Sembilan | 아홉

31 8 3
                                    

Langkah kaki terdengar memenuhi lantai tujuh. Lorong yang diisi dengan mayat pria gempal itu perlahan mulai didatangi rekan-rekannya. Kami bersembunyi di kamar paling ujung, dekat pertigaan lorong. Ruangannya lebih kecil, kotor, dan pengap yang berkali lipat dari kamar sebelum-sebelumnya. Sebenarnya, daripada disebut kamar, ruangan yang kami gunakan ini lebih cocok disebut gudang. Aish, bahkan gudang saja lebih bagus daripada ini. Ck!

Listrik belum kembali menyala, lampu-lampu terang yang berjejer rapi di langit-langit lorong masih digantikan oleh cahaya kuning dari lampu darurat yang ditanam sepanjang dinding.

Semua ini karena Jongsin. Pria jangkung itu sengaja merusakkan diesel motel ketika menyelamatkanku dari ruangan penyiksaan di bawah tanah. Namun, situasi saat ini cukup menguntungkan kami. Dengan begitu, kami menjadi punya stok tempat persembunyian yang tidak terjamah cahaya remang dari lampu darurat.
Kami bertiga duduk termangu, lelah. Mencoba mengatur napas terlebih dahulu sebelum mengambil langkah selanjutnya. Cahaya bulan merambat di lantai, tidak terlalu terang. Sepertinya malam sudah beranjak pulang.

Umpatan terdengar silih berganti, mereka mengamuk. Lagi-lagi satu diantara mereka kembali dilumpuhkan.

“Dengan begini, kita tinggal tiga puluh orang saja,” dengkus salah satunya yang berhasil menarik perhatian kami.

Kami mendekat, merangsek pada kusen pintu agar bisa mendengar kata demi kata yang mereka ucapkan lebih jelas. Aku mengintip kondisi lorong yang riuh dari lubang kecil berkat kayu pintunya yang mulai keropos. Entah karena rayap atau hewan pengerat. Ada beberapa, sehingga Jongsin dan Chanheol juga bisa melakukan hal yang sama.

Aigo, kenapa Chayo lama sekali membenarkan dieselnya? Dasar otak udang!” pria lainnya kembali mengomel sembari kembali menggoyang-goyangkan tubuh pria gempal yang sudah tidak bergerak itu dengan kakinya. “Pria gendut ini memang sudah seharusnya mati. Dia bodoh, juga rakus. Sekali duduk, dia bisa menghabiskan berporsi-porsi hidangan. Merepotkan,” katanya ketus. Lalu bibirnya membentuk seringai puas.

“Hey! Apa kalian menemukan mereka?” dari ujung lorong. Seorang pria dengan belati ala pemburu baru saja tiba. Jalannya tegap, seakan tidak ada siapapun yang bisa merobohkannya.

Mataku membola, sedangkan bibirku bergerak perlahan tanpa suara menyebutkan sebuah nama. Aku kenal pria itu, sangat kenal malahan. Karena dia pula, aku bisa berada di motel sialan ini. Apa yang sedang terjadi saat ini, aku yakin dia sudah merencanakannya matang-matang. Namun, kenapa harus aku?

Kepalaku maju, menghadap lubang kecil lebih dekat lagi. Namun, karena terburu-buru, kepalaku malah terantuk kusen pintu. Aku meringis, mengelus ujung kepalaku sendiri dengan kasar.

Di sampingku, Jongsin cepat membekap mulutku ketika suara langkah terdengar mendekat ke arah kami. Aku menatap Jongsin sekilas, mengatakan aku baik-baik saja melalui tatapan mata.

Setelah dia melepaskan dekapannya, aku kembali mengintip, kali ini lebih berhati-hati. Benar saja, pria berkisar umur tiga puluhan itu terlihat memicingkan mata, menatap pintu yang kami jadikan pelindung ini dengan curiga.

Pintu kamar yang hendak dia buka kembali ditutup. Genggamannya pada pedang pendek dia eratkan. Matanya menyalang tajam, bahkan dari tempatku bersembunyi aku sudah bisa merasakan aura mengintimidasinya.

Langkahnya terhenti. Walkie talkie yang tergantung di pinggang bergemerisik, sedetik kemudian, suara bariton seorang pria terdengar menggema. “Ke ruangan mesin sekarang. Kutu busuk yang lepas seminggu yang lalu sudah ditemukan.”

Tidak ada yang berkomentar. Orang-orang yang belum menyebar sedari tadi berbondong-bondong pergi menggunakan tangga darurat. Namun, pria itu belum beranjak, dia masih berdiri bersama salah satu tekannya yang angkuh tadi.

“Cho, sudah berapa kali aku bilang, jangan menyimpan mayat-mayat itu dalam kamar. Baunya mengganggu. Bagaimana kalau pelanggan melihatnya? Mereka segera kabur bahkan sebelum kita berpesta.”

