#5. Kemarau panjang (Gian)

10 3 0
                                    

"Gi, kamu tahu nggak, Reina itu suka sama seseorang," ucap dina yang menghampiri selepas pulang sekolah semasa SMP.

"Suka sama siapa?"

"Emang Reina belum pernah cerita? Dia itu suka sama Raka. Udah lama kali."

"Dia cerita sama kamu?"

"Coba tanya sendiri sama Reina."

Aku hanyalah teman Reina. Tapi aku merasa sakit saat tahu Reina suka sama orang lain. Reina yang sedari kecil bersamaku. Dia yang aku kira menyukaiku juga.

"Dia itu menyukai semua lelaki, mungkin dia merasa sangat cantik. Jadi semua lelaki dia sukai," ujar Dina yang melihat Gian hanya terdiam.

"Aku nggak suka kamu ngomong gitu."

"Coba kamu lihat sendiri, bagaimana sikap dan sifatnya. Jangan asal suka aja karena dia cantik."

"Kamu ngomong apa sih Din?" Gian hampir berteriak menanggapi ucapan dina tadi.

"Aku tidak meminta kamu untuk percaya omonganku itu, tapi yang aku minta tolong cari tahu sendiri bagaimana sebenarnya sifat Reina," ucapan Dina terakhir sebelum berlalu meninggalkan Gian sendiri.

Aku tidak percaya dengan kebenaran yang diutarakan oleh Reina. Tapi mengapa aku begitu yakin ini bukan dari hati Reina. Ina temanku, aku ingin kamu jujur pada hatimu sendiri. Siapa yang sebenarnya kamu sukai?

Aku bisa melihat tatapan itu, aku tahu sebenarnya kamu juga mencintaiku. Reina jangan kau berbohong seperti itu. Itu menyakitiku.

Reina, Raka itu belum tentu menyukaimu. Mata kamu hanya melihatku. Aku yakin itu Reina. Aku sangat yakin itu.

"Reina, benar kamu suka Raka?"

"Iya Gi, tapi aku tidak tahu Raka juga suka aku atau tidak. Menurutmu gimana?"

"Menurutku?"

"Iya, menurutmu Raka suka aku juga atau tidak?"

"Kamu cantik, siapa sih yang nggak suka kamu?"

Untuk apa kamu menyukai seseorang yang belum tentu menyukai. Jika di depanmu ada seseorang yang sudah pasti menyukai. Reina, coba dengar kata hati itu. Aku menyukaimu.

"Ina, aku juga mau kamu tahu sesuatu."

"Apa itu Gi? ayo cerita!."

"Aku juga menyukai seseorang."

"Siapa itu? Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya kepadaku?"

"Aku sangat menyukai..."

"Iya, kamu suka siapa?"

"Aku sangat menyukai Ines."

"Ines?"

"Iya, Ines."

"Ines memang perempuan yang cantik dan pintar, kamu pantas suka dengannya."

"Iya Ines memang cantik."

"Ines suka kamu juga?"

"Aku tidak tahu."

Ines adalah perempuan yang tanpa sengaja aku seret begitu saja dalam obrolan ini. Tidak pernah terpikir sebelumnya aku menyukai gadis itu. Tapi mulutku berucap begitu saja.

"Gi, ada seseorang yang sangat menyukaimu."

"Siapa?"

"Dina."

Reina yang dulu selalu menemaniku. Yang selalu bermain denganku, yang selalu aku pegang erat. Kini aku lepaskan begitu saja.

Aku mencintainya tapi begitu marah padanya. Atau mungkin aku begitu marah pada diriku sendiri.

Reina. Bagaimana caranya aku bisa melupakan rasa suka ini? Rasa cinta ini? Bagaimana caranya aku menghilangkan rasa sakit ini pada saat kau bersama orang lain. Asal kamu tahu Na, Raka adalah teman dekatku. Apa tidak ada lelaki lain yang bisa kamu sukai selain dia.

