#6. Hujan Badai (Reina)

8 3 0
                                    

Awan gelap menaungi bumi ini. awan itu sepertinya sudah tidak sabar menampung beban. Sehingga menjatuhkan air sebelum Reina sampai di rumah. Ini cukup membuat dirinya waswas. Terlebih lagi hujan itu menyerbu bumi dengan ganas. Hujan seperti ini sering diiringi oleh sesuatu yang membuat dirinya takut. Reina melindungi tubuhnya di naungan halte tempat biasa. Dia lupa membawa payung.

Gian, kemana kamu? Aku ketakutan, kemana kamu? Aku merindukan saat-saat kau berada di dekatku. Menjagaku. Melindungiku, bisiknya dalam hati. Tiba-tiba ada kilat yang menyala. Dia refleks memeluk orang yang berada di pinggirnya. Suara menggelegar terdengar. "Aku takut, aku benar-benar takut, tolong lindungi aku." Teriaknya ketakutan.

"Tenang Rei, itu hanya petir." Suara laki-laki yang dia peluk menenangkan, sangat lembut. Reina tersadar akan sikapnya yang bodoh. Dia memeluk orang asing yang entah siapa. Eh tapi tunggu. Lelaki itu tahu nama Reina. Siapa dia? Reina melihat kearah wajahnya. Benar, sepertinya Reina mengenali wajah itu.

"Raka? Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu. Sejak kapan kamu duduk disini? Kenapa tidak menegurku?" Oh ternyata laki-laki itu Raka. Temannya sejak kecil. Raka pindah ke Malaysia untuk melanjutkan sekolah jenjang SMA, mengikuti bapaknya yang bekerja di sana. Entah ada keperluan apa dia di sini.

"Sejak kamu duduk di sini." Dari sederet pertanyaan dari Reina tadi, hanya itu yang dia jawab. "Ohh iya Rei, Gian gimana kabarnya?" dia malah mengalihkan pembicaraan.

"Sepertinya dia baik-baik saja," ucap Reina lalu kembali melihat hujan yang semakin mengguruh karena membawa lebih banyak kawan.

"Rei, sebenarnya.." Raka sepertinya ingin mengatakan sesuatu, "Aku.."

"Raka!" seorang perempuan muda basah kuyup meski telah memakai payung datang dan memotong pembicaraan Raka, "Raka, ayo cepet pulang, udah pada nunggu." Sontak Raka melepas jagetnya dan memberikan kepada perempuan itu, sambil mengusap-usap air yang berada di wajah cantiknya. Reina memperhatikan detail yang mereka lakukan. "Raka ayo!"ucap perempuan itu tak sabar.

"Aku duluan ya, Rei." Raka berlalu bersama perempuan itu memakai satu payung. Terlihat Raka memeluk perempuan yang bersamanya, seperti mengkhawatirkan dia kedinginan.

Siapa perempuan itu? Aku baru liat dia. Apa itu pacarnya? Raka keliatannya sangat menyayangi perempuan itu. Raka, termasuk deretan masa lalu yang pernah menghias hari-hariku. dia adalah orang yang mendekat dikala orang menjauh. Di saat Gian menjauh. Dia yang menghapus air mataku.

Waktu itu matahari bersinar terang mengisi ruangan yang semakin panas, karena dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berpikir keras. Memecahkan soal-soal ujian matematika yang diberikan oleh guru di akhir semester satu. Kelas dua SMP.

Tentu aku telah mempersiapkan matang untuk ujian itu. Aku belajar hingga larut malam karena tidak ingin mengecewakan guru favoritku. Aku akan memberikan nilai terbaik pada ujian kali ini. Hampir semua soal sudah bisa aku jawab. Optimis aku menjawab benar. Sejenak aku melihat sekeliling ruangan kelas. Ingin melihat reaksi teman-teman yang juga sedang berjuang memberikan yang terbaik. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dan membuat penglihatanku terganggu. Temanku sedang melihat kertas, yang sepertinya adalah kumpulan rumus-rumus. Bukan hanya satu orang. Dan itu membuat hatiku terganggu dan ingin melakukan sesuatu.

Hah enak saja, mereka dengan mudahnya mendapatkan nilai bagus dengan mencontek. Sedangkan aku, harus susah payah belajar semalaman. Aku harus melakukan sesuatu. Tak pikir panjang lagi aku mengangkat tangan.

"Mohon maaf pak, izin bertanya," tanyaku kepada pengawas.

"Iya, ada apa?"

"Aku mau nanya. Apa ini sedang ujian?"

"Iya tentu. Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Karena, aku melihat teman-temanku membuka rumus matematika. Apa itu diperbolehkan?" tanyaku lagi, membuat seisi kelas melihat kearahku.

"Apa benar yang dikatakan oleh Reina?"

Aku sangat puas dengan apa yang aku lakukan. Beberapa temanku terkena hukuman. Tapi selepas ujian selesai, orang-orang menghampiriku.

"Heh anak sok pintar, kamu pikir apa yang kamu lakukan tadi benar?" ucap salah seorang dari mereka.

"Ya jelas. Emang kamu pikir mencontek itu benar?" aku menjawab tegas tidak ingin kalah.

"Jangan so alim lah. Emang kamu belum pernah mencontek?" ucap yang lain menimpali.

"Belum."

"Ohh pantesan. Kita emang nggak selayaknya berteman dengan orang suci kayak dia."

Semenjak itu semua orang di kelas menjauhiku. Aku bertanya ini itu, tidak pernah dijawab. Bahkan sering kali aku ketinggalan informasi karena memang tidak ada yang memberitahukan kepadaku. Bahkan parahnya, aku sering mendapat ejekan, cacian dan dikucilkan. Hari-hariku seperti berada dalam gudang duri. Sangat menyakitkan. Disana pula Gian mulai menjauhiku. Aku benar-benar merasa sendiri.

Waktu aku sendiri di koridor kelas, melihat orang yang sedang bermain futsal. Ada seorang laki-laki menghampiriku.

"Kenapa sendirian?" dia bertanya mengawali percakapan.

"Lagi pengen sendiri aja."

"Nggak baik sendirian terus."

"Nggak papa. Lagian nggak ada yang mau nemenin aku."

"Aku mau."

Di sana kita mulai dekat. Raka jadi teman satu-satunya yang menemani. Raka emang nggak satu kelas sama aku. Dia satu kelasnya sama Gian. Tapi berhasil membuatku tidak terlalu terpuruk. Saat aku bercerita tentang kejadian mencontek itu, dia juga sependapat sama aku. Dia sering ngasih masukan dan alasan kenapa aku dijauhi. Dia baik. Ah tapi sekarang, aku tahu dia sudah memiliki pacar. Yang memang lebih pantas untuknya dari pada aku.

Mirror MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang