Bagian 5

32 3 0
                                    


"Namaku Kentaro. Kelas 1-A. Jangan lupa, ya!"

Aku melambai dengan senyum lebar ke arah Andalusia dan berjalan mundur meninggalkan halaman rumahnya. Angin berkesiur, membelai rambutku dan berkibar-kibar. Andalusia diam terpaku di tempat. Tidak sedikit pun meninggalkanku. Ketika sampai di perempatan jalan dan berbelok, kulihat dia mulai berjalan memasuki rumah.

Dengan langkah gembira, aku menelusuri jalan perkampungan tempat tinggal Andalusia, melesakkan kedua tangan ke saku celana baggy dan bersiul-siul. Orang-orang memandangi, tapi aku terlalu sibuk dengan senyum kegilaan yang terukir di bibir--seolah senyum itu tidak akan hilang dalam sebulan ke depan, tapi entah mengapa tatapan mereka menusuk. 

Ketika sampai di jalan utama, ponselku berdering. Mama Linggar. Ini panggilan kesekian yang telah kuabaikan dari tadi. Kusandarkan tubuh di sebuah tiang listrik sambil liar menelusuri lalu-lalang kendaraan, mencoba mencari taksi yang melintas. Sorot lampu sedikit membuat mataku memicing dan aku tidak menemukan apa pun.

"Ya, Ma?"

"Ken! Di mana saja kamu?"

"Aku pulang, Ma."

"Hah?"

"Sori, tiba-tiba ingat ada tugas yang harus dikumpulkan buat besok."

Terdengar suara mendengus dari seberang sana.

"Ya, sudah. Naik apa kamu?"

"Taksi."

"Bawa uang?"

"Bawa."

Aku masih belum menemukan taksi. Malam yang sial, dan hawa dingin mulai menyerang. Aku tidak mengenakan sweater tadi.

"Baiklah, Mama juga sudah mau selesai, kok. Hati-hati, ya, Ken."

"Iyaa ...."

"Bye."

"Bye, Ma."

Aku menghela napas dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Aku memutuskan kembali berjalan, mungkin di sisi lain jalan ini aku bisa menemukan sebuah taksi. Sempat terpikir menelepon pemuda manja itu agar menjemputku dengan motor, tapi urung. Juna tidak mungkin mau.

Angin pukul delapan malam mulai tak berperasaan. Rasa dingin itu makin menusuk kulit. Sial. Tiba-tiba aku merutuki diri, kenapa tadi aku tidak menyambar sweater army yang tersampir di bahu kursi belajar. Rasa malas untuk keluar malam membuatku berjalan gontai ketika Mama Linggar mengajakku pergi.

Sambil berjalan, sesekali kugosok-gosokkan tangan ke lengan, sedikit bergidik--rambut-rambut halusku berdiri--dengan terus menelusuri trotoar jalan. Padahal tadi aku tergila-gila karena rasa bahagia, tapi sekarang mengeluh dan sebal karena dingin dan tidak menemukan taksi.

Sebuah kendaraan umum berhenti di depanku secara mendadak. Debu yang bercampur dengan asap knalpot berhamburan. Aku mundur beberapa langkah ke belakang, dan berhenti, mengibas-kibaskan telapak tangan ke depan hidung dengan alis mengerut. Ingin mengumpat, tapi menahannya kuat-kuat. Aku hanya memicing, dan melihat seorang lelaki bertubuh gelap turun dari kendaraan itu.

Setelah membayar pada sopir, lelaki itu berjalan ke arahku dan berdiri di samping. Matanya liar, menoleh ke sana ke mari. Dia mendecih kesal, lalu mengeluarkan Nokia 3310 berwarna biru dari dalam tas kerjanya yang sedikit kumal dan berdebu.

"Woi, perempuan edan! Jam berapa sekarang, hah?" umpatnya dengan mata mendelik. Aku terhenyak. Menelan ludah. Tanpa sadar aku mundur selangkah, merasa tak nyaman dengan lelaki itu. Dan sepertinya dia menyadarinya. Dia melirikku dengan tajam, tapi kemudian membuang muka tidak peduli.

Dalam keheningan yang sesak, aku dan dia sama-sama bertahan di tempat itu. Aku sudah malas berjalan lagi. Capek. Aku mencari-cari taksi, melongok ke jalanan beberapa kali dan dia sempat melirikku lagi.

Lelaki itu besar dan tinggi. Kumisnya lebat. Sekilas, aku melihat sebuah tato berukuran sedang di telapak tangan kirinya, tapi tidak jelas itu gambar apa. Dia mengenakan celana hitam dan jaket biru tua dengan eksen kotak-kotak di bagian lengan dan tulisan sebuah amamater yang dibordir di bagian punggung. Warnanya merah, dan aku merasa itu tidak cocok secara keseluruhan.

Sebuah taksi akhirnya terlihat. Lesat aku maju di bibir trotoar dan melambai-lambaikan tangan. Aku bersyukur akhirnya terbebas dari lelaki yang entah sudah berapa kali mengumpat dengan kata-kata kasar khas kota kami itu. Dia nampak begitu marah, dan seperti ingin menelan semua kegelapan ini masuk ke dalam perutnya yang sedikit buncit itu.

Taksi berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku berjalan beberapa langkah menuju ke arahnya. Ketika tanganku meraih knop pintu dan membukanya, sebuah motor berhenti mendadak di belakang taksi. Suara decit rodanya memekak telinga. Aku seketika terhenyak, bergeming di tempat dan menatap wanita pengendara itu. Andalusia. Dia juga melihatku. Rona terkejut nampak jelas di wajahnya.

'Goblok!"

Lelaki itu mendekati Andalusia dan dengan tangannya yang besar, dia menempeleng kepala wanita itu. Andalusia membisu. Kepalanya menengleng dan tertunduk. Helai-helai rambut jatuh menutupi wajahnya yang jelas terlihat menahan keras kemarahan diperlakukan seperti itu.

"Kalau sudah jam tujuh, kamu itu harus sudah di sini, goblookk," seloroh lelaki itu lagi sambil berkali-kali menjendol kepala Andalusia dengan kasar. 

Aku geram. Tanganku mencengkeram knop pintu taksi. Sebuah kepedihan menghantam dada bertubi-tubi, tapi tubuhku semakin terpaku dan membeku.

Setelah puas mengasari Andalusia, lelaki itu naik ke belakang motor. Dia berteriak, "Jalan! Nunggu apa kamu?" Lalu motor yang sedari tadi masih menyala itu perlahan melaju, melewatiku dalam kebisuan yang menyesakkan. Aku menekuninya, sampai semuanya hilang ditelan kegelapan.

Andalusia sama sekali tidak menatapku, tapi sekilas, ketika dia melintas, luka itu terlihat jelas. Luka sama, yang pernah kutemui di atap sekolah siang itu.

Aroma musim semi di tubuhnya berguguran ....

***

Langkahku gontai menapaki halaman sekolah. Kepala masih terasa berat, walaupun aku sudah menegak sebutir pereda nyeri. Kantuk itu menyerang dengan aktif. Semalam, aku tidak tidur sama sekali. Kesedihan Andalusia memantul-mantul di dalam kepala.

Siapa lelaki itu?

Suaminya?

Jika dilihat dari wajah dan postur tubuhnya, Andalusia masih terlalu muda untuk bersuami, walaupun itu bisa saja terjadi. Atau mungkin justru usia wanita itu jauh lebih tua daripada wajahnya. 

Atau, jangan-jangan ....

Apa lelaki itu ... ayahnya?

Itu tidak mungkin. Wajah lelaki itu tidak mirip sama sekali dengan Andalusia. Lelaki itu kasar, tumpukan bopeng memenuhi wajahnya yang gelap. 

Aku memikirkan hal ini semalaman. Rasa penasaran begitu menusuk. Juga marah. Benar-benar marah.

Kaki-kakiku tiba-tiba terhenti di tengah-tengah halaman sekolah. Aku mendongak, awan putih berarak-arak di langit biru yang sempurna. Angin berkesiur. Lalu suara bel masuk memekik. Mereka berlarian, tertawa gelisah dan menebas angin.

Aku diam. Diam yang carut marut.

Diam yang gelisah.

Halaman sekolah sudah kosong dan sepi. Pelan, aku melangkah menuju gedung perpustakaan. []

~ bersambung

Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang