Samuel menyibakkan tirai pembatas antara lorong dan dapur. Di sana, ia memperhatikan Luna yang dengan telitinya membuatkan makanan. Dari awal ia tahu, bahwa itu untuknya. Pagi-pagi sekali, ia sudah mengintip dari balik jendela kamarnya dan melihat Luna mengendarai kudanya ke pasar. Senyum kecil terpancar di wajahnya saat ia melihat gadis itu mengaduk susu yang sedang dimasak sambil mengelap keringat. Mungkin bagi kebanyakan orang hal itu biasa saja, namun entah kenapa ia merasa Luna semakin cantik jika melakukan hal tersebut. Ia spontan bersembunyi di balik tirai saat Luna tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahnya. Ia menunggu di sana, hingga Luna kembali ke peralatan dapurnya untuk memasak. Namun ia salah, rasa penasaran Luna lebih besar.
Luna mendekati tirai pembatas. Perasaannya sangat kuat bahwa seseorang sedang menguntitnya. Perlahan, ia membuka sedikit tirai dan menjulurkan kepalanya keluar. Dan... kosong. Ia menoleh ke kanan dan kirinya, dan hasilnya hanyalah lorong panjang yang digantungi obor dan tidak ada siapa-siapa di sana. Ia menarik napas lega kali ini perasaannya salah. Kemudian ia kembali ke dapur dan mengangkat susu yang sudah steril, lalu menuangkannya ke dalam mug keramik yang dihidangkan bersama roti Murf.
Samuel berlari menju kamarnya dengan terburu-buru. Hampir saja, pikirnya. Sesaat setelah prajurit membukakan pintu kamarnya, Raffles mengejutkannya dengan berdiri tepat di depannya dengan senyum mengejek.
"Raffles, kau mengejutkanku," kesal Samuel sambil berjalan ke arah rak buku lalu mengambil salah satu buku di sana.
"Aku baru tahu, seorang pangeran boleh menguntit," goda Raffles dengan senyum anehnya. "sebagai pangeran, itu perilaku yang tidak sopan."
"Jangan ragukan aku soal kesopanan. Aku sudah mempelajarinya seumur hidupku." Samuel membuka kedua sepatunya dan berbaring di tempat tidur. "Memangnya apa yang salah dengan itu."
"Well, aku mengakui, dia memang cantik, tubuhnya indah, rambut pirangnya bagaikan ombak dan matanya bagaikan langit di musim panas," ujar Raffles sambil membayangkan bagaimana rupa Luna. "Tapi, bukankah Putri Scarlett jauh di atasnya?"
Samuel menggigit mulut bagian dalamnya, berusaha menahan emosi. Perkataan Raffles benar, namun ia tidak suka jika seseorang menyebut-nyebut nama Scarlett. Baginya, cukup Ayahnya, jangan yang lain.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka lebar dan menampilkan siluet gadis bergaun biru dengan nampan yang berisi sarapan yang dibawanya. Melihatnya, Samuel dapat bernapas lega dan Raffles permisi untuk keluar dari ruangan. Pintu tertutup dan kini tinggal mereka berdua dalam kamar. Luna berjalan mendekati Samuel perlahan. "Aku membawakan sarapan untukmu, Pangeran."
"Kenapa kau? Kenapa tidak Madison?" Samuel berbasa-basi. Ia sudah tahu jawabannya.
"Para pelayan sedang sibuk menyusun pesta penyambutan Putri Scarlett, Pangeran. Jadi saya menggantikannya."
Samuel mengangguk. "Letakkan makanannya di meja."
Mendengarnya, Luna langsung berjalan ke meja di samping ranjang dan meletakkan makanan itu di sana.
"Makanlah," perintah Samuel.
Luna mendongak dengan bingung. Ia menaikkan kedua alisnya.
Samuel yang tadinya membaca buku kini menatap Luna. "Ya, makanlah. Kau pasti lapar, kan?"
Luna memeluk nampannya erat. Apakah benar yang barusan pangeran katakan? pikirnya. "T-tapi itu sarapan untukmu, Pangeran. Aku tidak bisa memakannya." Ia melirik ke arah sarapan itu. Susu sapi segar serta roti Murf, roti termahal di Dormes yang dibuat dengan campuran rempah-rempah. Memasaknya saja sulit, pastilah rasanya sangat lezat.
"Aku seorang pangeran, Luna. Jika aku memerintahkanmu untuk makan, bisakah kau langsung melakukannya?" ucap Samuel dengan tegas.
Luna tidak menyangkal bahwa ia memang lapar, sangat malah. Ia hanya merasa tidak etis jika memakan makanan yang disediakan untuk pangeran. Namun karna perintah pangeran yang satu ini menyuruhnya untuk makan, maka ia terpaksa melakukannya. Ia berjalan ke arah meja, menarik kursi di sana, lalu memakan sedikit demi sedikit potongan roti Murf dan diakhiri dengan susu sapi segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sometime in Somewhere
RomansaLuna Aldercy Thomas adalah satu dari puluhan gadis yang tinggal di istana sebagai anak pelayan-pelayan. Setiap hari ia bersyukur akan waktu yang dilewatinya bersama ibunya di Hostle mereka yang kecil. Tidak buruk tinggal di istana. Ia bisa membaca d...