di bawah langit malam

804 168 7
                                    

"kamu gapapa?"

di bawah pendar cahaya dari lampu kekuningan yang berjejer di tepi jalan, aku dan langit melangkah beriringan. jalanan sangat sepi sehingga yang terlihat hanyalah kami berdua.

aku menggelengkan kepala pelan, mengusap ujung mataku yang basah karena air mata. sejak keluar dari ballroom hotel tadi, aku terisak hingga menyita perhatian orang-orang yang kulalui. rasanya harga diriku seperti terinjak-injak. apakah sehina itu aku di mata orang tua langit?

"maafin papa," ujar langit dengan nada suara lelah. "tadi papa udah keterlaluan sama kamu."

lagi-lagi, aku menggeleng. "gue gapapa," balasku lirih.

tapi sepertinya, langit tahu bahwa aku tidak sekuat itu. ia melepaskan jas hitamnya lantas memakaikannya padaku. lalu setelahnya, pemuda itu merapatkan tubuhnya hingga bahu kami bersentuhan.

aku diam, merapatkan jas tersebut agar tak jatuh karena jasnya hanya kusampirkan di bahu tanpa kupakai dengan benar.

hening sejenak.

"kayla gimana?" tanyaku tiba-tiba. dapat kulihat dari ekor mataku langit sedikit tersentak mendengar nama itu disebut.

langit membasahi bibir bawahnya sejenak, menatapku lekat-lekat. "saya gak peduli apa-apa lagi. saya gak peduli kayla gimana, orang tua saya gimana. saya cuma peduli sama kamu sekarang."

"tapi gue ngerasa jahat banget, lang."

sebuah mobil melintas cepat, membuat suaraku teredam hingga hampir hilang. entahlah langit mendengarnya atau tidak.

"kamu gak jahat sama sekali, bulan. saya yang jahat di sini. saya yang bikin kamu terlibat."

air mataku turun kembali. namun segera kuusap kasar dengan punggung tangan. aku tidak boleh lemah dalam keadaan seperti ini.

sebenarnya apa yang aku inginkan sekarang? jawabannya, tidak ada. aku bahkan tak berani berharap apa-apa pada langit.

"gue takut."

baru saja langit membuka mulut, hendak membalas pernyataanku tadi, dering ponselnya membuat ia mengurungkan niat. pemuda althafandra itu merogoh saku celananya, mengeluarkan benda pipih berlogo apel digigit.

nama yang tertera di layar membuat langit mengeraskan rahang. ia menggenggam ponselnya kuat-kuat, menoleh ke arahku yang juga menatapnya intens.

ada nama 'papa' di sana. nama yang tak ingin langit dan aku dengar suaranya. dan sekarang, pria paruh baya itu bersikukuh dengan menelepon berkali-kali tanpa jeda.

"angkat teleponnya," suruhku pada langit.

langit menggeleng tegas. "enggak," tolaknya dengan tangan bergegas mematikan ponsel.

"langit," panggilku dengan nada naik satu oktaf. "mungkin papa lo khawatir sama lo sekarang. makanya angkat."

setelah berbicara seperti itu, aku memutuskan untuk duduk di trotoar. ponselku sengaja kuatur dalam mode hening agar tak ada yang menggangguku dengan pesan atau telepon. aku ingin terbebas dari semua pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh temanku, khususnya sagara.

helaan napas pasrah terdengar dari mulut langit. ia memutuskan untuk menggeser tombol hijau di ponselnya lantas menempelkan benda tersebut di telinga kanannya.

"halo, pa?"

suara langit terdengar serak. aku mengamati punggung tegapnya yang hanya terbalut kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. ia punya kharisma yang kuat.

"langit gak mau sama kayla. udah berapa kali langit bilang sama papa?" tanyanya frustrasi.

aku meneguk ludah, merasa semakin bersalah sekarang. semuanya kacau karena aku. langit dan kayla gagal bertunangan juga karena aku.

langit menyugar rambutnya sekilas. "aku belum mau pulang, kak. udah, gak usah cariin aku dulu. aku bisa jaga diri."

hening sejenak. dapat kulihat langit menggigit bibir bawahnya ragu. "iya, bulan sama aku. kak aruna gak usah khawatir. aku bakal jagain bulan."

mendengar namaku disebut, aku refleks menolehkan wajah. ternyata langit juga sedang menatapku lekat. ia beringsut mendekat lantas mengulurkan ponselnya ke hadapanku.

"kak aruna mau ngomong sama kamu."

ada jeda beberapa detik setelah itu. aku menipiskan bibir, menerima ponsel langit lalu mulai berbicara.

"halo, kak."

"gak tau, mama... arun---eh, iya halo. bulan, ya?"

"iya, kak. kenapa?"

terdengar gemerisik di seberang sana juga beberapa suara yang saling bersahutan. yang paling keras adalah suara seorang wanita paruh baya.

"kamu dimana sekarang? baik-baik aja, kan? langit jagain kamu gak?"

aku melirik langit di sebelahku, bertanya aku harus jawab apa. langit mengangkat alisnya, bertanya 'kak aruna ngomong apa?' tanpa suara.

ponselnya kujauhkan sebentar. "kak aruna nanya kita dimana. gue harus jawab apa?" bisikku.

langit menggeleng. "jangan jawab. mereka pasti nyusul ke sini."

"emangnya kenapa kalau nyusul?"

"saya lagi gak mau ketemu mereka. saya yakin mereka kecewa sama saya. tapi yang terpenting, saya gak mau kamu dimaki papa atau mama."

aku mengerjap pelan, menatap panggilan yang masih tersambung di ponsel.

"bulan?"

"maaf, kak. aku gak bisa kasih tau."

"kenapa emangnya? kamu disuruh langit?"

baru saja aku hendak membuka mulut, langit mengambil alih ponselnya.

"jangan cari kita dulu, kak. kita butuh waktu sendiri."

lalu setelahnya, langit memutuskan sambungan telepon sepihak. ia mengantungi ponselnya kembali lantas memejamkan matanya.

kutatap fitur wajah langit dari dekat. alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya, semuanya sempurna. dan aku, tidak pantas untuk pemuda sesempurna langit.

"maafin saya." langit membuka mata. "saya egois, nahan kamu di sini. kamu mau pulang sekarang?"

aku menggeleng pelan. "enggak," lirihku. "gue tau lo butuh temen."

senyum langit mengembang walaupun terlihat tipis. "makasih."

sudut bibirku ikut terangkat. aku menengadahkan kepala, memandang langit malam di atasku. biru kehitaman seperti biasanya. malah terkesan lebih gelap.

"coba kamu lihat," ujar langit tiba-tiba. jari telunjuknya mengarah pada langit malam.

"lihat apa?" tanyaku heran. tidak ada bulan atau bintang sama sekali. tidak ada yang menarik untuk dilihat.

langit tersenyum. "itu saya. gelap, monoton, gak menarik sama sekali. kalau diliatin lama-lama, bakal bosen."

aku diam, menunggu lanjutan kalimat langit.

"karena gak ada kamu. kamu itu bulan, seperti yang saya bilang di awal kita ketemu, langit tanpa bulan itu cuma item doang, gak indah. sama kayak saya. saya butuh kamu, agar saya terlihat sempurna."

rentetan kalimat itu membuatku tersenyum. agak cheesy memang, tapi entah kenapa pipiku memerah. semoga langit tidak bisa melihatnya karena aku benar-benar malu jika ketahuan.

"saya mau peluk kamu, boleh?"

dan ya, lima detik lamanya aku mengerjap hingga akhirnya yang kulihat adalah kemeja putih langit tepat di bagian dada. rasanya hangat. di bawah malam tanpa bulan ataupun bintang, aku merasa lengkap. aku ingin terus seperti ini. bersama langit.










______
a/n:

maaf aku slow update banget. ini juga aku gak tau nulis apaan hhh

kata dan kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang