SATU

171 9 7
                                    

Tamparan lembut tapi perih mendarat di kaki seorang Reina. Tamparan itu berasal dari tangan sang ibu yang sudah merasa kesal karena anaknya tidak kunjung bangun.
Reina  sulit untuk bangun pagi, dan sepertinya tidak ada cara lain yang bisa membangunkannya kecuali tamparan di kaki. Hari ini adalah hari pertama Reina Anatasha masuk sekolah bersama dengan sepupunya yaitu Rosy Anatusha Putri. Rosy adalah pindahan dari sekolah lain ke sekolah Reina. Mereka adalah murid kelas X di SMA Negeri yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Reina terperanjat dari tidurnya dan langsung memasuki kamar mandi tanpa melihat ke arah mamanya. Reina takut akan menerima omelan dipagi buta. Di rumah lain, seorang wanita tua itu sedang membujuk cucunya untuk bangun. Mungkin bukan membujuk, tapi lebih tepatnya memaksa. Ia membangunkan cucunya dengan teriak dan mengepuk-ngepuk badannya. Mereka adalah Rosy dan nenek. Setelah berulang kali membangunkan cucunya itu, akhirnya nenek berhasil membuat Rosy membuka mata. Lalu nenek menyuruhnya untuk lekas bersiap sekolah. Meskipun Reina dan Rosy saudara tapi mereka tidak satu rumah. Rosy tinggal di rumah nenek karena ia dititipkan orang tuanya yang bekerja di luar kota.

"Rosy!!" Teriak Reina yang mengganggu gendang telinga jika mendengarnya. Rumah orang tua Reina dan nenek memang dekat, lebih tepatnya sebelahan. "Iya sebentar" seru Rosy dari dalam rumah. "Cepetan dong, aku udah siap dari tadi." gerutu Reina. Rosy menghampiri Reina dengan tergesa-gesa. Mereka berangkat sekolah bersama sahabat mereka, Agatha, yang rumahnya juga bertetangga.
***

Bel istirahat berbunyi. Para murid berhamburan keluar kelas untuk menghilangkan rasa penat mereka. Ini adalah beberapa lama setelah hari pertama masuk sekolah itu. "Rei, sinii," ucap Rosy. Lalu Reina menghampiri Rosy dengan mimik wajah yang seakan bertanya-tanya. "Rei, lo tahu gak sama cowok itu?" tanya Rosy seraya menunjuk seorang laki-laki yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. "Tau." Reina menjawab dengan nada bicara datar.
"Namanya siapa? dia kakak kelas ya?" Rosy bertanya dengan sangat penasaran. Namun batin Reina bergumam mengapa Rosy menanyakan dia? Hal apa yang membuat Rosy ingin tahu tentangnya?
"Iya, dia Awan." ucap Reina menjawab pertanyaan Rosy.
"Oh namanya Awan, lucu juga."
"Emangnya kenapa lo nanyain dia?" Reina mencoba untuk menjawab pertanyaan di hatinya.
"Gapapa, kayaknya dia paling ganteng di sekolah ini ya." Rosy memujinya dengan terang-terangan di depan Reina dan Reina tahu bahwa Rosy memang memiliki sifat itu.
"Lo suka sama dia?" tanya Reina langsung pada intinya.
"Apa sih Rei, engga lah." Rosy mengelak dengan seutas senyum pada wajahnya, tapi dia tidak pandai berbohong.
"Alah jangan bohong, pantes dari kemaren lo senyum-senyum sendiri. Jadi penyebabnya cowo itu?” Rosy cengengesan mendengar perkataan Reina.
"Kok lo tau aja si? Tapi lo jangan kasih tahu siapa-siapa." Ucap Rosy dengan wajah memohon. "Iya bawel." jawab Reina.

"Dia emang ganteng sih, baik juga, dia sangat dikenali orang-orang." lanjut Reina mendeskripsikan Awan. "Oh ya? Rumahnya dimana Rei? Tahu gak? Kalo tahu kasih tahu gue, terus lo tahu nomor teleponnya gak?" cerocos Rosy bertanya banyak hal tanpa jeda membuat Reina sedikit terkejut dan malas untuk menjawab. "Kalo mau nanya itu satu-satu dong, jangan nyerocos gitu pusing dengernya." ucap Reina kesal.
"Iya maaf, kebawa suasana hati." jawab Rosy merasa bersalah sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Reina hanya berdehem kecil tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Ih Rei, lo tahu gak? Kan gue nanya." Rosy merengek seperti seorang adik yang tidak diberi permen oleh kakaknya.
"Tau." jawab Reina.
"Seriusan?" tanya Rosy lagi.
"Emang muka gue kayak becanda gitu? Rumahnya satu komplek sama kita, dia di pinggir jalan depan yang warnanya cokelat. Kalo nomornya gue gak tahu, gue cuma tahu sosial medianya aja. Puas?"

Reina menyukai Awan, dan memendam adalah pilihan yang diambilnya. Reina tidak ingin mencari tau lebih tentang Awan dan hanya sedikit dari orang-orang yang tahu jika Reina satu komplek dengannya. "Nanti pulang sekolah tunjukin ke gue rumahnya ya? Please.” Ucap Rosy dengan nada anak kecil itu lagi, dan Reina hanya bisa menerima permintaan itu dengan pasrah.

***

Bel masuk berbunyi dan mereka mengikuti pelajaran seperti biasa. Namun Rosy terlihat kurang konsentrasi di dalam kelas, sepertinya ia ingin cepat-cepat pulang dan mengetahui rumah laki-laki itu. Sementara Reina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Rosy yang sedari tadi senyum-senyum sendiri dan menggigit ujung pensilnya. Reina tahu Rosy sedang tidak fokus meskipun matanya menatap papan tulis dengan terbuka.
"Akhirnya yang ditunggu-tunggu sampai juga." ucap Rosy ketika mendengar bel pulang berbunyi.
"Lo mikirin apa?" Tanya Reina saat melihat guru mereka sudah keluar kelas.
"Gue mikirin yang tadi Rei." Rosy menjawab sembari merapihkan mejanya.
"Yang tadi?" dan Rosy hanya mengangguk sebagai respon dari pertanyaan Reina.
"Lo mikirin Awan?!" Rosy mengangguk tanpa rasa bersalah.
"Gue cepuin sama Tante karena lo belajarnya gak bener dan ngebet pengen kawin, biar lo pindah lagi aja." lanjut Reina tersenyum jahil.
"Dih gak seru mainya cepu, jangan gitu dong Rei." rengek Rosy memukul tangan Reina dan menghentakan kakinya persis anak kecil yang sedang marah.
"Iya becanda kok, serius amat lo. Apa jangan-jangan lo beneran pengen kawin ya? Nanti kalo lo kawin, gue sendirian dong? Nanti lo punya anak dan tante punya cucu terus nyokap gue pengen punya cucu juga, terus gue dijodohin dan dipaksa kawin gimana?" cerocos Reina panjang lebar sedangkan Rosy meninggalkannya dengan menggerutu tidak jelas.
"Loh kok gue ditinggal sih? Woy tungguin! Nanti kalo gue gak jadi nunjukin rumahnya jangan paksa gue lagi, awas aja Lo!" Reina berteriak keika melihat punggung Rosy yang menjauh dari pintu kelas mereka.

***
Berbagi itu baik, tapi apakah berbagi perasaan juga demikian?
~Reina Anatasha~

AWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang