Satu semester atau enam bulan aku rajin mengupdate status facebook dengan isi cerpenku. Bukanya mendapatkan dukungan aku dikomentari sok tua bikin cerpen percintaan. Lebih parahnya lagi dikomen pinjam catatanlah, pinjam handphoneku lah. Macam-macam. Aku tipe orang yang senang dengan menulis dari pada berbicara, saking senangnya menulis bahkan aku mempunyai koleksi cerpen yang kutulis dibuku usang milikku.
Bangun dari tempat tidur aku langsung menuju jendela besar dipojok kamar. Dibuka kembali kertas dengan kalimat motivasi yang ditulis seseorang dilembaran tengah buku catatan PKN ku.
"Punya mimpi tapi tidak memperjuangkan mimpi tersebut. Hasilnya? Mimpi tetaplah sebatas bunga tidur tidak akan pernah menjadi kenyataan."
Orang ini berhasil membangkitkan kepercayaan diriku tentang menulis. Awalnya aku malu dengan hasil karya ku dan hanya menyimpan dibuku usang milikku yang selalu dibawa kemanapun termaksud kesekolah ternyata setelah update difacebook meskipun ada komentar nggak jelas ada juga beberapa teman sosial mediaku yang mengomentari tulisanku.
Oiyah tante Olla mengizinkan ku belajar dari kak Ti yang katanya sekarang sudah sukses karena alangkah baiknya kita belajar langsung dari sumbernya.
Aku penasaran siapa orang yang menulis kalimat ini dibuku catatanku karena duduk sendirian dikelas. Aku susah untuk mencocokkan tulisan ini dengan teman lainnya.***
"Assalamualaikum... om tante." salamku pada om Danang dan tante Olla."Waallaikumsalam..." jawab keduanya.
Setelah basa-basi dengan om Danang dan tante Olla aku mulai dengan tujuan awalku. "Kak Ti ada om?"
"Ada lagi tidur dikamar dia." jawab om Danang.
"Iya dia kecapean karena baru selesai foto dengan produk yang diendorse." terang tante Olla.
"Tapi kalau ada perlu bangunkan kak Ti saja. Dia tidurnya sudah macam kebo." titah om Danang.
"Hii... Anak dikatain kebo!" tegur tante Olla.
"Dika..." panggil om Danang kepada anak nomor tiganya.
Kak Ti ini selisih tujuh tahun dengan ku. Empat bersaudarah yang pertama kak Ti, kedua bang Tian satu tahun diatasku kuliah diluar kota. Ketiga Dika masih SMP kelas dua sedangkan Dimas sibungsu kelas empat SD. Kak Ti yang paling cantik diantara saudaranya. Iyalah orang adik-adiknya cowok semua."Ya pa, ada apa?" tanya Dika.
"Kak Ti sudah bangun?" tanya om Danang.
"Si inces lagi makan." jawab Dika.
"Masuk saja Lissa. Ini sayang kamu yang datang mau belajar kek kak Ti kalau orang lain sudah tante usir dari tadi, enak saja! Mau sukses tapi gratisan." seru tante olla saat badanku diantara pintu masuk.
"Hello kak Lissa." sapa Dimas yang sedang main game diplastation 2 miliknya. "Ps 2 aku baru dibelikan kak Ti nih!" serunya.
"Waw... Keren." ujarku berusaha antusias.
"Iya dong kak Ti kan hebat." puji Dimas pada kakak tertuanya.
"Eh... Lissa kapan kesini?"
Tanya kak Ti yang ikut duduk bergabung dengan aku dan Dimas."Lumayan dari tadi sih kak Ti."
"Kata Mama, kamu mau belajar jadi selebgram dari kak Ti?"
"Memangnya boleh? Sebenarnya sih nggak perlu jadi selebgram, cara punya banyak teman sih aku pengen belajar dari kak Ti."
Kak Ti tersenyum miring. "Boleh. Sebenarnya sih agak susah orang semacam kamu!"
Senyum pepsodent ku seketika luntur. "Yah! Memangnya kenapa kak Ti?"
"Kamu nggak secantik dan semodis kak Ti. Wajah kusam dan bibir pucat selalu menghiasi hari kamu. Tapi Tenang kak Ti punya Benda yang kita sebut saja penerang."
"Penerang?"
"Yups. Dijamin kamu akan menjadi pusat dan menarik perhatian teman-teman kamu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Insecure
Teen FictionApakah kamu sering membandingkan diri dengan orang lain? Merasa tidak aman, rendah diri, dan tidak berharga? Merasa tidak bisa berbuat banyak? Itu yang aku rasakan dan berharap kalian tidak merasakannya karena itu akan menjadi penyesalan. Dengan se...