Pria yang dipanggil Cho itu hanya menyengir—tidak peduli, lalu menepuk pelan pundak lawan bicaranya dua kali. “Jangan campuri urusanku, Baek! Sebaiknya, kau selesaikan saja dulu masalahmu. Kalau kau belum tahu, orang yang kau bawa itu lebih menyebalkan dari yang kau kira.” Setelah mengucapkan itu, Cho beranjak. Langkahnya terlihat santai, dengan kedua tangan dalam saku celana, dia benar-benar terlihat kian angkuh.

Mataku menyalang tajam, tanpa aku sadari, gigiku pun sudah beradu mengeluarkan suara gemeletuk pelan. Sepertinya, Jongsin memperhatikanku, karena setelah Baek juga pergi, pria ini menepuk pundakku dan bertanya, “Ada apa?”

Aku bangkit, jalan cepat-cepat menuju jendela. Dengan sekuat tenaga, kepalan tanganku meluncur begitu saja, meninju kaca hingga mengeluarkan darah dari buku-bukunya. Rasa nyeri yang merambat tidak aku acuhkan, semuanya sudah lebur dalam kekesalan di dada.

“Hey! Kau kenapa?” Jongsin mendekat, wajahnya kentara sekali kalau sedang khawatir.

Aku terduduk, mengacak rambutku asal yang membuatnya kian berantakkan. Selang beberapa saat kemudian, aku bangkit kembali. “Aku harus menangkap si berengsek itu.” Dengan benak menggebu, aku berencana untuk mengejarnya. Namun, Jongsin buru-buru menahanku, keningnya mengernyit. Dia pasti bingung dengan perubahan sikapku.

“Dia, yang mengundangku.” Akhirnya aku membuka suara, setelah beberapa saat berusaha menenangkan diri.

***

Liburan, hah? Sejak awal, seharusnya aku sudah menaruh curiga.

Baek itu teman sekantorku, dia anak baru. Masih hitungan bulan kami mengenal. Lagi pula, kami tidak dekat—nyaris tidak pernah bertukar sapa.

Beberapa hari aku murung sepeninggal Yiekyung, bahkan nyaris mengundurkan diri dari perusahaan karena tertekan. Pria itu tiba-tiba saja datang, menelfonku dan mengajak bertemu.

Bodohnya, aku menuruti permintaan dia. Kami bertemu di kafe. Dia memesan kopi americano dan aku kopi latte. Setelah mengobrol beberapa menit, tiba-tiba saja dia menyodorkan dua buah tiket perjalanan.

Keningku mengernyit, menatap dua kata yang masih terasa asing. “Pulau Gyeongnam”. Seumur-umur, baru kali ini aku mendengar namanya.

“Kau bisa mengajak teman,” kata Baek memangkas hening yang terasa aneh. Dia tersenyum, seakan sedang berusaha menghiburku.

Aku tidak menjawab. Tatapanku belum juga beralih dari pemandangan hutan yang indah lengkap dengan sebuah bukit yang terlihat mengintip dari tingginya pohon.

“Sudahlah, kau bawa saja. Siapa tahu, setelah tiba di rumah, kau berubah pikiran.” Sekali lagi, dia tersenyum. Senyum aneh, yang sulit kuartikan.
Di situlah kebodohanku. Aku benar-benar menurutinya lalu pergi berlibur.

Seharusnya aku mengikuti Woo. Tidak pergi ke mana-mana.

***

Chanheol terkekeh, pelan, sembari menggeleng-gelengkan kepala seakan ada yang lucu. Pria itu kemudian mendesah, lalu mendongak menatap langit-langit yang remang-remang.

“Kenapa orang-orang begitu naif, hah? Kalau mereka tidak suka, bilang saja tidak suka. Tidak perlu membuat lelucon dengan mengirim orang yang dibencinya pada tempat antah berantah seperti ini.” Sekali lagi, dia mendesah. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu mengeluarkannya perlahan. “Kekasihku sendiri yang mengundangku ke sini,” katanya kemudian. “Kami bertengkar malam itu. Dia tidak suka dengan profesiku sebagai atlet tinju ilegal.” Kali ini, Chanheol menunduk. Sebelah tangannya menyisir rambut asal. Dia termangu, mungkin memikirkan banyak hal tentang kekasihnya itu.

“Apa kekasihmu juga berada di motel ini? Seperti Baek yang mengundang Kyungie?” tanya Jongsin yang sudah duduk di sudut ruangan.

Chanheol terkekeh, kembali menggeleng. “Tidak. Sebenarnya, dia juga adalah korban. Beberapa hari sebelumnya, aku mendapati dia ditemui seorang pria aneh.” Pria itu menghela napas. Kembali menatap langit-langit ruangan. “Aku benar-benar merindukannya.”

Ruangan lengang. Kami bertiga sibuk dengan pemikiran masing-masing.

"Kalau aku, ayah tiriku yang memberikan undangan itu," lirih Jongsin setelah hening beberapa saat.

***

MOTEL [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang