XI

4 1 0
                                    

Mid term sudah ada di depan mata, semakin hari aku semakin sibuk berlajar, kini sudah tidak ada jam makan siang untukku. Setiap waktu yang aku miliki akan aku gunakan semaksimal mungkin untuk belajar, Arielle juga begitu, kami sudah jarang bertemu dengan yang lainnya di kafetaria. Untungnya Jeffyin selalu menemui ku di perpustakaan atau di kamar, dia akan duduk diam memperhatikan aku yang sibuk belajar, kemudian pergi saat kelasnya dimulai atau saat tengah malam.

Terkadang aku melewatkan latihanku di ruang basket saat malam hari, tidak menelfon Jullian, dan tidak ada kencan. Pola makanku juga mulai berantakan, kalau bukan Jeffyin yang mengingatkan aku mungkin akan selalu melewatkan makan siangku.

"Bagaimana dengan belajar mu?" tanyaku pada Jeffyin, dia sedang memakan beberapa gummy bear ku di ranjang. Seharian ini kami mengurung diri di kamarku, aku sibuk belajar sedangkan Jeffyin mengacak setiap sudut kamarku. Hari ini Jeffyin tidak ada latihan basket.

"Baik," jawabnya santai. Dia hanya melirik ku sekilas.

"Aku tidak suka dengan laki-laki bodoh, asal kamu tahu Jeffyin." ungkapku memperingati.

Jeffyin turun dari ranjang dan memakai sepatunya, "Aku tahu." Kemudian sebuah kecupan mendarat sempurna di pipiku, "Jangan tidur terlalu malam. Bye, Rain.".

"Tunggu dulu," aku menghentikan Jeffyin. "Aku tidak pernah mengizinkanmu menciumku seenaknya, Jeffyin." Kini aku sudah meletakan pulpenku.

"Ayolah, Rain. Itu hanya kecupan singkat." Jeffyin memberi alasan. Dia bersandar pada pintu kamarku, memasang wajah memelasnya.

"Aku hanya tidak ingin temanku bertingkah seakan dia kekasihku padahal bukan." Aku mencoba membahas kembali tentang statusku dengannya.

"Kalau begitu kamu boleh menciumku sesukamu." Jawab Jeffyin tersenyum, "Masalah selesai."

"Baiklah, mulai sekarang aku juga akan mencium Nethan, Tom, Gallant dan Damien." Ungkapku, "Dan aku sedang tidak bercanda." Kalimat tambahanku untuk meyakinkan Jeffyin.

"Rain," Jeffyin kembali melepas sepatunya, berjalan ke arahku lalu berlutut tepat di depan kakiku, "Aku benar-benar memikirkan ini dengan sungguh-sungguh, tapi aku mohon kamu mengerti, ini bukan hal mudah." Jeffyin menggenggam tanganku, begitu hangat.

"Katakan padaku, pada bagian mana hal yang tidak mudah itu." Aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Aku tidak bisa mengatakannya padamu." Jawabnya bersalah, aku tahu Jeffyin tidak bermaksud.

Aku kembali meraih tangannya yang tergeletak di atas pangkuanku, "Aku tidak memaksamu, Jeffyin. Jika memang tidak, aku ingin ini segera berakhir, apapun itu."

Jeffyin menundukan kepalanya di pangkuanku, nafasnya sungguh berat. "Tolong, Rain. Mengerti aku, apa itu sulit?"

"Ini sulit Jeffyin, terlebih kamu tidak menjelaskannya padaku." Aku mencoba semampuku menahan emosiku saat ini, "Aku tidak meminta kelopak mawar di seluruh kafetaria, atau 1000 lilin di depan kelasku, ataupun jutaan surat cinta di dalam tasku."

"Maaf," ucapnya pelan, Jeffyin kembali berdiri, berjalan ke pergi untuk memakai sepatunya.

Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh, sungguh, aku merasa begitu nyaman menghabiskan waktuku bersamanya tapi jika terus berlanjut tanpa penjelasan yang pasti tentang statusku, terima kasih, aku sudah lelah dengan hubungan seperti itu.

Aku duduk diam di kursiku, tidak beranjak sedikit pun untuk memperbaiki ini,

"Jeffyin," panggilku saat Jeffyin sudah melangkah keluar, "Selamat malam." Aku mengalah.

sincerely, RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang