12 - Salah Paham

4 0 0
                                    

Kenapa hidup gue jadi serumit ini?

***

Sarah menghela nafas panjang, ia duduk sendiri di warung dekat sekolahnya. Menatap sekolahnya dari kejauhan. Jalanan ramai seperti biasanya. Seragam putih abu-abu masih dipakainya.

Sesendok nasi kuning yang ia pesan memasuki mulutnya. Rasanya hampir menelan bulat-bulat satu bakso. Moodnya sudah hancur. Gadis jangkung dan kurus itu bersandar pada dinding. Matanya terpejam, lelah karena banyak pemikiran. Ia sudah tak berselera untuk melakukan apapun.

"Neng, nggak sekolah?" tanya seorang wanita paruh baya yang berjalan menghampirinya.

"Nggak, Bu," balas Sarah mau-tidak-mau.

"Kenapa?" tanya ibu warung itu. Hal ini sudah tak asing lagi bagi Sarah. Mereka yang banyak bertanya mengenai kehidupan, untuk hanya sekadar penasaran. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan, itu hak mereka.

Baru saja Sarah hendak membuka mulut untuk membalas pertanyaan. Tiba-tiba ibu warung tersebut izin pamit lalu masuk ke dalam untuk melayani pembeli. Sarah mengacak-acak rambut lurusnya. Dengan sosoknya yang supel dan ceria rasanya aneh jika tiba-tiba ia melakukan hal konyol untuk mendapat perhatian. Namun, sayangnya ibu guru Bimbingan Konseling tercintanya itu tidak berpikiran hingga ke sana.

Gadis itu meletakkan sepiring nasi kuning di sampingnya. Lalu, memasang earphone dan mendengarkan lagu. Ia sadar ini bukan saatnya untuk menenggelamkan diri dalam kekecewaan —kecewa karena bahkan tak ada yang menanyainya setelah diskors. Karena sejak awal ia tak pernah mendekatkan diri dengan siapapun dan juga tak berniat untuk dipedulikan. Ia memejamkan matanya berusaha untuk hanyut dalam musik yang didengarkannya.

Letih.

"Aku mau ngomong."

Sarah membuka matanya, baru saja ia hampir terlelap. Di hadapannya berdiri sesosok anak kecil berwajah datar yang telah mencopot earphonenya. Berseragam putih merah yang belum disetrika.

"Apaan?"

"Kamu tidak merasa bersalah?"

Seolah jantungnya berhenti berdetak. Tiba-tiba udara mencekik lehernya. Waktu terhenti, menjeda di beberapa garis. Kepulan angin menghantarkan debu hingga menutupi pandangannya. Tidak lupa juga membuatnya terbatuk-batuk. Lalu, bayangan anak kecil itu hilang. Begitu cepat tanpa ia sadari.

"Neng, Neng, bangun!" seru ibu warung tadi akhirnya menyelamatkan Sarah dari mimpi buruknya.

Sarah terbangun kemudian mengerjap beberapa kali. Ia menatap lekat-lekat ibu warung itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Saya tadi ketiduran?" tanya Sarah terkejut. Pasalnya mimpi tadi terlalu nyata.

Bayangan teman masa kecilnya membuatnya lebih menjadi hancur. Ia hanya sedikit bersyukur karena telah dibangunkan ibu warung, sehingga mimpinya tidak berlanjut.

"Ngapain lo?"

Suara khas lelaki itu menanyanya, membuatnya kembali terkejut.

"Gue?" tanya Sarah refleks.

"Jangan ogeb deh," balas Rafa santai. Membuat Sarah langsung menjitak kepala lelaki itu.

Namun, Rafa mencekal lengan Sarah dengan kasar lalu menghempasnya. Sarah mengaduh kesakitan dan mengumpati Rafa. Sementara lelaki itu hanya mendelik malas.

"Gak usah buang-buang waktu. Gue ke sini dateng buat dengerin alesan konyol lo," ucap Rafa tanpa jeda dengan nada agak nge-gas.

"Alesan apa?" tanya Sarah lagi-lagi. Ia masih belum tersadar akan situasi yang kini dihadapinya. Rafa mengacak-acak rambutnya, kesal dengan kelemotan Sarah yang kambuh sekarang.

Sarah berdehem melihat Rafa yang menahan kesal. "Ok, gue tau apa masalahnya. Bukan gue pelakunya, terserah lo mau percaya atau kagak. Gue udah terlanjur diskors," ucap Sarah lalu duduk kembali.

Mata Rafa menyipit, ia tak mengerti dengan semua ini. Entah Bambang ataupun Sarah, mereka sama-sama seperti menganggap ringan. Bayangan saat Nath kemarin begitu ketakutan saat di ruang guru, masih membayangi benaknya. Rasa ketakutan yang sebenarnya. Seumur hidupnya, ia tak pernah melihat orang yang setakut itu. Meski sebelumnya ia hampir bersumpah akan mulai tidak mempedulikannya, namun dengan kejadian itu ia menjadi merasa sangat bersalah.

"Gue capek, dengerin keterangan yang labil kek si Bambang. Ditambah lo sama Fatimah sama-sama bilang bukan pelakunya," keluh Rafa sambil ikut duduk di samping Sarah.

"Gak usah dengerin gue. Kita baru aja kenal, gak lucu kan kalo percaya sama orang yang baru lo kenal? Cukup denger apa yang lo ingin denger," balas Sarah tidak peduli. Seharian ini ia sudah lelah dipenuhi dengan emosi tidak jelas, ia tak ingin menambahnya lagi hanya dengan keraguan Rafa.

Rafa terdiam, ia tersentak tak bisa lagi menjawab apapun. Kalimat yang diucapkan Sarah terasa begitu lugas dan tegas, tidak membiarkannya celah untuk ragu sedikitpun.

"Padahal gue gak perlu deket sama lo semua," ucap Sarah dengan tersenyum miris.

Rafa yang kemudian melihat perubahan tingkah Sarah langsung melenyapkan semua pikirannya. Ia mengacak-acak rambut Sarah.

"Lo pulang, gih. Jangan kelamaan di rumah gue," ucap Rafa sambil terkekeh pelan.

Sarah yang mendengarnya langsung terkejut. "Ya, guekan gak tau ini rumah lo," balas Sarah sambil menoyor keras-keras pundak Rafa sampai ia mengaduh kesakitan.

Kau tahu rasa bersalah? Mungkin ia menyerupai monster yang kapan saja bisa melahapmu. Tidak harus seiras, kadangkala hampir seperti.

For A SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang