renaître

3.1K 458 48
                                    

Aku menutup pintu di depan muka Jane dan Jaemin tanpa berpikir dua kali, apa lagi tatapan dan duka yang berserakan di mata mereka. Saat di dalam, aku meringsut turun sampai terduduk lemas di lantai. Bau infus menusuk indra penciumanku begitu saja, tapi aku tak peduli lagi. Tanganku menutup seluruh muka, helaan napas kasar keluar dari mulutku. Aku tahu hari itu akan datang cepat atau lambat, hari di mana mereka menemukanku di Perancis dengan label Arthur Devereaux. Kuyakin tajuk berita esok hanya tentang Lee Jeno.

Mungkin mereka juga akan membuat serangkaian analisis tentang lolosnya aku dari sensor yang mereka patok di sekitar tubuhku. Mereka akan menggali kenapa aku memilih Perancis sebagai tujuan kabur dari segala. Semua. Kepalaku pening karena memikirkan rantaian hal gila yang bisa saja mereka lakukan sampai tubuhku mampus. Aku meringis, kutatap Volt yang masih tertidur pulas di atas kasur. Mukanya pucat dan hatiku seolah diiris tatkala menatap lesunya muka yang biasanya menabur kebahagiaan. Aku bangkit dari posisi duduk dan berjalan ke arah Volt, aku membenam mukaku di selimut Volt.

"Volt, aku tidak tahu harus apa." Aku berujar lemas pada anak kecil yang tak sadarkan diri seperti orang tolol. Aku meraih tangan mungilnya yang agak dingin, mengecup pelan punggung tangan yang kemarin masih terasa hangat. Ringisan perih terdengar mengisi ruang rawat yang hening ini. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras, tak ingin menjatuhkan air mata di depan anak tak berdosa ini. Hatiku berat betul, rasanya jalanku telah sepenuhnya buntu, aku tak punya kuasa untuk bergerak.

"Volt." Aku merintih pelan dan ketukan terdengar dari daun pintu. Aku menengok ke belakang, bingung antara harus membukanya atau membiarkan.

"Jeno, ini Jaemin." Samar telingaku menangkap suara seseorang yang sekian hari berusaha kuhapus eksistensinya. Ringisan kasar meluncur dari mulutku, aku merenggut rambutku tanpa sadar. Aku melemparkan sedikit sumpah serapah dengan tangan yang masih merenggut rambut. Frustasi, aku tidak mengerti semua hal yang bergulir cepat di depan mataku sekarang, semua ketenangan yang beberapa bulan ini kupupuk setengah mati luntur dalam semalam. Aku menggigit bibir bawahku keras-keras sampai bisa merasa asin di sisi dalam mulutku.

"Kenapa semuanya harus seperti ini, Volt?" Aku bertanya pada anak lelaki yang masih terbaring dan tak berkutik. Helaan napasku beradu dengan denting jarum jam dinding. Aku menatap ke belakang, ke arah daun pintu kamar rawat. Suara Jaemin tak lagi datang menerobos pintu itu, tak sadar aku merasa kehilangan, jauh dari ruang bercat putih ini. Aku ingin menangis, mengurai air mata yang selama ini kupendam sendiri di bahu seseorang. Dunia mungkin menertawakan keinginanku hari ini.

"Jeno." Saat jarakku dengan dasar tak berujung tinggal sejengkal, suara itu mengambang di permukaan. Suara yang berusaha meraih tanganku yang meminta pertolongan. Suara yang berusaha menyelamatkanku ke permukaan. Suara yang begitu hangat, begitu pilu, begitu hebat sampai aku tak mengerti sepeserpun. Jaemin memanggilku saat aku hampir diserang rasa panik yang mencabik jiwa. Ia mengulurkan tangannya, lengannya berusaha setengah mampus untuk merengkuh tubuhku. Aku seperti diselamatkan dari tsunami.

"Jeno, aku mohon." Suara itu lemah, tetapi mampu menembus pintu yang memahat jarak kami. Aku menghela napas sebentar, lalu bangkit dan berjalan ke arah pintu. Tanganku telah meraih gagang pintu, aku mendekatkan telingaku ke daun pintu itu. Tak kudengar keramaian di luar, mungkin hanya Jaemin yang berdiri di depan, mematung dan menungguku membuka pintu ini. Aku akhirnya membukakan pintu kamar rawat ini dengan jantung yang hampir jatuh ke lantai. Di depanku, berdiri seorang lelaki dengan senyum tipisnya. Senyum sama yang beberapa bulan lalu membuatku kalang kabut dan bersemu.

"Jeno." Ia memanggil namaku dengan senyum manis. Aku menyuruhnya untuk masuk terlebih dahulu, Jane dan wartawan tadi tidak ada di depan kamar rawat Volt. Ia masuk dengan canggung dan aku mempersilahkannya duduk di sofa. Aku menghela napas pelan, ia juga begitu. Aku mengambil posisi duduk di sofa itu dengan menjaga jarak. Aku takut terluka lagi karena mencintainya, maafkan aku yang egois, yang hanya memikirkan hatiku saja. Jaemin menatapku, lalu tersenyum manis.

bloom ♡ nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang