Gian, benarkah itu Gian? Gianku yang selalu menemani di saat sepi. Gian yang selalu membantu PR-ku. Gian yang bisa mengusir kesepianku. Kini yang di sampingnya adalah Laras. Mereka tertawa-tawa di kolidor seperti dulu aku kecil bersamanya. Posisiku telah terganti oleh nama lain. Laras.
Sulit sekali untukku tersenyum saat ini. Dunia telah direbut dengan maha dasyatnya. Sebenarnya apa salahku? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Tangan yang dulu sering aku genggam, kini telah digenggam Laras.
Angin ini. Angin yang sama saat kami bermain di kandang ayam milik kakek gian. Angin yang sama saat kita lomba lari melawan hujan. Angin yang sama saat Gian membantuku belajar bersepeda. Angin yang sama saat tangannya menggenggamku erat.
Angin ini. Angin yang selalu ada jika akan turun hujan. angin yang selalu dinaungi awan mendung yang teduh. Angin tipis yang berhasil membuat hawa dingin. Angin, yang mengingatkanku kepada Gian kecilku.
**
Hujan sepertinya akan turun lagi di November ini. Hujan yang selalu ditunggu-tunggu oleh setiap jiwa yang memuja. Tapi selalu dimaki oleh orang yang membenci. Meski begitu, hujan selalu datang saat Sang Maha Kuasa menghendaki.
Laras tersenyum sinis saat melewati Reina yang sedang duduk di koridor. Dia kemudian duduk di sebelah Reina, lalu memandang langit yang mendung itu.
"Ina," ujar Laras begitu saja masih memandang langit. Reina melirik sejenak kemudian kembali fokus pada novelnya. "Ina, Ina, Ina, Ina, INA!" kata yang diucapkan Laras berulang kali dan berteriak di telinga Reina di akhirnya.
"Apa maksudmu?" Hal itu membuat Reina bereaksi, dan menghentikan aktifitasnya membaca.
"Apa sebenarnya hubunganmu dengan Gian?" Pertanyaan itu membuat Reina terdiam.
Apakah Gian yang memberi tahunya tentang nama kecil itu? Apa itu artinya Gian masih mengingatku?
"Ina untuk Reina kan?"
"Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud."
"Kamu jangan macam-macam ya! Sebenarnya apa hubungan kamu dengan Gian?" Laras mengulang pertanyaan itu lagi, setelah beberapa saat tak mendapatkan jawaban.
"Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan Gian," tegas Reina kemudian.
"Awas ya! Asal kamu tau, sebentar lagi Gian akan menjadi Pacar aku," ancam Laras sambil menunjuk kearah wajah Reina yang kini terlihat seperti kaget.
"Itu bukan urusanku!" jawab Reina saat tersadar dirinya sedang diancam.
"Yakin bukan urusanmu?"
"Aku nggak ada apa-apa dengan Gian, Gian bukan urusanku." Reina menegaskan.
"Aku pegang ucapanmu," ujar Laras sambil berlalu meninggalkan Reina sendiri.
Hujan kini mulai berjatuhan. Tetesan air yang banyak kecil-kecil tak tertahankan, membasahi lapangan dan orang-orang yang sedang bermain futsal. Tapi orang-orang itu tak henti bermain, malah menikmati setiap tetesannya.
Nada-nada hujan yang harmonis memukuli genteng, lapang, dahan, daun, bunga yang indah. Menemani Reina yang duduk sendiri. Angin itu menghempas rambut yang dibiarkannya terurai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror Matter
Storie d'amorecerita tentang perempuan biasa Kapan Kemarau panjang ini akan berlalu. Hal yang sulit sekali untuk aku hentikan. Hujan itu semakin jauh, jauh dan jauh. Hampir tidak terlihat pribadimu yang dulu. Bagaimana caranya aku menghentikan lamunan tentang mu...