Sebelas | 열한

34 7 3
                                    

Lampu utama sudah kembali menyala. Otomatis, lampu-lampu darurat yang tertanam pada dinding langsung padam. Cahaya remang tersapu, lorong terlihat sedikit lebih terang saat ini.

Kukira, aku yang salah dengar. Apa yang Jongsin bilang tadi? Semua ini adalah rencananya?! Chanheol tertangkap itu rencananya?! Sekeras apapun aku mencerna semua kalimat Jongsin, tidak ada satu pun yang terasa masuk akal. Semuanya ganjil. Pria di hadapanku ini, benar-benar sudah tidak lagi kukenali.

Aku masih termenung. Tatapan nanar menghujam lantai keramik tanpa arti. Kemudian, aku meringis, mencibir Jongsin secara tidak langsung.

“Jangan bercanda, Jongsin. Nyawa seseorang bukanlah hal sepele yang bisa kau mainkan. Apa katamu? Semua ini sudah kau rencanakan? Bagian mana? Membunuh Chanheol? Atau kabur seperti pecundang padahal temanmu sendiri membutuhkan bantuanmu? Come on, itu tidak terlihat keren. Mengorbankan teman untuk kepentinganmu sendiri, hanya pengecut yang melakukannya.”

“Aku hanya melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan. Lagi pula, kita tidak terlalu mengenal pria itu. Antah berantah. Jadi, meskipun dia mati, kematiannya tetap tidak akan mengusik kita—”

“Jangan bawa-bawa kita, Jongsin! Aku tidak sama denganmu. Bagiku, Chanheol juga teman. Kita sudah hampir melewati malam bersama, berjuang bersama hingga sampai pada titik ini. Lalu, kau membuat rencana bodoh menyerahkan Chanheol hanya untuk selamat? Apa semua ini terdengar lucu?” aku mendelik, rahangku sudah mengeras menahan geram. “Lantas, apa bedanya kau dengan ayah tirimu itu, hah? Kalian sama-sama egois, mempermainkan orang lain demi diri sendiri.”

“Seharusnya aku mendapatkan ucapan terima kasih. Karena ideku, kau masih ada peluang untuk bertemu Yiekyung, bukannya membusuk di sini.”

Tawaku langsung meledak. Aku bahkan tidak peduli jika nanti para orang gila itu mendengarnya. Sialakan datang, aku tidak takut lagi untuk berperang. Demi harga diri, demi teman.

Kening Jongsin mengernyit, tidak paham atas reaksiku. Matanya yang tajam menyalak galak. Setelah tawaku reda, aku buru-buru berkata dengan nada sinis, “Yiekyung sudah meninggal, Jongsin. Jadi, aku memang harus mati di sini jika ingin bertemu dengannya.”

Benar dugaanku, Jongsin terkejut. Matanya memebelalak lebar seperti hampir lompat dari rongganya. “Apa katamu?” suaranya berubah parau, bersamaan dengan raut wajahnya yang sepucat susu. “Yiekyung meninggal?”

“Setelah kau meninggalkannya.” Tambahku lagi yang membuat Jongsin terlihat kian lesu.

Di tengah kecanggungan kami, suara gemeruduk langkah kaki terdengar ramai. Aku membalik badan, meraih kembali kapakku yang sempat terkulai di lantai. Suara semakin keras beriringan suara-suara berisik mereka yang terus menggema.

Aku menyeringai. “Inilah saatnya,” batinku. Namun, sebelum mereka menyembul dari belokan sepuluh meter di hadapanku, Jongsin yang tanpa meminta persetujuan sudah menyeretku untuk segera menyingkir.

Jongsin meraih handlle pintu darurat di depannya. Kemudian, langkahnya yang lebar-lebar menuruni anak tangga membuatku sedikit kewalahan—separuh terkejut, separuhnya lagi menolak diperlakukan seperti ini.

Kami berhenti di pintu darurat lantai empat. Jongsin sudah membuka pintunya. Sebelum kami berdua melangkah kembali, aku menghempaskan tangan, membuat cekalan Jongsin terlepas. Mendengkus, aku menatap tajam pria di hadapanku.

“Jangan bodoh,” katanya.

“Terserah apa katamu. Aku tetap akan menyelamatkan Chanheol—”

“Tidak akan berhasil,” potongnya cepat.

“Kau berhasil menyelamatkanku. Kenapa aku tidak bisa menyelamatkan Chanheol?”

“Tempat itu sudah dijaga lebih ketat, Kyungie. Orang-orang yang tertangkap kemungkinan sudah diseksekusi. Chanheol ... Tidak ada harapan untuk hidup.”

MOTEL [ SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang