Bagian 7

37 4 0
                                    

Harapanku menguap. Apa yang kupikirkan ternyata salah. Juna mendengarnya. Dan itu buruk.

Ketika Mama Linggar telah tenang dan beranjak menuju ke kamarnya, aku mengucapkan, "Selamat tidur, Ma," dan dia hanya menjawab, "Hemmm ..." dengan lemas. Rasa kasihan melindap di dadaku. Biasanya, dia akan memeluk dan mencium keningku, tapi kali ini tidak. Kali ini terasa kosong dan senyap.

Kuraih kopi kalengan dan meneguk habis sisanya. Rasa manis yang bercampur pahit mengaliri tenggorokan. Lega. Aku mengusap sisa kopi yang mengendap di ujung bibir, sambil menoleh ke arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang keluarga. Mataku terbelalak dan membeku seketika.

Juna berdiri di balik pintu. Wajahnya pucat, lebih dingin dari biasanya. Aku pikir bocah itu ada di dalam kamar, tapi entah sejak kapan dia ada di sana. Berbagai pertanyaan bertubi menghantam pikiranku, tapi belum hilang rasa terkejut yang memenuhi seluruh syaraf, bocah itu melesat, melayangkan kepalannya ke wajahku.

Aku terhuyung beberapa langkah ke belakang, hampir menabrak meja. Wajah Juna memerah padam, napasnya memburui udara dengan dada yang naik-turun. Terengah-engah.

"Kau ...," desahnya berat, "dasar peliharaan nggak tahu diri!"

Dadaku sakit mendengar itu, tapi aku tahu Juna jauh lebih tersiksa ketika mendengar ibunya berkata seperti tadi.

Aku memilih bungkam, membiarkan bocah itu meluapkan kemarahannya padaku. Dia benar. Aku binatang peliharaan yang tak tahu diri. Selama ini, aku selalu berusaha lebih menonjol darinya. Bukan apa-apa. Bagiku itu adalah, satu-satunya cara untuk membayar kebaikan keluarga ini. Mereka telah menentukan masa depanku di perusahaan itu, masa depan yang gemilang, yang diimpikan banyak orang dan tidak semua akan cepat mendapatkannya. Sementara aku, aku tidak bisa berbuat lebih dari apa yang kulakukan selama ini.

Tidak lebih ....

"Mati saja kau! Mati saja kau!" Juna lesat mendekat dan memukul-mukulkan kepalan kecilnya ke dadaku. Berkali-kali, dan berkali-kali. Aku diam, menerimanya dengan lapang dada. Berharap tidak ada seorang pun yang mendengar ocehan kesakitan yang dilontarkannya malam ini.

Tubuh bocah itu bergemetar. Dia terisak. Pelan tapi pasti, pukulannya terhenti. Menunduk. Bahunya mengguncang lebih hebat. Tetes-tetes air tumpah ke karpet, menyesap ke dalam. Berkali-kali dia mengusap matanya dengan lengan. Kanan, kiri. Kanan, kiri. Kasar dan kesal.

Aku terenyuh. Kudekap tubuh kecilnya, melesakkannya ke dalam pelukanku, tapi dengan cepat dia mendorongku ke belakang. Tatapan matanya merah dan basah. Kulihat, anak-anak api bermunculan di dalam sana. Api yang membara. Api yang berusaha membakar seluruh tulang-tulangku.

Api kebencian ....

Dan tanpa berkata-kata lagi, Juna berlari ke lantai dua. Sayup terdengar suara pintu kamar dibanting keras-keras.

***

Lagi-lagi aku membolos pelajaran di jam pertama. Aku lari ke atap sekolah, terengah-engah. Berdiri dengan membungkuk dan menopangkan kedua tangan ke lutut. Mataku berputar-putar. Aku merebahkan tubuh begitu saja, menutupi mata dengan lengan kanan. Cahaya matahari pagi pecah-pecah di sela-sela bulu mataku. Langit biru yang sangat cerah dan angin yang begitu menyegarkan.

Sial! Aku ingin lari ke suatu tempat di mana orang-orang tidak mengenaliku.

Waktu berjalan lamban di atap sekolah. Aku memejam mata dan berusaha menghilangkan penat yang mengalir ke suluruh sudut tubuh, melalui sel-sel darah. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, tidak ada yang hilang satu pun. Tidak Juna, tidak pula Andalusia.

Tak terasa, air mata mengaliri pipi dan aku membiarkannya.

"Kau bolos lagi?"

Sebuah suara wanita memecah kegelisahan yang mengambang di sekitarku, disusul aroma musim semi yang gemilang. Aku terperanjat, terbangun cepat dan mendongak. Andalusia berdiri di samping. Menatapku. Rambutnya yang lurus sebahu melayang-layang ringan.

Aroma Musim Semi (Kentaro - Andalusia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang