“Selamat datang di motel kami ....”
Petugas dengan seragam berwarna merah menyala terlihat membungkuk sembilan puluh derajat menyambut kedatangan kami di pintu masuk. Senyumannya aneh, tatapan matanya yang seakan menyelidik membuatku risi.
Hari sudah mulai gelap ketika rombongan traveler-ku tiba. Pria yang aku perkiraan umur empat puluhan menggiring kami segera masuk ke motel.
Demi sopan-santun, aku balas tersenyum, singkat, lalu kembali melenggang setelah mengeratkan peganganku pada tas ala backpacker ke meja repsesionist.
Wanita bersanggul anggun dengan hiasan pita pada bagian atas sanggulnya itu langsung tersenyum—sama anehnya, lalu berbasa basi sejenak seperti petugas repsesionist pada umumnya.
Aku menilik sekitar, beberapa petugas yang terlihat wira-wiri serta seorang pria yang tengah mengepel lantai berwarna eksotis, kompak memandang kami dengan tatapan yang sama—aneh. Sepertinya hanya aku yang memperhatikan, karena keenam rekan seperjalananku masih terlihat asik memperhatikan interior yang terkesan antik. Berusaha tidak acuh, aku kembali menoleh pada wanita di hadapanku yang kini sudah menyodorkan kunci kamar bagianku.
Tersenyum tipis, aku meraih kunci bertuliskan angka 110 pada gantungannya, lalu beranjak mengikuti rekan-rekanku yang sudah masuk ke lift, tetapi sayang, ketika aku masuk, lift mengalami kelebihan beban sehingga mau atau tidak mau, aku kembali keluar dan menunggu.
“Kenapa tidak bersama rekan-rekanmu?” seorang pria yang datang dari belakangku bertanya. Menggunakan setelan yang lebih formal—kemeja putih yang dipadukan dengan blazer berwarna hitam, dan celana katun berwarna senada, kurasa dia bos-nya di sini.
“Overload,” jawabku singkat.
Pria di sebelahku terkekeh pelan. “Maaf, fasilitas motel kami kurang memadai,” katanya miris, lalu menatap pintu lift di hadapan kami yang masih belum juga terbuka. “Menunggu itu memang benar-benar menyebalkan.” Desisnya.
Suasana mendadak hening. Pria di sebelahku tidak lagi berbicara walau satu kata. Untuk lima detik ke depannya, waktu terasa berjalan sangat lama. Helaan napas lega keluar sepontan dari mulutku, ketika pintu di hadapan kami akhirnya terbuka juga.
Aku langsung masuk yang kemudian disusul oleh pria itu.
“Kamarmu nomor berapa?” tanyanya sembari menatapku, ujung telunjuknya masih menggantung di udara, hendak menekan tombol lantai tujuan kami.
“Seratus sepuluh.”
Pria itu mengangguk, lalu menekan tombol nomor lima.
“Bagaimana perjalanan kalian? Menyenangkan?” tanyanya memecah hening.
“Cukup menyenangkan. Aku suka dengan Pulau ini,” jawabku lebih lepas. Setelah beberapa detik bersamanya, aku rasa dia pria yang cukup ramah. Jadi tanpa sadar, aku merasa seakan sedang berbincang dengan temanku sendiri di Busan.
“Pulau ini memang menyenangkan. Aku suka daerah pegunungannya, tapi yang paling aku suka daerah hutan pinus yang terletak di sebelah utara Pulau ini. Kicauan burungnya terdengar merdu. Ah, sudah lama sekali aku tidak ke sana.”
Pintu lift terbuka, pria itu beranjak lebih dulu dan aku membuntutinya. Dia tidak langsung kembali berbicara, diam beberapa saat, dan terus berjalan melalui lorong dengan pencahayaan lemah. Ujung lorong terlihat gelap, cahaya remang yang ada tidak cukup menjangkaunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOTEL [ SUDAH TERBIT]
Fiksi Umum[ TAMAT VERSI WATTPAD] PROSES REVISI! Fasilitas motel yang ditempati Kyungie berubah menjadi tempat pembantaian. Satu per satu pengunjung dibunuh. Jerit, tangis, dan darah menyelimuti motel tersebut. Hanya ada dua pilihan yang tersisa: dibunuh atau...