#4. Daun Kering (Gian)

9 2 0
                                    

Debu-debu yang terbawa angin seakan menyentuh hati yang sangat merindu. Merindu bunga yang dulu pernah mekar dalam hatinya. Debu yang tercampur karbonmonoksida dari asap kendaraan. Menutupi jalan yang seharusnya indah dipandang mata karena tadi malam turun hujan.

Gian terdiam sejenak dari langkahnya. Melihat perempuan yang dulu sangat dekat dengannya, tapi tidak untuk sekarang. Dia selalu ragu saat berjalan melewatinya. Sebentar lagi bus jurusan rumahnya akan datang dan terparkir di depan halte yang diduduki perempuan itu. Kini dia melewatinya tanpa berani melihat wajah mungil itu. Karena ada kesakit hatian yang bersemayam. Masa lalu akan perlahan terbayang menghantui. Wajahnya bagaikan kaset yang siap diputar dan mengingatkan pada suatu masa yang indah namun perlahan pecah.

Mencintai seseorang yang tidak menyukai kita adalah kesakit hatian. Sebuah tamparan keras agar kita belajar lagi untuk lebih baik. Inilah hidup yang baru. Meninggalkan masa dimana kita menjadi babu seorang gadis yang kita cintai.

Orang yang mencintai adalah orang yang tulus akan apa yang dilakukan terhadap kita. Orang yang mencintai adalah orang yang sadar akan keberadaan kita. Orang yang mencintai adalah orang yang selalu menghargai kita. Apa Reina mencintaiku?

Bus itu menepi, menunggu awak bus untuk segera naik. Gian melihat sekeliling bus mencari tempat kosong untuk segera diduduki. Dia melihat Reina di bus yang sama duduk sendirian di barisan depan kedua. Perempuan itu sibuk melihat ke arah luar bus, saat gian melewatinya. Gian melihat mata itu lagi, mata yang indah dan merebahkan hatinya. Bagaimana mungkin sang pangeran berbohong kepada hati yang suci itu. Gian memilih tempat duduk di belakang perempuan itu bersama ibu paruh baya yang mungkin pulang dari pasar terlihat dari barang bawaan yang terlampau banyak.

Reina, wajahmu itu terlihat sangat kesepian. Terlihat sendu dan tanpa gairah. Aku merindukan keceriaan yang tersirat diwajahmu. Aku tahu, kamu tidak mungkin menyadari aku dibelakangmu. Kamu tidak berani melihat kedaerah dalam bus. Karena tidak suka melihat terlalu banyak orang di dalam ruangan sempit. Itu selalu membuatmu mual.

Dulu aku kira, Aku akan baik-baik saja tanpa dia di dekatku. Tidak mungkin aku terlalu memikirkannya. Hidup ini bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang semua orang termasuk diriku. Tapi ternyata dunia ini sangat hambar seperti tidak berasa.

Setelah sekian lama kita tidak berucap. Hanya mata yang berbicara antara kita. Aku tidak menyangka bisa menjadi seperti ini. Jujur, aku sangat merindukanmu. Reina. Ingin sekali aku menemanimu saat kau sendiri, mendengar lagi ocehan-ocehanmu yang menghiburku, senyum manis yang menggetarkan hatiku. Aku merindukanmu, Reina.

Andai saja kejadian itu tidak terjadi. Kejadian sekitar 4 tahun silam itu. Jujur, dari hatiku yang paling dalam. Aku menyayangimu Reina. Lebih dari yang kamu bayangkan.

Setiap kau menatapku. Ada getaran itu. Apa benar itu hanya sebagai kakak dan adik? Reina, ingin sekali aku berkata padamu tentang perasaan ini. Tapi aku sepertinya tak sanggup melawan geratan dengan frekuensi tinggi ini.

Reina, maafkan aku. Aku tidak bisa menghapus air matamu lagi. Reina,maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu bercerita lagi. Reina, maafkan aku, aku tidak bisa menjagamu dari dekat lagi. Jujur, aku merindukanmu.

Selalu aku ingat tentangmu Reina, tentang kamu yang sangat menyukai hujan. Hujan november di sore hari. Selalu ku temukan senyum lepasmu. Air yang selalu membasahi rambutmu yang indah kecoklatan. Membuat aku selalu ingin membelainya. Reina.

Selalu aku ingat tentangmu Reina, tentang kamu yang sangat menyukai danau. Danau yang terhampar luas, yang dibibirnya penuh pohon yang rindang. Aku belum sempat memenuhi janjiku untuk membawamu ke sana.

Aku masih ingat, saat kau memelukku erat bila kilat menyala, kita selalu tahu pasti akan ada petir setelahnya.

"Tenanglah Ina. Petir tidak akan menyambarmu."

"Aku sangat takut petir Gi."

"Jika kamu suka hujan, belajarlah untuk menyukai petir."

"Emangnya kenapa?"

"Karena bila ada hujan seringkali ada petir."

"Aku tidak yakin bisa menyukai petir."

"Emangnya kenapa?"

"Aku pernah bermimpi sesuatu tentang petir."

"Ayo ceritakan!"

"Aku bermimpi masuk ke suatu tempat bersama seorang anak lelaki, tempat itu sangat indah. Ada danau di dalamnya lengkap dengan pohon rindang yang teduh. Aku dan dia menaiki perahu yang berada di bibir danau. Setelah kita hampir sampai di tengah danau, ada petir yang sangat kencang suaranya."

"Terus?"

"Aku sangat takut sampai terbangun dari tidurku. Disana aku tidak bisa tidur lagi."

"Kamu jadi takut danau?"

"Tidak, aku tetap menyukai danau."

"Siapa lelaki yang bersamamu ke tempat itu?"

"Aku tidak tahu, tidak begitu jelas."

"Aku ingin mengajakmu kesana. Melihat danau yang terhampar luas."

"Tapi jangan naik perahunya yah."

"Iya. Apapun katamu."

Bila hujan datang, selalu mengingatkanku pada percakapan ringan di sore hari. Hari yang masih indah saat kau masih bersamaku. Tidak ada jarak diantara kita. Reina. Apakah sudah terlalu lama aku mendiamkannya? Apakah ini saatnya aku mulai berbincang dengannya lagi? Iya, ini saatnya aku meminta maaf padanya.

Bus berhenti di halte. Reina sudah berdiri akan bersiap turun. Gian pun berdiri untuk menghampiri gadis itu. Tapi ibu disampingnya memerlukan bantuan untuk membawakan barang. Gian malah membantu ibu itu. Sedangkan Reina berlalu turun dan menjauh.

"Aduh, maafkan ibu, nak. Jadi merepotkan," ibu itu berucap merasa bersalah.

"Tidak apa-apa Bu. Ibu turun disini juga?"

"Iya Nak. Rumah ibu tidak terlalu jauh dari sini."

"Ohh mari bu, saya antarkan barangnya kerumah ibu."

"Terima kasih Nak."

Gian melihat ke arah luar. Reina berjalan sendiri menuju rumahnya. Mungkinkah mulut itu akan berucap dengan mudah, sedangkan mulut membisu terampau lama.

Mirror MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang