Lima | 다섯

68 16 11
                                    

Wanita itu berlari riang, menyeret lenganku untuk mengikutinya. Senyumannya mengembang, menatap lautan manusia yang mulai memadati panggung pagelaran musik.

Aish, dasar bodoh! Kenapa kalian lama sekali, hah? Sebentar lagi grub kita akan tampil. Kalian bisa mengacaukannya, tahu!” omel Jongsin ketika kami tiba. Kedua tangannya berkacak pinggang, persis seperti eomma ketika mengamuk pada abeoji.

“Kita tampil pukul dua belas, Jongsin. Dan ini baru pukul setengah sebelas. Terlambat dari mananya?” sargahku. “Tidak perlu mengomel tidak jelas begini. Kamu sudah seperti wanita yang sedang datang bulan saja. Maunya mengamuk terus—aw!” Aku meringis, di sampingku, Yiekyung baru saja memukul lenganku sembari melotot galak.

“Tidak semua wanita mengamuk ketika datang bulan, tahu!” protesya.

“Ah, ya. Kecuali kamu,” ralatku, lalu menambahkan, “Karena kamu galaknya setiap hari.” Setelah mengucapkan itu, aku buru-buru kabur sebelum cubitan andalan Yiekyung berhasil mendarat di bagian tubuhku.

“Kyungie ...! Jangan kabur kau!” serunya, menarik atensi beberapa orang yang tidak dipedulikan.

***

Kenangan yang indah. Sayangnya, semua tentang Yiekyung harus berakhir di sini bersamaan dengan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Aku tersadar.

Mataku mengerjap lemah, kemudian meringis ketika merasakan pelipisku berdenyut nyeri. Ruangan gelap. Hanya lampu kecil yang menyala tepat di atas kepalaku, cahayanya yang lemah hanya mampu menyapu sekitarku. Aku didudukkan pada sebuah kursi kayu, kedua tangan serta kakiku diikat kencang pada kursi. Berapa keras pun aku berusaha meloloskan diri. Namun, ikatan yang membelenggu ini tidak terasa melonggar barang sedikit.

Mataku kembali menyipit, ketika lampu di langit-langit ruangan menyala terang. Hal pertama yang aku lihat adalah wanita repsesionist. Dengan berbinar-binar, dia menyeringai lebar. Tiga pria menyusul di belakangnya. Salah satu dari mereka, aku sangat kenal. Juan.

Aigo, maafkan aku. Rasanya, aku terlalu keras memukulmu,” ucapnya tanpa merasa bersalah. Pandangannya beralih pada pelipisku, kemudian jemari rampingnya itu meraba pada daerah yang berdenyut. Spontan, aku memundurkan kepala. “Tidak terlalu buruk,” katanya lagi, sembari menggosok-gosokan cairan berwarna merah yang sudah setengah kering pada telunjuk dan ibu jarinya.

Aku meraung, gema suaraku langsung memenuhi ruangan. Keempat manusia di hadapanku saling lempar pandang, kemudian terbahak-bahak seakan baru saja mendengarkan lelucon paling lucu seantero Negeri.

“Lepaskan aku, Berengsek!” murkaku sembari terus meronta

Juan berdesis, meletakkan telunjuknya di depan bibir, menyuruhku diam.

Salah satu dari mereka beranjak, meraih kursi lain yang tergeletak di sudut ruangan. Membersihkan debunya, lalu mempersilakan Juan duduk.

Juan menghisap napas dalam-dalam, kemudian diembusknnya perlahan. Mendongak sebentar menatap langit-langit ruangan. Semuanya dilakukan dengan tenang, santai, dan damai. Seakan-akan dia sedang menikmati indahnya musim semi dari balkon rumahnya.

“Bukankah semua ini terlihat indah?” Juan menatapku, pandangan kami bersibobrok. Pria itu menyengir, menampakkan deretan giginya yang rapi. “Jerit, tangis, dan permohonan ampun. Semuanya selaras, seperti harmoni yang biasa kau dengarkan pada pertunjukkan opera.” Juan menjeda ucapannya. Pria itu menjentikkan jemarinya yang langsung di sambut dengan pria yang setia berdiri di belakangnya membawakan sebatang cerutu.

Asap mengudara. Bau tembakau kualitas terbaik menyeruak dalam penciuman. Tiga kali dia menghisapnya, lalu kembali fokus padaku. “Apa kau tidak lapar?” tanyanya dengan senyuman yang sulit kuartikan.

MOTEL [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang