Empat | 네

101 25 7
                                    

Satu detik, dua detik ... Lima detik.

Aku masih belum merasakan pedang pendek itu melukai tubuhku. Lengang. Hanya decakan hewan malam yang terdengar saling bersahut-sahutan seakan sedang menertawakan nasibku saat ini. Merasa penasaran, aku membuka mata.

Tersentak. Aku spontan mundur beberapa langkah. Mataku membesar dengan mulut setengah menganga. Bukan karena pria gila itu tidak jadi membunuhku, melainkan karena seseorang yang kini tengah mencekik pria gila itu dengan seutas tali. Pandangan kami bersibobrok, senyuman dari bibir ranumnya yang berwarna cerah itu tidak berubah walaupum sudah lebih dari lima tahun kami tidak bersua.

Dia ... Jongsin. Pria yang sudah menghilang selama ini. Meninggalkan seseorang dengan sebuah luka.

Mencoba melawan, pria gila itu mengibaskan pedang pendeknya yang berakhir hanya membelah angin kosong. Jongsin menghindar. Tubuh atletisnya benar-benar bermanfaat di saat seperti ini.

Jongsin memberikan pukulan pada pergelangan tangan pria gila itu, pedang pendeknya langsung terjatuh. Dengan sigapnya, Jongsin langsung menendang pedang pendek itu agar menjauh. Cekikkannya diperkuat, membuat kerongkongan pria itu terlihat seakan hendak terbelah dua.

Tidak lebih dari satu menit kemudian. Pria gila itu sudah lunglai di lantai. Matanya memelotot, menyorotku dengan penuh kebencian.

Napas Jongsin memburu. Dadanya naik-turun mencoba mengatur napas. Untuk kedua kalinya, pandangan kami kembali bersibobrok.
Tidak seperti dirinya yang mengulas senyum. Aku malah menggertakan gigi merasa geram. Tanganku sudah mengepal, dengan langkah lebar-lebar, aku berjalan menghampirinya.

“Dasar berengsek!” umpatku bersamaan dengan sebuah tinju yang aku layangkan tepat pada tulang pipinya yang kokoh.

Jongsin tersungkur. Sudut bibirnya yang robek sedikit mengeluarkan darah.

Jongsin bangkit, mengusap sudut bibirnya yang berdarah, lalu menatapku dengan pandangan lesu. “Kau bisa marah padaku nanti, Kyungie. Sekarang, kita harus mencari tempat persembunyian terlebih dahulu. Manusia-manusia gila itu masih tersebar di sepanjang lorong.”

Pria itu sudah berbalik, hendak beranjak. Lalu, kembali memutar tubuhnya menghadapku ketika aku tak kunjung menuruti perintahnya.

“Apa yang kau tunggu? Kematian? Kalau pun iya, percayalah, mereka tidak akan membuat kematianmu begitu mudah.”

“Kau bahkan tidak bertanya bagaimana kabarnya!” desisku penuh penekanan. Mata bundarku menyorotnya tajam, memberitahu betapa kesalnya aku saat ini.

Jongsin menghela napas. Tatapan lesunya berubah menjadi lebih tajam. Kedua tangannya mencekal pundakku dengan erat, menguncang pelan seakan sedang berusaha menyadarkanku dari sebuah halusinasi.

“Aku akan menceritakannya nanti. Semua alasanku kenapa melakukannya. Sekarang, kita harus segera bersembunyi sebelum antek-antek pria sialan ini datang.”

Belum juga terkatup bibir Jongsin setelah memberi peringatan, dari ujung lorong terlihat segerombol pria berseru-seru pelan, sedikit berlari ke arah kami dengan berbagai jenis senjata tergenggam kokoh pada masing-masing tangan mereka.

Shit!” dengkus Jongsin geram. Tanpa aba-aba kembali, Jongsin sudah menarik lenganku dengan setengah berlari.

***


Pacuan kaki kami terhenti di perempatan lorong. Di depan, empat orang yang lain sudah menghadang dengan cengiran aneh. Perlahan, mereka mulai mendekat. Menggoyang-goyangkan kapak serta pisau yang dibawa seakan hendak menyampaikan betapa mengerikannya mereka.

“Kita harus berpencar,” kataku terburu-buru. Genggaman tangan Jongsin cukup erat sehingga aku sedikit kesulitan meloloskan cekalannya.

“Jangan bodoh. Kita harus tetap bersama,” dengkusnya setengah kesal. “Berbalik. Kita putar arah,” Jongsin mengintrupsi.

