fever

3.6K 712 97
                                    

"Jaemin! Na Jaemin!" Jane berteriak ketika melihat lelaki manis itu terjatuh dari kursi. Ia kehilangan kesadaran dan tersungkur ke lantai, mimisannya bahkan belum berhenti. Wanita anggun itu berlutut di lantai, berusaha membangunkan Jaemin yang menutup kelopak matanya mutlak. Ia meringis ketika membalikkan tubuhnya dan menidurkan di lengan. Pria pada umumnya pasti akan jauh lebih berat daripadanya, tetapi Jaemin terlalu ringkih dan ringan.

Doyoung masuk ke dalam ruang rias karena melupakan sesuatu. Sedikit tersentak saat melihat beberapa darah tercecer di lantai. Ia melihat Jaemin tak sadarkan diri dan Jane yang berusaha menghentikan mimisan. Jujur, ia sedikit takut melihat darah. "Jaemin kenapa?" Doyoung bertanya seraya melangkah ke arah Jaemin. Pria itu membawakan kotak tisu, meskipun ia juga tidak tahu cara menghentikan mimisan. Jane yang mendegar pertanya an itu berdecak kesal.

"Kelihatannya seperti apa? Jelas-jelas dia mimisan dan pingsan!" Jane menghardik Doyoung karena kesal. Wanita itu sudah kehabisan kesabaran karena Doyoung selalu bersikap kasar pada anak lelaki ini. Ia tidak mengerti kenapa Doyoung sangat kasar pada Jaemin yang baru saja menjejaki dunia kerja sebenarnya. Pria itu tidak memberikan Jaemin waktu beradaptasi yang cukup. Tidak membimbing, tetapi dominan memarahi saat Jaemin berbuat kesalahan.

"Okay okay, aku minta maaf. Biar aku bawa dia ke rumah sakit." Doyoung berucap datar. Lengannya sudah siap membopong tubuh Jaemin keluar ruang. Jane mengikutinya keluar, merasa tidak nyaman jika dia harus meninggalkan Jaemin sendiri dengan Doyoung. "What the fuck, dia ringan sekali." Sang manajer tiba-tiba berujar setelah menggendong Jaemin. Doyoung yakin beratnya tidak menyentuh angka lima puluh kilogram.

Jane meringis, ternyata tidak hanya dia yang berpikir seperti itu. Jaemin sepertinya kurang memperhatikan makanan. Tubuhnya jelas ringkih dan kecil, kulitnya juga pucat seperti sakit. Jane sebenarnya enggan melayangkan prasangka buruk pada kekasih Jaemin, tetapi ia yakin pria itu ikut ambil andil. Tidak mungkin Jaemin bisa separah ini tanpa alasan.

"Doyoung!" Suara berat itu menyapa indra pendengaran Doyoung yang sedang menggendong Jaemin keluar ruang rias. Sang model yang baru saja menyelesaikan pemotretan sesi pertama itu datang menghampiri. Ia mengesampingkan pekerjaannya dan mendekati Doyoung dan Jane. Pria jangkung itu menatap Jaemin lalu mengubah air mukanya menjadi kosong. Lensa matanya tiba-tiba kehilangan cahaya.

"Kalian pasti ingin ke rumah sakit. Aku ikut." Jeno berucap dengan nada yang datar. Ia tidak peduli dengan beberapa staff yang menatapnya aneh. Mereka masih punya satu sesi dan Jeno sudah ingin pergi meninggalkan pekerjaan demi anak lelaki tersebut. Jane sempat menahan Jeno agar tetap di sini, tetapi pria itu menolak dengan keras. Ia tetap mengambil jaket hitam dan topinya untuk keluar. Doyoung meringis, direktur utama pasti akan memarahinya lagi nanti.

Mereka sampai di basement dan memilih untuk mengendarai mobil dengan cepat. Jeno duduk di belakang dengan Jaemin yang tak sadarkan diri. Ia menidurkan Jaemin di pahanya, sesekali mengusap pelan pucuk kepalanya. Doyoung menyetir dengan Jane yang duduk di kursi sebelah pengemudi. Wanita itu memperhatikan Jeno dari cermin yang mengarah ke  belakang. Ia menghela napas, Jeno bertingkah laku tidak seperti biasanya.

"Sebenarnya, dia kenapa Jane?" Jeno bertanya dengan nada kecewa yang mendalam. Ia menatap wanita itu dari cermin belakang, air mukanya menggelap dan suram. Jane menghela napas, lalu menceritakan semuanya yang ia tahu dari Jaemin. Dari mulai pertemuannya di kedai kopi kemarin hingga mengantarkannya ke apartemen yang kumuh. Ia melontarkan beberapa prasangka buruk juga pada Reya. Dua manusia itu bertukar pandangan tentang Jaemin.

"Aku tidak mengerti kenapa Jaemin mempertahankan hati untuk lelaki kurang ajar seperti itu." Jeno berkata dengan nada tajam. Doyoung tersentak, biasanya Jeno tidak pernah berkata buruk tentang orang lain. Ia biasanya menjaga perasaan orang lain dengan tidak berucap buruk. Jeno mengeraskan rahangnya dengan kuat, ia benci melihat orang yang merasa lebih kuat menghancurkan orang yang dilihatnya kecil. Dia pikir, siapa dirinya?

bloom ♡ nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang