Aku yang tujuh tahun--mengenakan tuxedo hitam dengan pita kupu-kupu dan rambut rapi tersisir ke belakang--mematung di antara sekumpulan manusia dewasa yang tak kukenal. Mendung. Gerimis turun. Payung-payung hitam mengembang. Baju hitam dan wajah-wajah murung dan terisak-isak. Doa-doa. Kami semua berdiri melingkari dua pemakaman yang baru saja tertutup tanah.
Okaa-san.
Outo-san.
Kepalaku sakit, tapi aku tidak menangis.
Sebuah tangan besar merangkul bahuku sedari tadi. Aku tidak memandangnya, karena aku tidak butuh itu. Lalu di antara bunyi gerimis yang menampar payung, rerumputan, batu nisan, dan tanah itu, aku mendengar bisik-bisik tanpa belas kasihan.
'Mereka mati mengenaskan.'
'Mereka bunuh diri.'
'Kasihan bocah itu. Dia tidak punya siapa-siapa.'
'Mereka menelantarkannya. Kejam sekali.'
Orang-orang dewasa pernah bilang, bunuh diri akan membuatmu ditolak oleh langit. Tak ada surga buatmu. Tak ada neraka. Kamu akan melayang-layang tanpa tujuan. Kamu hidup di dimensi lain, yang lebih hampa dan kosong. Tidak ada keluarga. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada, cinta.
'Mereka konyol. Orang Jepang selalu lebih memilih mati daripada hidup menanggung malu.'
Bisik-bisik itu lagi.
Okaa-san ... Outo-san ... Kenapa kalian tidak membawa aku juga? Apa bedanya dimensi kosong dan hampa itu dengan di sini? Aku juga sudah tidak punya siapa-siapa, bukan?
"Ken ..."
Suara lelaki yang terus saja merengkuh bahuku sepanjang pemakaman kedua orangtuaku menyapa di sela-sela suara gerimis yang hampir menghilang. "Ayo kita pulang."
Pulang? Rumah itu sudah kosong. Bagaimana aku bisa tinggal di sana?
"Tuan Adam," seorang lelaki menghampirinya, lalu menunduk hormat, "mobil telah siap."
Lelaki yang dipanggil Adam itu mengangguk, lalu memandangku. "Ayo," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Ragu-ragu, aku meraihnya.
Sejak itu, aku yang tujuh tahun, mulai mengikutinya ke mana-mana. Aku bahkan telah lupa apa nama belakangku. Matsumoto? Minato? Tanaka? Inue? Saito?
Sejak itu, namaku adalah Kentaro Hutama. Dan aku tiba-tiba memiliki seorang adik. Satu-satunya adik. Arjuna Saputra Hutama.
Bertahun-tahun, aku berusaha dan mencoba mencintainya. Tapi entah kenapa, aku tidak pernah bisa ...
***
Mataku terpejam rapat. Mendongak. Aku mencium bau tanah, menghirup dalam-dalam. Hujan baru turun semalam dan membasahi segalanya. Aroma yang aku suka. Tapi aku lebih suka aroma musim semi. Dulu, Outo-san pernah membawaku pulang ke kampung halamannya. Kyoto. Musim semi tengah gagah ketika itu. Aku dan Okaa-san bermain-main, berlari dan mandi matahari yang sangat hangat, menikmati sakura-sakura bermekaran. Usiaku baru lima tahun, tapi sampai sekarang, aku masih ingat bagaimana aromanya yang menentramkan itu.
Sesuatu tiba-tiba melintas. Aku merasakannya. Bau musim semi menguar ke cuping hidung. Aku terkesiap. Dadaku berdegup kencang dengan tiba-tiba. Dengan cepat membuka mata dan mencari-cari.
Seorang wanita berjalan di depanku. Rambutnya lurus sebahu. Terayun diterpa angin pagi dan langkahnya yang anggun. Ia mengenakan terusan sifon berwarna kuning cerah, menjuntai hingga di bawah lutut.
"Tunggu!" Suaraku tiba-tiba saja menggema. Aku tidak percaya aku telah mengucapkan itu.
Dia menghentikan langkah, lalu menoleh. Wajahnya seputih susu. Pipinya bersemu merah muda. Dan bibirnya ... Bibirnya seperti warna plum yang matang. Manis. Dia cantik. Benar-benar cantik.
Tanpa sadar, aku memejam. Di dalam kegelapan itu, samar aku melihat sebuah taman bunga. Merah. Putih. Kuning. Ungu. Hijau yang menghampar dan langit biru yang membentang tanpa ampun. Aroma musim semi menguar. Aku merasa nyaman. Aku merasa ... bebas!
"Iya?" tanyanya. Aku membuka mata. Wajah penuh tanda tanya itu menungguku menjawab. Tapi entah mengapa, tiba-tiba, mulutku terkunci begitu saja.
Dalam keheningan itu, dia menatapku dari atas hingga bawah. Lalu tersenyum. "Ada perlu apa?"
Aku masih membungkam. Aku ingin mengatakan kalau dia wanita yang cantik. Aku juga ingin katakan kalau aku telah terperangkap di aroma tubuhnya. Aku juga ingin katakan, kalau aku ... Aku telah jatuh cinta padanya. Tapi ... entah mengapa, semua kata tercekat di tenggorokan.
"Tidak?" tanyanya lagi.
Aku membungkam. Benar-benar terpukau dengan kecantikannya yang dewasa itu.
"Oke. Baiklah. Aku ...," dia mengarahkan jempolnya ke belakang, "aku akan pergi sekarang. Oke?" Lalu dia meninggalkanku. Benar-benar meninggalkanku.
Musim semi berguguran dari bola mataku ...
***
"Hai." Seorang gadis mengulurkan tangannya ketika aku baru saja duduk. Dia tidak sendiri. Di belakangnya, ada tiga gadis lain. "Namaku Vanila. Kau siapa?" Aku menatap matanya. Bulu matanya lentik, tapi aku tahu itu palsu. Ia juga mengenakan lipsgloss berwarna pink pucat. Dan bau parfumnya, seperti bau jus buah yang dicampur sembarangan.
"Jangan ganggu aku," balasku dengan ketus, lalu membuang muka. Menambatkan mataku pada pintu masuk kelas yang dipenuhi siswa baru yang sibuk mencari-cari kelas mereka.
"Cih! Mentang-mentang ganteng, sombong!"
Umpatan itu sudah sering kudengar, dan aku tak akan terpengaruh.
Suara bel melengking panjang sebanyak dua kali, lalu terdengar suara berat seorang lelaki melalui pengeras suara, "Bagi seluruh siswa yang masih berada di kelas, diharapkan segera ke aula. Upacara penerimaan siswa baru akan segera dimulai lima menit lagi."
Aku mendorong kursi ke belakang, lalu berdiri dan berjalan keluar kelas. Sebagian berlari-lari kecil dan tertawa. Sebagian berjalan dan saling mendorong. Bergerombol. Riuh. Mereka nampak begitu bahagia.
Dasar bocah!
Aula besar itu sudah penuh ketika aku sampai. Semua berdiri dan berbaris rapi di kelas mereka masing-masing. Aku mencari kelasku, 1-A, lalu menempatkan diri di urutan paling belakang.
Acara penerimaan siswa baru berjalan dengan khidmat. Satu per satu orang dewasa berdiri di podium dan berbicara. Perihal betapa bahagianya mereka menerima kami. Perihal peraturan-peraturan yang harus kami jalani. Perihal ini, itu, dan segala macam bentuk kebosanan lainnya. Hal-hal itu tentu saja tidak akan berlaku bagiku. Aku terlahir pandai, dan kaya. Masa depanku sudah ditentukan. Aku hanya butuh menjalani semua ini dengan sempurna. Lulus dengan nilai tinggi--dan harus lebih tinggi dari Juna--dan membuat Tuan bahagia. Setidaknya, ini adalah satu-satunya caraku membalas kebaikan yang telah dia berikan padaku. Cinta. Rumah. Pendidikan. Dan, keluarga. Dialah yang telah menyelamatkanku keluar dari dimensi yang kosong dan hampa itu.
Tiba-tiba denging mikrofon membuat telingaku pedih. Aku memiringkan kepala dan mengucak-kucak telinga, berharap suara lengkingan itu segera sirna. Dan di saat itulah aku melihatnya. Wanita itu ... Wanita berbaju terusan sifon berwarna kuning cerah. Wanita beraroma musim semi. Dia, berdiri di sana. Menatap podium dengan wajah cantiknya yang dewasa.
Dan sekali lagi, dadaku berdegup kencang ... []
~ bersambung
#faith #mysecondmarriage #extrapart #aromamusimsemi #AjengMaharani #novel #romance #novelwattpad #wattpadindonesia #wattys2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)
Teen FictionIni adalah prekuel dari FAITH: My Second Marriage, di mana mengambil alur waktu ketika Juna duduk di kelas dua SMP, sementara Kentaro kelas satu SMU. Kentaro yang selama diangkat menjadi anak keluarga Hutama, menjalani kehidupannya dengan penuh ket...