blur

3.3K 681 47
                                    

"Jadi kamu tinggal di sini, Jaemin?" Jane bertanya setelah menurunkan Jaemin dari mobilnya, menatap bangunan yang terlihat sudah tua. Lelaki manis itu mengangguk, menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa tak enak. Ia sedikit malu karena Jane harus melihat tempat tinggalnya yang tidak begitu layak. Meskipun ruang apartemen Jaemin selalu bersih, tetapi tampak luar gedung begitu tak menarik.

"Maaf kamu harus melihat tempat kumuh seperti ini. Aku tahu, kamu pasti tidak terbiasa." Jaemin berujar pelan sembari menundukkan kepala. Wanita anggun itu menggeleng, ia mendekati Jaemin dan menarik dagu si manis dengan perlahan. Jane tersenyum, meyakinkan Jaemin agar ia tidak merasa keberatan karena harus menunjukkan tempat tinggalnya.

"Kamu tinggal di lantai berapa?" Jane bertanya dengan lembut. Jaemin terdiam sebentar, masih tidak percaya kalau wanita anggun dan biasa bergelimang harta itu merasa tidak keberatan.

"Lantai empat." Jaemin menjawab dan wanita itu mengangguk tanda mengerti. Ia menepuk bahu Jaemin pelan sebelum berpamitan.

"Hati-hati, Jaemin. Kita bertemu lagi besok," Jane berujar sebelum menyalakan mesin mobilnya. Jaemin mengangguk lalu melanbaikan tangan, menunggu mobil milik Jane hilang di kegelapan malam. Setelah mobil tersebut sirna, ia menghela napas berat. Langkahnya pelan menuju apartemen, rasa untuk bertemu Reya seketika hilang. Ia takut disakiti kembali, sudah cukup lelaki manis itu menelan luka dan lebam. Angin malam berhembus di mukanya, membuat postur tubuhnya menggigil.

-

"Reya?" Itu kalimat pertama yang dicicitkan Jaemin saat berada di dalam apartemen. Ia berjalan pelan ke arah ranjang setelah melepas sepatunya. Pria tegap itu sedang berbaring di ranjang mereka, tertidur pulas tanpas atasan seperti biasa. Lelaki manis itu mengulum senyum simpul, ikut merasa ketenangan yang Reya rasakan sekarang. Ia menekuk lutut lalu membiarkan tangannya mengusap pucuk kepala Reya. Menyisir rambut acaknya dengan jemari.

Jaemin menundukkan kepala, hendak mencium bibir Reya yang sudah lama tidak pernah ia jamah. Jaemin baru sadar bahwa mereka sudah tidak pernah berciuman seperti dulu. Reya sekarang lebih suka mencium dahinya singkat sebelum pergi. Lelaki manis itu bahkan tidak bisa merasakan ciuman di dahi karena terbilang sangat singkat. Bibirnya sudah menyentuh sedikit bagian bibir Reya, hampir memberikannya ciuman yang sebenarnya. Sayang, Reya lebih dulu terbangun dengan muka terkejut.

"Jangan menciumku jika aku tidak menyuruhmu!" Pria tegap itu mendorong tubuh Jaemin ke belakang. Ia segera beranjak dari kasur dan meninggalkan Jaemin yang masih terkejut. Apa salahnya memberikan kekasihnya ciuman? Ia hanya merindukan itu, seberapa hina dirinya di mata Reya? Jaemin mengusap mukanya kasar, memilih untuk mengalah. Mungkin Reya sedang melewati hari yang berat.

"Reya." Jaemin melirihkan nama kekasihnya ketika ia keluar dari kamar mandi. Hatinya meremuk ketika melihat bekas cakaran di punggung lebarnya. Seingatnya, mereka sudah lama tidak melakukan hubungan seksual. Luka bekas cakaran itu juga masih memerah, tampaknya luka itu masih sangat baru. Tidak mungkin Reya mengkhianatinya, sejahat apapun pria itu, Jaemin selalu berpikir bahwa Reya tak akan pernah mengkhianati.

"Itu cakaran siapa?" Lelaki manis itu bertanya dengan suara pelan. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin tumpah. Hatinya seperti diinjak habis ketika Reya malah tertawa. Pria tegap itu tidak menjawab Jaemin sama sekali, ia justru tertawa mengejek. Reya berjalan mendekati Jaemin tanpa tahu malu. Senyum licik terlukis di bibirnya, merasa berhasil telah membuat muka sengsara milik sang kekasih. Ia dengan mudahnya membuat Jaemin menangis.

"Menurutmu?" Reya balik bertanya sembari menarik dagu itu mendekat. Ia menatap nyalang manik cokelat milik Jaemin yang sudah sangat berkaca. Bibir si mungil bergetar, seperti ada kalimat yang tersangkut di tenggorokannya. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata, terlalu hancur ketika tahu Reya mencari orang lain untuk masalah nafsu. Benaknya yang sedari dulu berpikir bahwa Reya tidak akan berkhianat seakan disiram pahitnya kenyataan.

"Berhenti berpikir bahwa aku akan selalu ada untukmu, bodoh. Bukankah aku sudah pernah meminta untuk putus?" Reya melontarkan kalimat itu dengan muka tidak bersalah. Ia menatap Jaemin, menuntut jawaban dari lelaki manis itu. Jemarinya melepaskan dagu Jaemin ketika ia melihat air mata mulai jatuh dari pelupuk. Ia benci melihat Jaemin menangis seperti orang yang sangat tersakiti di dunia. Reya berpikir bahwa Jaemin selalu berlebihan dalam bertingkah, menangisi semuanya.

Jaemin berpikir bahwa hari ini mereka berdamai, melakukan segala hal yang pernah mereka lakukan dahulu. Ternyata semuanya salah besar, ia justru menelan fakta bahwa Reya mencari orang lain demi nafsu. Malamnya monokrom seperti biasa, ia kebas dan hampa. Air dingin yang menyiram tubuhnya bahkan tidak terasa sama sekali. Dinginnya lantai juga tidak berhasil menembus tubuhnya. Tetapi kalimat yang dilontarkan Reya berhasil menghujamnya dengan rasa sakit.

"Maaf aku telat." Jaemin berujar dengan napas menderu. Peluh membanjiri dahinya, napasnya putus-putus dengan muka pucat. Ia masuk ke ruang rias dan langsung ditatap oleh Jeno, Jane, dan Doyoung. Doyoung berdecak kesal, lalu keluar dari ruang rias itu dengan malas. Ia baru saja dimarahi direktur utama karena harus menunda pemotretan pertama selama empat puluh menit. Doyoung harus meladeni klien yang protes dan Jaemin dengan seenaknya telat hingga tiga puluh menit.

"Jaemin, waktumu tidak banyak. Hanya sepuluh menit, jangan menunda waktu lagi." Jane berucap pelan, sebenarnya ia sangat kasihan melihat kondisi Jaemin. Tetapi bekerja tetaplah bekerja, mereka tetap harus berkejaran dengan waktu yang berdentang. Menerima konsekuensi dari direktur utama karena menunda waktu. Jaemin mengangguk, segera merias Jeno. Beruntung semua alat make up sudah dilabeli sesuai warna berkat bantuan Jane dan Jeno.

Jeno tidak mengatakan apa-apa, sang model hanya terdiam dan menatap Jaemin lekat. Ia tahu bahwa sesuatu buruk telah terjadi padanya, tetapi ia lebih memilih bungkam dan tidak mengungkit. Jaemin biasanya hadir lebih awal dan tampaknya rapi, tidak seperti sekarang yang penuh peluh dan acak-acakan. Mungkin Jaemin telat bangun atau tertinggal bis. Jane menatap Jaemin dan menghela napas, kenapa masalah beruntun menghampiri lelaki manis itu?

Selesai memberikan riasan, Jeno langsung keluar. Menyisakan Jane dan Jaemin di ruang rias. Mereka terdiam, tidak melontarkan percakapan. Sampai akhirnya Jane menyodorkan Jaemin botol air mineral untuk diminum. Lelaki manis itu menerima dan mengucapkan terima kasih yang hampir tidak terdengar. Ia meneguk habis air itu, mengisi perutnya yang kosong. Pagi tadi ia bangun seperti biasa, tidak telat. Namun ia harus mencari dompet di dalam tasnya yang tiba-tiba hilang.

Seingatnya, dompet itu masih ada tadi malam. Mungkin Reya mengambil dompetnya saat pagi sebelum lelaki manis itu bangun. Jaemin tadi berlari ke tempat kerja dengan perut kosong karena tak sempat sarapan. Ia tidak memiliki sepeserpun uang untuk membayar ongkos. Itu kenapa ia sampai dengan pelu membanjiri, napas menderu, dan muka pucat. Kepalanya pening dan pandangannya mulai berputar. Ia cukup bersyukur karena Jane memberikannya air mineral.

"Jaemin, kamu mimisan." Jane berujar panik ketika melihat darah keluar dari hidungnya. Jaemin mendongak, lalu memegang ujung hidungnya yang mulai mengeluarkan darah. Ia melihat Jane mengambil tisu dan lama kelamaan semuanya menghablur. Hingga hitam mengambil alih.

Catatan PenulisIni kependekkan gak sih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Catatan Penulis
Ini kependekkan gak sih. Mau double update deh kayaknya. Kasian Jaemin :(

bloom ♡ nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang