Bagian 6

33 3 0
                                    

Aku benci perempuan. Ah, tidak. Aku benci perempuan yang berisik tiap kali melihatku. Aku benci perempuan yang gampang tergila-gila hanya karena alasan wajah. Juga yang jelalatan dan berbisik-bisik. Seperti Vanila dan gengnya yang menyebalkan itu. Namun, Andalusia berbeda. Dia dewasa.

Meja penjaga perpustakaan itu kosong. Tidak ada ada Mam Liliana. Tidak ada Andalusia.

Aku membuka pintu dan udara dingin yang diembus AC menerpa wajah. Aku diam sejenak, meyapu bersih seluruh isi perpustakaan. Kosong. Di jam segini, biasanya Mam Liliana masih di ruang guru. Setahuku seperti itu, jadi mungkin Andalusia pun demikian. Aku melenguh kecewa, mengembus napas dalam dan hendak berbalik, tapi aku terlalu malas untuk belajar hari ini.

Aku ingin tidur.

Kakiku melangkah perlahan ke sudut ruang baca, paling tenang dan nyaman. Menarik kursi kayu dan mendudukinya. Bunyi decit kaki kursi yang beradu dengan ubin menggema dalam kesunyian ruang baca, lalu suara itu muncul.

"Siapa?"

Ketika aku berpaling, Andalusia muncul dari lorong antara rak buku-buku sejarah dan biografi. Ia melongok dari balik kacamatanya yang berbingkai hitam dan mengernyitkan dahi, menatapku sejenak dengan sedikit terkejut, kemudian memasukkan kembali buku yang dipegangnya ke susunan rak dan berlalu pergi. Ia nampak sekali sedang menghindariku.

"Tunggu!" seruku sambil menghambur ke arahnya.

"Ini jam pelajaran, kau nggak seharusnya di sini. Perpustakaan sedang tutup," ucapnya, sinis dan dingin. Ia bahkan tidak menghentikan langkah. Terus lesat menuju meja penjaga. Sebuah benteng yang nantinya akan memisahkan posisiku dengan dirinya. Benteng yang sangat angkuh.

"Tunggu, Andalusia. Tadi malam--"

"Tidak ada yang terjadi tadi malam." Andalusia seketika berbalik dan memotong ucapanku dengan cepat. Ia menatapku tajam. Seolah sebuah ancaman. Dari balik kacamatanya aku melihat kemarahan yang disembunyikan rapat-rapat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.

"Bukan urusanmu." Ia kembali memunggungiku dan berjalan. Kali ini, lebih lambat dari sebelumnya.

Aku melebarkan langkah, berusaha mensejajarkan tubuh kami. "Aku semalaman merasa khawatir. Aku nggak tidur."

Andalusia tidak berkata apa-apa. Dia hanya menyungging senyum sinis. Seolah apa yang kukatakan itu kekonyolan anak-anak yang tengah merayu seorang gadis.

"Siapa lelaki itu?"

"Bukan urusanmu."

"Tapi aku merasa itu urusanku."

Dia kembali membalikkan badan. Kami berdekatan kini. Aku bahkan bisa merasakan hawa napas panas yang terembus dari hidungnya.

'Tolong, ya. Aku dan kamu nggak ada hubungan apa-apa. Kita hanya bertemu beberapa kali dan itu bukan berarti kita memiliki hubungan spesial. Lagi pula, aku ini adalah penjaga perpustakaan sekolahmu. Kau harus menghormatiku seperti kau menghormatiku guru-guru yang lain. Jadi jangan panggil aku sesuka hatimu, panggil aku Mam. Ngerti?"

Dia marah. Dan tersinggung dengan sikapku. Aku bisa mengendus aroma itu.

"Pergi sekarang. Aku mohon." Dia berkata sambil mengatupkan kedua tangan di depan wajahnya dan menunduk dalam-dalam.

Aku bergeming. Tidak bisa berkata apa-apa. Rasa penasaranku meledak-ledak dan ingin mengatakan bahwa aku juga terluka semalam, di sini, di dadaku, tapi kupikir itu sangat mengganggunya.

Dia kembali meninggalkanku dan membuka ke pintu kecil berbentuk seperti pintu bar di zaman koboi, lalu duduk di kursi kebesarannya. Kami terpisahkan oleh sekat itu kini, dan aku menatapnya.

Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang