suara serak.

"Gak," balas Nath pendek.

Arya berdiri lalu menampar Nath, wajahnya mengeras, matanya melotot, giginya bergemelatuk. Tubuh kurus Nath terjatuh ke lantai, sudut pipinya membiru. Sontak Fatimah yang berada di dekat pintu langsung berlari ke arah Nath.

"Cewek sialan! Dasar cewek gak tau diri, sok jual mahal! Padahal kalo—" teriak Arya sontak menjadi pusat perhatian.

Rafa memukul wajah Arya dengan kepalan tangannya hingga terjatuh. Untungnya beberapa siswa yang diam di kelas menahannya.

"Awas aja, lo gangguin Nath. Gue gak akan segan ngebuat leher lo putus," ucap Rafa dingin.

"Cih, ngelawak ya?" tanya Arya. Rafa menarik kerah Arya.

"Udah, kamu waras ngalah, Raf," ucap Fatimah, "bantu aku bawa Nath ke uks."

Arya mendorong Budi. Lalu memapah Nath bersama Fatimah.

"Gak usah," ucap Nath lemah.

Fatimah memandang kesal Nath, "Jangan dengerin dia, Raf, ayok bawa ke uks!"

Sementara itu Budi datang dengan segelas es jeruk di tangannya. Ia menatap datar ke arah Nath.

"Ajarin gue naik sepeda," ucap Budi tanpa basa-basi, tanpa melihat keadaan wajah Nath yang memperhatinkan dan lututnya yang terluka.

"Ni anak, kebangetan gak liat orang lagi bonyok," ucap Rafa bersungut-sungut.

"Awas kamu, Bud. Kalo gak mau nolongin, gak usah ngalangin," ucap Fatimah sambil mendorong Budi.

Budi menarik nafas panjang, menatapi punggung Nath yang menjauh darinya.

"Jadi ini maksud lo?"

For A SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang