Bagian 2

49 4 0
                                    

Aku baru saja mengulurkan tangan untuk membuka pintu, tapi dari sisi dalam, seseorang telah mendahului. Pintu membeliak lebar dan aku menemukan wajah bocah manja itu. Dia menatapku sinis. Mata kami bersitatap dan kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat.

"Juna! Juna!"

Suara Mama Linggar menyeruak dari arah dalam. Dari balik tubuh yang berusia dua tahun lebih muda dariku itu, kulihat Mama Linggar berjalan tergopoh. Di atas rambutnya, rol-rol aneka warna menggulung. Kudengar bocah manja itu mengumpat, "Cih!" lalu menerobos tubuhku. Dia lesat ke halaman, menerobos panas yang menggeliat. Aku hanya memperhatikannya saja.

“Hei, Arjuna! Ini waktumu bimbingan belajar! Hei!" Mama Linggar muncul dan berdiri di depan pintu. Napasnya terengah-engah karena emosi. Setelah bocah manja itu menghilang, dia menatapku. Lama. Kemudian berkata sambil berlalu masuk ke dalam rumah lagi, "Oh Tuhan, ini tidak adil. Sangat tidak adil. Bagaimana bisa anak kandung kami seperti itu sementara anak yang kami angkat begitu sempurna!"

Suara Mama Linggar memenuhi seluruh isi rumah kami. Aku menyungging senyum. Dengan segera, menghampiri wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu itu dan merengkuh bahunya, mencium pipinya.

"Aku pulang," ujarku. Lalu berlalu sambil melempar senyum padanya. Wajah Mama Linggar bersemu merah. Dia merapatkan kedua telapak tangannya ke pipi.

"Hei, Ken! Kalau kau menciumku seperti itu lagi, aku akan melempar sandalku padamu!" serunya. "Sorry, Mam. Sepasang sandal tidak akan bisa menakutiku," balasku sambil melambai dan tanpa menoleh ke belakang. Aku terus berjalan ke arah anak tangga yang menuju ke lantai dua, kamarku dan Juna. Samar-samar, kudengar Mama Linggar berujar kembali, "Dasar anak itu. Bikin aku berdebar-debar saja.”

Aku tersenyum geli.

***

Juna pulang pukul tujuh malam. Bau tubuhnya dipenuhi matahari yang menyengat. Rambutnya terlihat acak-acakan, dan aku yakin pasti sangat berdebu.

"Dari mana saja kau?" tanya Mama Linggar tanpa menghampiri anaknya itu. Kami semua sedang duduk di ruang keluarga. Papi Adam menikmati sepotong cake, sementara aku membaca buku di sofa biru pastel kesayangan, tepat di hadapan Juna berdiri. Dari tempat ini, aku melihat jelas wajah Juna yang menampakkan ingin segera melarikan diri.

"Main," jawabnya singkat. Dia lalu pergi menuju tangga, menapaki satu demi satu anak tangga dengan langkah-langkah yang seringkali kusebut dengan tidak peduli setan itu.

"Sssshhhh, anak ituu ..." Mama Linggar lagi-lagi mendesis geram. Aku kembali membaca, tapi tiba-tiba Mama Linggar sudah duduk di samping dan menatapku dengan serius. "Ken, tolong kau ajak bicara anak itu. Aku sudah tidak bisa lagi menghadapinya. Aku bisa gila kalau dia terus seperti ini. Setidaknya, tanyakan, apa sih yang dia mau. Ya?"

Kupandangi wajah Mama Linggar yang cemas sekaligus kesal itu. Lalu mengangguk. Kuletakkan buku dan berdiri. "Jangan khawatir. Aku akan bicara padanya."

Mama Linggar mengangguk-angguk, meraih tanganku dan meremasnya lembut. "Tolong, ya, Ken."

Aku mengangguk sekali lagi, lalu berpaling dan berjalan menuju tangga. Sesampainya di depan kamar Juna, aku berdiri. Tidak mengetuk atau pun memanggil namanya. Jujur, aku sendiri tidak begitu tertarik pada Juna, tapi aku pun sama sekali tidak membencinya.

Ketika pemakaman Okaa-san dan Outo-san berakhir, Papi Adam membawaku ke rumah ini. Mama Linggar menyambutku dengan gembira. Juna juga. Mama Linggar berkata, "Sekarang inilah rumahmu, dan dia adikmu." Lalu Juna menyalamiku yang masih ragu-ragu dan canggung menghadapi dunia yang baru. Juna tersenyum, tapi aku tidak membalasnya.

Pintu kamar itu terbuka tiba-tiba. Juna terkejut melihatku di depannya. Matanya membulat, lalu dia berusaha menutup kembali pintunya, tapi kucegah dengan hentakan tangan. "Tunggu!" ujarku. Juna menghentikan niatnya. Menatapiku dingin. Seperti menatap sepiring makanan yang tidak dia sukai.

"Ada apa?"

"Boleh aku masuk?"

"Nggak!"

"Kenapa?"

"Kau sudah punya kamar sendiri."

"Tapi aku ingin main di kamarmu. Sudah lama aku nggak mengunjungimu, kan?”

"Aku nggak butuh dikunjungi."

Lalu kami sama-sama terdiam. Dari balik tubuhnya, aku bisa melihat isi kamar. Di belakang sana, sebuah lemari terisi penuh dengan miniatur mobil Hotwheel beraneka bentuk, tengah berdiri kokoh. Dulu, kami sering memainkannya bersama. Tapi sekarang tidak pernah lagi. Aku sudah SMA, dan dia SMP. Kami bukan kanak-kanak lagi.

"Mobil Hotwheel-mu masih lengkap sepertinya."

"Jangan basa-basi. Katakan apa maumu sebenarnya?"

Aku terdiam kembali. Menatap matanya yang dingin.

"Ibumu mengkhawatirkan dirimu. Nggak seharusnya kamu bolos les."

"Bukan urusanmu," ujarnya sambil mulai menutup kembali pintu kamar, tapi kakiku yang lebih panjang dari miliknya, terjulur menahan.

"Ini urusanku juga, kau tahu."

"Kenapa?"

Kenapa ...?

Pertanyaan itu mengiang di kepalaku.

"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa kau bilang kalau ini juga urusanmu?!"

Aku tertegun. Nada Juna mulai meninggi. Tapi pertanyaan itu benar. Kenapa aku merasa kalau ini menjadi urusanku?

"Kita bukan saudara, Ken. Kau bukan kakakku."

Dengan kuat dia mendorong pintu itu sekali lagi hingga kakiku hampir terjepit, tapi cepat-cepat aku menariknya. Bunyi keras memekak telinga. Aku berdiri beku. Memikirkan kata-katanya kembali.

'Kita bukan saudara, Ken. Kau bukan kakakku.'

Dalam kepala, aku bertanya-tanya. Kenapa dia mengatakan itu? Apakah ... Aku sudah mengganggunya ...? []

~ bersambung

Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang