Aku langsung merasa terancam, sejak langkah pertama pria itu mengutip belatinya yang sempat jatuh tadi. Dia menghela napas pelan, mengusap darah di belatinya dengan saputangan bermotif bunga sakura yang ia ambil dari kantung celana katunnya.
Langkahnya gagah, seakan-akan luka di lengannya yang menganga dan terus mengalirkan darah itu tidak pernah ada. Jangankan nyeri, perih pun sepertinya tidak.
“Aigo, hampir tiga puluh tahun, tidak ada yang berani memperlakukanku seperti ini. Namun, malam ini, satu orang bodoh telah melakukannya. Seharusnya aku marah, tetapi yang aku rasakan malah sebaliknya.” Pria itu menyeringai, tatapan misteriusnya terasa semakin mengerikan saja. “Aku merasa senang dengan tantangan ini.”
“Aku peringatkan kau sekali lagi. Tetap di tempatmu atau kau akan mendapat lebih dari sekadar luka di lengan itu!” gertakku penuh penekanan, dengan kedua tangan mengepal dan memasang kuda-kuda. Pria di hadapanku ini bukan binatang buas atau hewan laut dengan sengatan listrik mematikannya. Dia manusia, hanya manusia biasa—yang gila.
Terkekeh, dia kembali berucap, “Ini pasti akan semakin menjadi menarik. Kurasa, malam ini adalah malam keberuntunganku.” Langkahnya terhenti, sekitar sepuluh langkah jaraknya dari aku berdiri. Kekehannya berhenti, berganti dengan seringai mengerikan yang menampakkan seluruh giginya yang putih berbingkai dua bibir berlumuran darah.
“
Kau harus segera membunuhnya, atau kita benar-benar mati malam ini,” celetuk wanita di belakangku susah payah. Darahnya mulai berhenti mengalir.
Ya! Aku tahu itu. Malam ini hanya ada dua pilihan: dibunuh atau membunuh. Pilihan terbaik ada pada opsi yang kedua: membunuh, tetapi aku sama sekali tidak punya keyakinan dengan opsi yang itu. Melihatnya yang terus menyeringai sembari melangkah pelan ke arahku saja sudah berhasil membuatku ketar ketir. Apalagi melihatnya memainkan belati setajam pedangnya itu dengan sangat lihai. Memutar, sesekali juga melemparkan rendah ke udara lalu ditangkap kembali, dan diputar lagi. Kurasa aku tidak akan bisa melihat dunia lagi esok.
“Takut?” cibirnya.
Aku mendengkus. Menepis semua awan mendung yang menyelimuti benakku. Seakan mendukung, saraf motorikku berkerja cepat, menampilkan beberapa cuplikan adegan perkelahian dari film yang pernah aku tonton. Menghela napas pelan, aku berusaha senormal mungkin, menyamarkan pacuan detak jantungku dengan sikap sok hebat.
Menelan ludah, tatapan kami saling menusuk tajam, mengancam satu sama lain dengan sorot mengintimidasi. Matanya berkilat, seperti predator yang tengah mengintai mangsa. Namun, sialnya adalah, akulah sang mangsa itu. Tidak lagi bisa berlari, setidaknya aku harus bisa bertahan.
“Kau harus segera membunuhnya, atau yang lain akan segera tiba.” Perempuan di belakangku kembali berceletuk tidak sabaran.
“Ya! Aku tahu. Sekarang, kau mundurlah, aku akan mengurusnya,” dengkusku. Tatapanku lebih tajam dari sebelumnya, membalas pandangan meremehkan dari manik matanya yang berwarna cokelat tua.
Lima detik kemudian, pria itu sudah berlari ke arahku. Dengan kemampuan bela diri ala kadarnya yang aku miliki, aku ikut berlari menyongsongnya. Teriakan menggelegar sepanjang lorong, menyapu hening yang semula menyapa.
Pisaunya terhunus padaku, dengan cekatan aku meliukan tubuh, menghindar, lalu memberikan pukulan keras pada pergelangan tangannya membuat belati yang dia genggam terlepas, terlempar, kemudian menabrak dinding lorong dan menciptakan suara ngilu yang menyapa rungu.
“Good,” desis pria itu, setelah pijakannya kuat karena menerima tendangan kaki kananku. “Perkelahian tangan kosong, hah?”
Tanpa basa-basi lagi, kami kembali bertumburan. Kepalan tinjunya sudah terarah padaku yang langsung kublok dengan tangkisan gesit. Aku terhentak, mundur beberapa langkah karenanya. Tidak bisa diremehkan, pukulan pria ini ternyata benar-benar kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOTEL [ SUDAH TERBIT]
General Fiction[ TAMAT VERSI WATTPAD] PROSES REVISI! Fasilitas motel yang ditempati Kyungie berubah menjadi tempat pembantaian. Satu per satu pengunjung dibunuh. Jerit, tangis, dan darah menyelimuti motel tersebut. Hanya ada dua pilihan yang tersisa: dibunuh atau...