Coba kamu bayangkan, bagaimana perasaanmu saat kamu hanya bisa melihat orang yang sangat dicinta menyukai orang lain? Apalagi orang lain itu adalah teman dekatmu sendiri.

Hatiku tambah hancur. Saat aku tahu Raka juga menyukaimu.

Sekarang, aku hanya bisa melihatmu dari jauh, aku tidak bisa terlalu dekat denganmu, aku takut rasa suka itu tumbuh lagi. Berkembang bersama senyum manismu itu.

Gian melihat Reina berbincang di koridor sekolah bersama segerombol perempuan lainnya. Dia harus melewati kerumunan Reina jika akan masuk ke dalam kelas. Tapi untuk saat ini dia ingin menghindar dari perempuan itu. Dia mengambil jalan yang lebih jauh.

Gian ingin berusaha untuk menjauhi Reina. Dia ingin sedikit-sedikit menghilangkan perasaan itu dan mencoba ikhlas seseorang yang lebih disukainya mendekat.

Waktu itu gian sedang duduk dibangkunya saat Reina datang dengan wajah merah menghampiri.

"Gian, bantu aku. Aku sangat benci pada orang-orang itu. Mereka aneh. So berkuasa. Mereka jahat padaku. Gian," Ucap perempuan itu lirih.

Gian hanya diam.

"Gian dengarkan aku, apa kamu bisa membelaku? Katakan pada mereka bila aku juga punya hati. Mereka tidak bisa seenaknya kepadaku, mencaciku seperti itu."

Gian hanya diam.

"Gian? Kamu dengar aku kan?"

Gian menunduk tidak mempedulikan.

"Gian kenapa kamu jadi seperti mereka? Apa yang salah denganku? Kenapa kamu jadi mendiamkanku seperti itu?"

Gian berdiri dan berlalu. Meninggalkannya sendiri. Air mata Reina terjatuh.

Ingin rasanya aku memelukmu. Reina. Saat air matamu terjatuh seperti itu. Tapi aku tidak bisa. Reina. Cobalah berdiri di kakimu sendiri. Kamu bisa melawan mereka semua. Reina. Kamu adalah perempuan kuat. Reina.

Semenjak hari itu, Reina tidak berani lagi menyapaku. Kita hanya saling tatap kemudian berlalu. Sebenarnya aku tidak ingin seperti ini. Aku merasa tersiksa saat senyum manisnya perlahan pudar dan tidak terlihat lagi.

Reina. Kamu sangat sulit berbaur dengan yang lain. Wajah cantikmu hilang oleh bibir yang cemberut itu. Aku sering melihatmu menyendiri di kolidor kelas. Sebenarnya itu kurang baik Na.

Pernah suatu hari aku ingin mendekatinya. Tapi sebelum aku lebih dekat dengannya. Dia melihatku dengan penuh kebencian. Dan berlalu menjauh. Dia sepertinya marah. Yah dia memang marah kepadaku.

Semenjak dia jauh dariku. Prestasi dia di sekolah semakin meningkat. Tidak jarang dia masuk dalam derekat juara umum disekolah. Mungkin dia melampiaskan kemarahannya kepada tumpukan buku itu.

Sebenarnya aku merasa marah pada diriku sendiri. Aku menyesal mendiamkannya begitu lama. Padahal dulu kita begitu dekat. Aku yang sekarang begitu kehilangannya. Sangat merindukannya.

Kapan Kemarau panjang ini akan berlalu. Hal yang sulit sekali untuk aku hentikan. Hujan itu semakin jauh, jauh dan jauh. Hampir tidak terlihat pribadimu yang dulu.

Bagaimana caranya aku menghentikan lamunan tentang mu. Tentangmu yang sangat menyukai hujan. Mungkin memang ini yang terbaik. Biarkanlah semua mengalir seperti air sungai yang kian mengering.

Bayangmu selalu menghantui ku, bayang-bayang masalalu yang membuat aku merasa semakin bersalah. Kehidupan yang semakin sunyi. Tanpa ada canda tawa yang merebah dari mulutmu. Sampai aku menemukan perempuan yang bernama, Laras.

Mirror MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang