Kata Pak Heru, nama bocah itu Rico Baco. Dia tinggal di daerah Dukuh Kupang Timur. Ketika Pak Heru membelokkan mobil ke arah wilayah ini, aku sudah merasa janggal. "Teman Juna itu tinggalnya di sini, Pak?" tanyaku dengan terus sasar menelanjangi daerah yang terkenal kurang baik itu. Apalagi, arah yang ditempuh Pak Heru semakin ke pelosok.
"I-Iya," Pak Heru menjawab dengan gagap. Pantas tadi, saat mengatakan perihal kawan Juna itu, nada suaranya terdengar ragu-ragu.
"Bapak kok nggak pernah cerita kalau teman Juna tinggal di daerah begini, sih, Pak?"
"A-Anu, Tuan Muda Juna sendiri yang menyuruh saya diam."
Aku menghela napas. Jangan-jangan, selama ini, saat Juna pergi dan pulang malam, dia ke tempat yang tidak-tidak, pikirku.
Mobil keluarga Hutama akhirnya berhenti di sebuah rumah sederhana, tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, tapi sangat berantakan, menurutku. Dinding-dinding rumah itu telah banyak mengelupas, warnanya oranye pucatcenderung kusamdan rimbun dengan pohon mangga dan belimbing yang terlihat tidak pernah dipangkas. Daun-daun kering berjatuhan, berantakan dan kotor. Bahkan hampir serupa tumpukan sampah.
Aku keluar dari mobil dan membiarkan Pak Heru mengetuk pintu, mencari kawan Juna itu. Seorang wanita berkulit cokelat gelap, dengan rambut keriting dan kasar, keluar dari dalam. Setelah Pak Heru menyebut sebuah nama, wanita itu berteriak memanggil sambil masuk ke rumah kembali tanpa bicara apa pun pada kami. Sebuah sopan santun yang aneh.
Tak lama kemudian, seorang bocah yang hampir mirip dengan wanita berdarah Ambon tadi muncul. Dia mengenakan kaos ala rapper berwarna hitam dan putih. Dia terkesan seperti tengah mengenakan baju ayahnya. Besar dan lebar. Raut mukanya dekil, seperti tidak pernah mandi berhari-hari. Daki-daki bertumpuk dengan suka cita di bagian leher dan tengkuk. Tubuhku merinding.
"Kamu teman sekolahnya Juna?" tanyaku sinis dan tanpa basa-basi. Aku merasa jengah berada di tempat ini. Bagaimana bisa anak seorang Hutama berkawan dengan ... Ahhh ...
Menanggapi pertanyaanku, bocah yang badannya hampir setinggi mamanya itu mengangguk dengan raut wajah heran.
"Kamu tahu di mana dia sekarang?" cercahku lagi. Aku ingin cepat mendapatkan jawaban dan pergi dari sini.
"Nggak tahu." Dia berkata sambil mengedikkan bahu dengan ringan.
"Bohong."
"Beneran, kok."
"Bohong."
Aku mendelik, dan bocah itu mulai merasa tidak nyaman. Dia bertampang makin menyebalkan, seperti ingin masuk ke dalam rumah dan mengabaikan kami. Mungkin membanting pintu keras-keras untuk mengusir kami.
"Katakan di mana Jun--" aku berkata lebih sinis dan ingin maju mendekat, tapi tangan Pak Heru mencegah. Lelaki itu menggeleng ke arahku.
"Anu, Nak Rico. Tuan Muda Juna hari ini mengurung diri di kamar dan belum makan, lalu sore tadi melarikan diri. Kami sedang mencarinya sekarang,' ujar Pak Heru.
"Tapi Juna nggak ke sini, Om."
"Hengg, kira-kira, Nak Rico tahu di mana dia biasanya nongkrong?"
Rico menatap Pak Heru dan aku secara bergantiantapi lebih lama saat melihatku. Matanya nampak ragu-ragu.
"Hei, jawab, dong." Aku sudah tidak sabar. Aku baru pulang sekolah dan belum makan malam. Lapar. Perutku sudah menari-nari sejak tadi. Dan apa yang kupikirkan benar. Bocah itu memicing tajam ke arahku, lalu berbalik hendak masuk. Lesat aku terjang pintu yang akan ditutupnya dengan kasar, suara dentum terdengar dan bocah itu tersentak. Aku melotot. Sementara itu, mamanya keluar karena gaduh yang baru saja terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)
Teen FictionIni adalah prekuel dari FAITH: My Second Marriage, di mana mengambil alur waktu ketika Juna duduk di kelas dua SMP, sementara Kentaro kelas satu SMU. Kentaro yang selama diangkat menjadi anak keluarga Hutama, menjalani kehidupannya dengan penuh ket...