Hi, namaku Beni. Kali ini aku mau menceritakan pengalamanku nanjak ke Gunung Gede bersama teman-temanku 5 tahun yang lalu.
"Semua udah siap ?"
"Siap !!!" Jawab Bri, Putri dan Evan.
Hari ini kami berempat berencana nanjak ke Gunung Gede. Perbekalan sudah lengkap, safety kit pun tak lupa kami bawa.
Selama perjalanan, rasanya tidak ada yang aneh. Kami sangat menikmati pemandangan di sekitar. Ya, wajar saja, bagi orang Jakarta pemandangan gunung nan hijau merupakan surga yang dapat memanjakan mata.
Hari sudah mulai gelap, tapi kami belum juga sampai puncak. Akhirnya, setelah berdiskusi kami memutuskan untuk beristirahat dan memasang tenda dan melanjutkan pendakian esok pagi.
Aku dan Evan bertugas mendirikan tenda, sementara Putri dan Bri menyalakan api unggun dan memasak.
Semuanya baik-baik saja, sampai Putri menumpahkan air panas dan memekik dengan kencang
"Setan !"
Tiba-tiba suasana disekitar kami berubah. Angin berhembus cukup kencang, pepohonan berayun ke kanan-dan ke kiri, lalu tampak ada yang bergerak dari semak-semak.
Krusuk.... Krusuk...krusuk
Sesuatu itu seakan menunggu waktu yang tepat untuk memperlihatkan wujudnya.
"Duh, Put... Put..." Ucapku pada Putri dengan wajah sedikit meringis.
Putri yang tidak mengerti hanya mengangkat kedua bahunya seakan bertanya apa yang terjadi.
"Udah yuk, beresin semua beresin ! kita turun aja." Ucapku pada ketiga temanku.
Seakan sudah mengerti, Bri & Evan mulai mengemasi barang-barang kami. Aku membantu Putri membereskan peralatan masak.
Sebelum turun, aku mengumpulkan teman-temanku untuk melakukan Briefing.
"Pokoknya nanti kalo lo denger, atau liat 'sesuatu' keep it your self Okay ?!" pesanku pada teman-teman, dijawab dengan anggukan ketiganya.
Dengan hati yang was-was aku memimpin di depan, di belakangku berurutan ada Evan, Putri, dan Bri.
Keadaan sudah mulai kondusif, namun suara semak-semak itu masih mengikuti pergerakan kami.
"Ingat pesen gue yang tadi ya !"
"barisan lengkap ?" tanyaku sambil terus berjalan dengan pandangan luru ke depan."
"lengkap !" jawab Bri.
"eh ... e... eh..." sesekali Putri bergumam.
"kenapa Put ?" Tanya Evan.
"Enggak kok, jalannya ngebut sedikit yak !" Ucap Putri, dengan langkah yang sangat hati-hati.
Setelah banyaknya gangguan baik suara maupun visual di sepanjang perjalanan, akhirnya kami hampir sampai.
"tinggal satu pos lagi ni, guys !"
"Bri masih lengkap ?" tanyaku pada Bri yang beradadi barisan paling belakang.
"Masih !" Jawabnya mantap.
"Ben... Ben... bisa berenti bentar gak ? Gw kebelet banget ni, asli !" Ucap Beni.
Akhirnya kami berempat berhenti sejenak.
Putri bersama Evan, sedangkan aku mengantarkan Bri yang sepertinya udah kebelet banget.
"Gue nunggu sini ya." Ucapku pada Bri, posisi kami hanya berjarak 5 meter saling berpunggungan.
Baru saja si Bri membuka risleting, tiba-tiba ia memanggilku
"Ben ! ssst Ben !"
Aku otomatis menoleh
"Lo denger suara anak ayam gak ?" Tanya nya.
"Anak ayam ?" dahiku mengernyit. Tanpa sadar aku menengok ke atas pohon.
'Shit !'
aku melihat sesuatu bergerak-gerak di atas pohon.
"Bri, satu pos lagi... Lo masih bisa tahan kan ?!" Pintaku pada Bri, spontan.
"Loh, kenapa ?" Tanya nya bingung.
"Tar gw cerita, yang penting kita turun dulu.
Singkat cerita, kami sampai dengan selamat. Kamipun memasuki mobil.
Aku menstarter mobil lalu menyalakan sebatang rokok.
"Oke, kita dah sampe, sekarang kalian boleh cerita." Ucapku memecah keheningan.
"Yakin boleh ?" Tanya Putri dengan wajah ketakutan. Ia tampak beberapa kali menengok sekitar memastikan keadaan.
Aku mengangguk mantap
"Lo tau gak, tadi di pinggir gue ada kaki anak kecil ngikutin kita jalan !" Ucapnya sedikit berbisik
"kakinya doang!" lanjutnya lagi sambil menutup wajahnya.
"Guee tadi liat Gunderewo melototin kita. Posisinya di atas pohon !" Ucap Evan.
"Matanya merah banget. Serem anjir !" Ia merinding tak karuan.
"Lo Bri ?" Aku menanyakan pengalaman seram Bri selama di Gunung tadi.
"Gak ada yang aneh sih. Eh tapi, ko tadi lo tiba-tiba ngajak cabut, padahal gw kebelet banget tau !" tangannya menoyor kepalaku.
"Coba lo inget-inget, ada yang aneh gak ?" tanyaku lagi.
"Hmmm, tadi gue denger suara anak ayam."
"Nah, itu lo ngeh !"
Bri menggaruk tengkuknya bingung.
"Sekarang gue Tanya, wajar gak kalo denger suara ayam malem-malem, di hutan pula ?"
Tanyaku.
"Hmmm, nggak sih."
"Ya emang nggak, lo bayangin aja ayam kan rabun kalo malem, yakali keliaran jam segini. Di hutan pula." Ucapku.
"Eh... eh... bukannya kalo ada suara ayam berarti ada si mbak kunti ya ?" bisik Putri.
"Emang ! untung tadi lo gak nengok ke atas, Bri ?!"
Setelah ityu, tiba-tiba bulu kuduk kami berempat meremang.