Kami berbalik. Namun, nasib bagus pun belum berpihak pada kami. Orang yang mengejar kami sedari tadi sudah dekat. Dengan semangatnya, mereka terus mempercepat langkah kaki.

“Berpencar, Jongsin! Tidak ada pilihan lain. Buat mereka bingung, atau kita yang akan mati di sini,” desakku. Pasalnya, pria ini masih juga belum ingin melepaskan cekalannya.

“Jaga dirimu, Kyungie. Aku akan menemuimu lagi,” celetuk Jongsin setelah diam beberapa detik. Mempertimbangkan bagaimana baiknya.

“Aku tidak selemah yang kau pikir. Asal kau tahu saja!” dengkusku sekaligus menghentakkan tangan dari cekalannya.

Terlepas. Aku buru-buru berlari ke sisi kiri, sedangkan Jongsin mengabil sisi kanan. Ketukan alas sepatuku dengan lantai bergema, menciptakan nada tak beraturan yang membuat suasana semakin tegang.

Keringat sudah mengucur. Membasahi sebagian kaos oblongku. Sesekali, napasku tersengal, dengan detak jantung secepat ini, rasanya aku tidak sanggup lagi lari lebih jauh. Perlahan, langkahku semakin pelan, pelan ... Hingga berhenti total. Dadaku kembang kempis, sepertinya aku benar-benar kehabisan napas.

“Oh, shit!” umpatku spontan. Sebenarnya, berapa banyak orang gila yang hidup di motel ini?! Hingga seluruh lorong rasanya penuh sesak oleh mereka. Tidak di lorong sebelah sana, tidak di lorong sebelah ini, selalu saja berakhir dengan gerombolan manusia tidak waras di penghujungnya.

Tanpa banyak berpikir, aku membuka salah satu ruangan, bau bangkai langsung menyergap penciuman. Aku hampir muntah, tetapi tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, aku harus masuk ke ruangan ini jika masih belum ingin mati.

Ruangannya gelap, empat kali lebih pengap daripada kamar busuk milikku. Sembari menutup hidung, aku melangkah perlahan.

Sial. Kakiku tersandung sesuatu. Sedikit meringis aku sudah jatuh terjerembab menimpa sesuatu yang terasa lembek dan ... Berbau busuk.

Tidak ada waktu merutuk. Gerombolan orang gila itu sudah tiba di depan ruanganku. Hanya menghitung detik, mereka akan memutar handlle pintu untuk memeriksa keadaan. Setengah panik, aku langsung merangsek dalam terpal yang teronggok di sebelahku.

Lagi-lagi, aku mengenai sampah lembek yang berbau busuk. Menahan napas, aku berusaha tidak mengindahkan situasi saat ini—tapi gagal.

Sakelar lampu ditekan, cahaya kekuningan langsung merambat menyapu gelap hingga sudut ruangan. Mataku membelalak, buru-buru membekap mulut sebelum seruan meluncur dari mulutku.

Sekarang, aku tahu. Sampah lembek apa yang sedari tadi membuatku tidak nyaman. Di sekitarku, bangkai-bangkai korban lain terjejer rapi. Rongga matanya yang sudah berlubang, kini dipenuhi belatung hingga berjatuhan ke lantai. Daging-daging mereka lengket di keramik, sama mirisnya berhias kumpulan belatung dan hewan-hewan menjijikan lainnya.

“Hey! Cepat tutup pintunya. Kau membuat bau menjijikan ini semakin kentara,” protes salah satu dari mereka yang kemudian disetujui beberapa rekannya.

“Kita harus segera mendapatkan pria itu, atau dia akan mengamuk,” pria lainnya menimpali, mengingatkan.

Mendengkus kesal, sang pelaku menuruti perintahnya. Lampu kembali dimatikan, aku buru-buru keluar dari ruangan setelah langkah kaki mereka terdengar menjauh.

Isi perutku yang sudah kandas kembali keluar. Sampai terasa nyeri seperti dipukul orang satu kampung. Tubuhku lemah, untuk bergeser barang sesenti pun, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi.

Sedang mencoba mengumpulkan tenaga, kemudian dari belakangku suara seorang wanita terdengar merdu menyapa, “Halo, Kyungie. Bagaimana malam anda?”

Belum sempat aku menjawab, sebuah tongkat baseball yang terbuat dari kayu menghantam kepalaku. Aku tersuruk di lantai, pandanganku perlahan pudar bersamaan dengan berkembangnya senyum lebar si wanita repsesionist.

***

MOTEL [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang