#7. Potongan Masa Lalu (Reina)

18 3 0
                                    

Reina menjatuhkan diri pada tempat tidurnya. Melihat kelangit-langit dan lampu yang tergantung. Kini dia memang meresa sangat kesepian. Tidak ada lagi orang yang bisa menemaninya. Tidak ada lagi orang yang mengharapkannya. Sekarang dia tahu Raka telah memiliki seseorang. Sebenarnya tidak pernah terpikir akan sesakit ini. Meskipun hatinya tidak pernah untuk Raka. Tapi Raka berhasil menciptakan kenyamanan yang membuat Reina rindu akan itu.

Dulu, saat Raka masih bersamanya. Reina terkesan jutek dan selalu mendiamkannya. Meski begitu dengan tulus Raka selalu menemani dan selalu berusaha agar Reina tetap tersenyum. Kamu cantik bila tersenyum, jadi jangan sampai kamu cemberut seperti itu. Potongan masa lalu beterbangan dari langit-langit menimpa dengan kerasnya. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan orang baik seperti Raka? Tidak terasa air mata terjatuh begitu saja. Raka telah menemukan seseorang yang lebih pantas dicintai, sekarang tinggallah aku yang sendirian disini. Hatinya terluka mungkin karena rasa kesepian itu telah menyayat hati. Luka yang semakin sulit terobati, membuat air mata yang sulit berhenti.

"Cup..cup..cup.. sudah dong jangan nangis gitu,"  suara misterius yang datang setiap malam, menemaninya untuk mencurahkan segala unek-unek dalam hatinya. Tangisnya malah semakin menjadi "jangan bersedih seperti itu sobat, itu sangat menyiksaku."

"Aku tidak menyiksamu. Asal kamu tahu, ini bukan urusanmu."

"Ini adalah urusanku sobat. Ayo ceritakanlah kepadaku."

"Sebenarnya kamu siapa sih selalu saja ingin tahu urusan orang."

"Kamu ini masih belum tahu siapa aku? Aku ini sahabatmu. Aku harus memastikan sahabatku ini baik-baik saja."

"Aku tidak apa-apa."

"Bagaimana mungkin kamu tidak apa-apa? Jelas-jelas aku melihatmu menangis."

"Aku hanya merindukan masa laluku saja."

"Untuk apa kamu merindukan masa lalu, bila masa sekarang ini sangatlah indah."

"Indah dari mana?"

"Lihatlah sobat kamu ini begitu tinggi, rambutmu panjang, bisa menghirup udara segar, bisa berjalan, dan masih banyak lagi. Apa itu tidak indah."

"Aku tahu itu, tapi ada penyesalan yang sangat menyiksaku."

"Penyesalan apa?"

"Raka."

"Siapa dia? terakhir kamu bercerita kamu sangat merindukan Gian, sekarang Raka. Perempuan macam apa kamu ini. Seharusnya kamu hanya setia pada satu lelaki saja. Pantas saja kamu sulit untuk bahagia."

"Kamu ini bawel banget yah."

"Terserah kamu anggap aku apa. Yang pasti kamu harus cepat taubat deh, kalo kamu mau bahagia."

"So tau banget sih."

"Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, sebenarnya kenapa kamu nangis gara-gara Raka?"

"Aku nyaman sama dia."

"Terus, kenapa kamu putus sama dia?"

"Loh, kok kamu tahu, kita pernah pacaran? aku kan belum pernah cerita."

"Oh emang kamu belum pernah cerita yah?"

"Belum."

"Yaudah ayo cepat cerita."

"Saat semua menjauh, saat gian menjauh, Raka datang. Sebenarnya aku berharap Raka dapat menggantikan Gian. Tapi ternyata, Gian tidak bisa tergantikan. Gian itu baik sekali, selalu membantuku bila aku sedang kesusahan. Tapi Raka selalu bilang. 'belajarlah untuk lebih dewasa'. Gian tidak pernah berkata seperti itu. Dewasa itu memusingkan. Aku benci. Tapi sekarang aku tahu itu harus dihadapi."

"Oh begitu. Terus-terus."

"Sebenarnya aku merasa bersalah. Membandingkan orang yang memang sangat berbeda."

"Karakter orang memang berbeda-beda sobat."

"Nah maka dari itu. Aku jadi menghindar darinya. Berharap dia mutusin aku."

"Loh apa salah dia? Kenapa kamu begitu jahat? Mungkin dia hanya ingin yang terbaik untukmu."

"Aku memang jahat, dan dia sangat baik. Aku merasa kurang pantas untuknya."

"Jadi dia mutusin kamu?"

"Tapi anehnya dia malah tambah baik dan perhatian sama aku. Dengan sabar selalu memberi nasihat dengan ucapan yang sangat lembut kepadaku."

"Terus bagaimana kalian bisa putus."

"Aku yang mutusin dia."

"Dianya gimana?"

"Tapi keliatannya dia juga baik-baik aja."

"Itukan kelihatannya."

"Yah aku kan nggak tahu."

"Terus, apa yang membuat kamu menyesal?"

"Tadi aku tahu, dia telah mempunyai seseorang untuk menggantikanku."

"Dia udah punya pacar lagi?"

"Sepertinya."

"Itukan hak-nya dia."

"Itu memang hak dia. Tapi, aku merasa menyesal telah menyia-nyiakan orang yang tulus berada di dekatku."

"Raka itu kekasih orang yang pernah kamu pinjam untuk menemani rasa kesepianmu."

"Kamu benar."

"Berarti kamu sudah tidak sedih lagikan?"

"Iya, terimakasih yah sobat."

"Oke. Tidak masalah. Itu adalah tugasku."

"Kamu tahu tidak?"

"Tahu apa sobat?"

"Sekarang aku merasa sudah gila."

"Gila? kenapa gila?"

"Aku mempunyai sahabat bukan manusia, jika orang lain melihat aku berbicara sendiri seperti ini, pasti aku dianggapnya gila."

"Bukan manusia? Hihihihihihihihihihihi......."

"Aku benci kamu tertawa seperti itu."

"Maafkan aku sobat. Tenang, aku akan muncul hanya disaat tidak ada orang yang melihatnya. Sampai kamu tahu siapa aku sebenarnya."

"Memang sebenarnya kamu siapa?"

"Aku akan mengatakannya, saat waktu yang tepat."

"Terserah kamu deh." Reina menarik napas sambil melihat sekeliling, suara itu masih berasal di samping telinganya. "Sobat, kamu tahu nggak, sebenarnya aku merindukan seseorang yang menyayangiku."

"Rindu pada siapa? Orang tuamu masih ada di dekatmu."

"Maksudku bukan orang tua."

"Jangan mencari yang tidak ada. Sayangilah orang yang jelas-jelas menyayangimu."

"Kamu benar."

"Sebenarnya kekasihmu sangatlah dekat."

"Hah siapa?"

"Rabb-mu."

Mirror MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang