Sepertinya malam semakin larut saja. Terbukti dengan suara anjing yang terdengar disela-sela riuk hujan. Jika bukan karena tugas sekolah, dia ingin segera membenamkan tubuhnya di selimut. Dia melirik jam dinding. Benar saja, jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebentar lagi dia bisa menyelesaikan tugas itu.
Akhirnya, pensil itu ia letakkan juga. Perlahan, Reina membaringkan tubuhnya di ranjang. Melepas lelah yang sangat memberatkan punggungnya. Seharian berada di ruangan yang berisi 36 siswa, dengan deretan pelajaran dan tugas-tugas yang semakin menggunung. Ditambah bayang-bayang penampakan Gian dan Laras tadi. Masa SMA, dimana kata orang indah, tapi tidak menurutnya.
Tetes air mata tak terasa melewati pipinya saat bayang-bayang itu diputar begitu saja. Hanya irama hujan yang melatari malam itu. Reina leluasa menangis sejadi-jadinya. Tak mungkin ada yang bisa mendengar disini, karena yang tidur di kamar atas hanya dirinya.
Aku memang munafik. Aku memang orang yang munafik. Aku tidak rela jika Gian berpacaran dengan Laras. Kenapa sekarang hidupku jadi seperti ini? tidak ada gairah. Semua orang seperti membenciku. Tidak ada yang tulus ingin berteman denganku. Mereka hanya memanfaatkan aku saja. Aku benci, jeritnya dalam hati. Tangisnya mulai menjadi.
Tiba-tiba terdengar suara samar seperti mengikutinya menangis. Dia terperanjak dan berusaha meredakan tangisnya. Ingin mendengar dengan jelas suara itu. Benar saja, suara tangisan itu semakin jelas terdengar.
"Suara siapa itu?" dia memberanikan diri bertanya dan mendengarkan lagi dengan seksama, menunggu balasan. Suara itu kini berhenti menangis. "Halo, tadi yang menangis siapa yah?"
"Tidak penting kamu tau aku siapa." Reina terperanjak kaget mendengar suara itu berucap begitu saja. Sambil melihat sekeliling menerka dari mana suara itu berasal.
"Asal kamu tau, aku tidak takut kepadamu," Reina berucap hampir berteriak membalas ucapan dari suara itu.
"Itu berarti kamu takut." Suara itu menjawab lagi lebih kepada suara yang menggoda.
"Itu nggak lucu. Tunjukkan wujudmu kalau berani. Kamu sebenarnya siapa?"
"Yakin mau melihat wujudku?" suara itu membuat Reina terdiam.
Apakah ini mimpi? Aku sedang tidak bermimpikan? Apa benar suara itu nyata? Seumur-umur aku baru mendengar suara semacam ini. Atau mungkin itu Teh Elis. Yah teh Elis mungkin sedang mengerjaiku. Gerutunya dalam hati.
"Sayangnya ini bukan mimpi sobat," suara itu begitu saja terdengar.
"Kamu. Kamu bisa baca pikiran aku?"
"Itu sangat mudah."
"Katakan! Kamu Teh Emikan?"
"Apakah Teh Emi bisa baca pikiran?" Reina terdiam lagi. "Berarti Teh Emi hebat juga yah."
"Sebenarnya mau kamu apa? apa salahku? Kenapa kamu menggangguku?"
"Aku hanya ingin menemanimu dan membuatmu sedikit tenang."
"Tenang? Kamu malah buat aku takut."
"Benarkan kamu takut?hihihihi," suara itu menggoda lagi, "hihihi," suara itu tertawa terus seperti mengisi ruangan kamar ini, "hihihi,"
"Diam!" Reina sedikit berteriak menghentikan suara itu tertawa. "Aku memang takut, puas?"
"Oke, jangan takut Rei. Aku selalu ada di sisimu. Menemanimu disetiap suka dan duka. Aku tidak suka jika kamu menangis bersedih seperti itu. sebenarnya itu sangat menyiksaku."
"Sebenarnya kamu siapa sih."
"Lambat laun kamu juga bisa tahu aku siapa. Yang paling penting adalah kamu bebas menceritakan keluh kesahmu kepadaku. Aku akan bantu sekuat tenaga yang aku punya. Kuncinya kamu harus nurut apa yang aku katakan saja."
Reina tampak kebingungan.
"Kesimpulannya, aku ingin menjadi sahabatmu."
"Apa ini benar?"
"Perlu bukti?"
"Jika memang bisa."
"Jika ingin membuktikannya, mulailah bercerita kepadaku. Apa yang sebenarnya kamu tangisi."
"Katanya, kamu bisa baca pikiran, kenapa masih saja bertanya?"
"Aku menyuruhmu bercerita hanya ingin membuat hatimu sedikit lega saja sobat."
"Kalo begitu aku akan bercerita."
"Aku menunggu."
"Waktu kecil, tidak terlalu sulit untukku mendapatkan teman. Berbeda dengan sekarang aku tidak punya teman. Teman datang hanya di saat ada butuhnya saja. Aku benci. Dibelakang membicarakanku seenaknya. Di depan malah tersenyum manis seperti ingin aku injak saja." Reina terdiam dan mulai menangis lagi.
"Aku masih disini sobat."
"Aku sangat sedih karena teman baikku dari kecil juga meninggalkanku. Dia teman yang aku anggap tulus menemaniku. Gian. Dia sekarang bersama orang lain. Aku benci. Kenapa Tuhan rasanya begitu tidak adil? Kenapa tidak dulu aku yang cupu? Kenapa harus sekarang aku yang cupu? Kenapa orang lain bisa dapatkan sahabat yang tulus, sedangkan aku? Teman yang tulus juga nggak punya. Apakah terlalu banyak dosaku?"
"Apa kamu percaya Tuhan?"
"Iyalah pasti, aku sangat percaya adanya Tuhan."
"Apakah Tuhan itu Maha Adil?"
"Setauku begitu."
"Apa kamu percaya Tuhan itu Maha adil?"
"Aku.."
"Kalo kamu percaya Tuhan, berarti kamu juga harus percaya Tuhan itu Maha Adil."
"Tapi aku merasa sekarang Tuhan sedang tidak adil."
"Rei, sobatku. Kalo kamu berpikiran positif terhadap Tuhan. Kejadian kamu saat ini sangat membuktikan bahwa Tuhan sangat Maha Adil. Kamu pernah merasakan kehangatan dikelilingi banyak orang. Dan kamu juga harus merasakan rasa kesepiannya ditinggal banyak orang. Itu sangat adil bagi kehidupanmu. Hidup ini selalu berpasangan Rei."
"Tapi, kenapa harus sekarang? Masa dimana aku membutuhkan banyak teman. Aku heran kenapa orang lain bisa memiliki banyak teman dengan mudahnya."
"Setiap orang memiliki garis kehidupannya masing-masing. Kau dijauhi banyak orang mungkin dengan suatu alasan. Jangan terlalu memikirkan kesedihannya, lihat sisi baiknya."
"Iya, kamu benar."
"Sekarang pergilah tidur, kamu perlu istirahat. Kita lanjutkan besok ya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror Matter
Romancecerita tentang perempuan biasa Kapan Kemarau panjang ini akan berlalu. Hal yang sulit sekali untuk aku hentikan. Hujan itu semakin jauh, jauh dan jauh. Hampir tidak terlihat pribadimu yang dulu. Bagaimana caranya aku menghentikan lamunan tentang mu...