Rambut itu dihempas angin yang membawa daun-daun menghalangi pandangan Reina. Duduk sendiri menunggu bus yang akan mengantarnya pulang. Merasa sendiri lebih tepatnya, karena sebenarnya tempat itu cukup ramai. 'Gian' lelaki itu melaluinya begitu saja. Seperti tak mengenal gadis itu lagi. 'Apa salahku? Kenapa Gian begitu acuh?' pertanyaan itu selalu muncul dalam hati. Bila melihat sesosok lelaki bertubuh tinggi berkulit hitam manis itu.
'Gian, apa kau lupa tentang masa kecil kita? Masa di mana kita selalu bersama. Apa kenangan indah itu tak berarti apa-apa untukmu? Kau berlalu begitu saja seperti tak mengenalku lagi. Kemanakan senyum manis itu? Kemanakan janji-janji indahmu itu? Aku merindukanmu, aku merindukan kamu yang dulu.' Hanya menggerutu dalam hati. Dia tidak bertanya lagi, karena akan membuka luka lama yang sulit sekali terobati.
Reina pernah bertanya pada sosok yang dulu pernah menjadi bagian dari senyumnya. 'Gian, apa yang salah denganku? Kenapa kamu mendiamkanku seperti itu?' Tapi, lelaki itu tak menjawab berlalu begitu saja tanpa menghiaukan pertanyaan tadi. Dia benar-benar sakit, hancur, dunia seperti retak ditimpa batu yang sangat dingin. Dia ingin menjerit, marah, ingin berteriak tapi hanya bisa menangis.
Sedetik kemudian ada seorang perempuan yang menghampiri Gian. Perempuan itu langsung mendekati Reina setelah memberikan sesuatu kepada lelaki itu. Entah apa yang diberikannya.
"Kamu taukan, sudah berapa lama aku menjadi pengagumnya?" ucap perempuan yang kini berada di samping Reina.
"Yaya, dari semenjak ospek kan?" sahut temannya seperti malas menanggapi.
"Ini saatnya dia tahu semuanya. Aku nggak mau mendam ini terus, apalagi kita bentar lagi bakal lulus dari sini. Bahkan aku berharap dia bakal jadi jodoh aku nantinya," ucapnya tegas penuh ambisi.
"Suttt.. nggak usah kenceng-kenceng, ntar kedengeran orang. Emang kamu nggak malu?" bisik temannya hati-hati.
"Nggak papa biar semua orang denger, dan nggak ada yang berani deketin dia. Kalo ada ya berarti lagi berhadapan sama aku," ujarnya hampir berteriak.
"Terserah deh," sahut temannya tanda menyerah.
'Apa yang dimaksud Laras adalah Gian? Bagaimana jika Laras menjadi kekasih Gian? Kenapa itu sangat menyakitkan?' Laras. Perempuan cantik berbakat, popular, semua orang tau perempuan itu hampir sempurna dengan sejumlah prestasi yang diraih. 'jelas aku kalah jauh,' raungnya dalam hati.
Reina berdiri, saat bus yang ditunggunya menepi. Dia cepat menaiki bus, memilih duduk di dekat jendela. Agar leluasa melihat ke arah luar, pikirnya.
Masa SMA-ku sangat berbeda dari yang pernah dibayangkan. Iya sangat berbeda. Dulu sepertinya banyak orang yang menyukaiku dan aku tidak pernah kesepian. Tapi sekarang sering dicemooh dan dikucilkan. Ahh jadi ingat Dina, teman kecil yang pernah bilang kepadaku 'kamu masih kecil memang cantik, tapi belum tentu kalo sudah besar. Jadi jangan so kecantikan gitu!' mungkin ucapannya itu adalah doa, dan aku ucapkan selamat karena doa itu terkabul. Waktu itu masih ada Gian yang membelaku dan memarahi Dina. Padahal Gian adalah lelaki yang Dina suka.
Reina bergegas turun dari bus dan berjalan menuju rumahnya. Rumah itu tidak terlalu jauh dari tempat pemberhentian bus. Hanya berjalan kurang lebih lima menit sudah sampai di depan rumah yang menaunginya selama ini. Perlahan pintu itu dibuka, tampak sepi dengan suasana dingin khas rumah ini. Lantai begitu dingin dan basah. Basah? Jangan-jangan?
"Reina!" nada tinggi, suara melengking, tatapan tajam, muka masam. Teh Emi Kakak Reina satu-satunya, "lantai itu baru dipel. Dasar anak nggak tau diri." Cacian lainnya dari Emi.
"Maaf teh, Rei nggak tau."
"Sana! Lewat belakang." Reina segera ke arah belakang rumah menghindari percecokan alot seperti lima tahun kebelakang yang membuat dirinya harus pindah ke kamar atas.
"Kamu harus pindah dari kamar ini. Aku sudah bosan melihatmu. Kamu dari kecil emang sering bikin susah. Selalu ingin diprioritaskan, selalu ingin dipuja dan dipuji. Aku jadi kurang kasih sayang karena kamu lahir dikeluarga ini. Asal kamu tau, kelahiranmu itu tidak direncanakan. itu berarti kamu nggak diharapkan ada dikeluarga ini."
"Cukup teh. Maaf kalo emang itu yang teteh rasain. Tapi,asal teteh tau. Aku nggak pernah minta dilahirkan di keluarga ini."
Percakapan saat pertengkaran itu terngiang lagi. Meskipun sekarang hubungan mereka mulai membaik, tapi rasa sakitnya belum juga hilang.Reina yang berbeda hanya satu tahun dengan kakaknya. Kelahiran yang memang tidak direncanakan. Karena program KB yang dijalani orang tuanya bocor dan mengakibatkan tidak berjalan dengan semestinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror Matter
Romancecerita tentang perempuan biasa Kapan Kemarau panjang ini akan berlalu. Hal yang sulit sekali untuk aku hentikan. Hujan itu semakin jauh, jauh dan jauh. Hampir tidak terlihat pribadimu yang dulu. Bagaimana caranya aku menghentikan lamunan tentang mu...