VI

15 4 0
                                    

Aku menghabiskan sisa sore ini di pojok belakang perpustakaan, area ini terlihat sangat sepi dan nyaman. Saat sedang duduk-duduk membaca kamus, aku mendengar suara alunan piano dari ruang sebelah. Setau ku di sebelah adalah lab bukan ruang musik atau ruang apapun yang mungkin saja terdapat piano, aku memutuskan untuk keluar dari perpustakaan dan memastikan ruangan di sebelah perpustakaan.

Benar saja, saat aku membuka pintu ruangan yang berada di sebelah perpustakaan, isinya adalah barisan komputer, ini lab. Aku kembali ke pojok belakang perpustakaan dan mendapati suara itu sudah tidak ada, hanya sebuah pintu yang terbuka, aku mendekati pintu tersebut dan memberanikan diri untuk masuk.

Betapa terkejutnya aku melihat sebuah ruang musik yang sepertinya sudah tidak terpakai dibalik pintu tadi, terdapat sebuah piano classic tua berwarna seperti pohon pinus. Aku yakin bahwa suara piano yang tadi aku dengar pasti asalnya dari piano tua ini, aku duduk dan memperhatikan setiap inci piano.

Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas saat-saat diriku bermain piano, alasan aku mulai memainkannya sampai alasan aku berhenti. Aku memejamkan mataku, alunan suara piano membawa diriku kembali pada masa lalu. Tanpa diriku sadara, air mata mengalir di pipiku.

Aku merasakan rasa sakit di dadaku, rasa sakit yang membunuhku, sebuah rasa bersalah yang teramat sangat. Aku melepaskan semua rasa itu dengan tangisan, sangat sulit untukku melupakan kenangan yang dulu aku miliki bersama seseorang yang mengajarkan aku bahwa bahagia bukan hanya tentang diriku saja.

Kepala ku terasa pusing, air mata sudah berhenti mengalir sedari tadi, seluruh tenagaku habis untuk menangis. Suara pesan masuk berbunyi dari ponselku, aku mengambil ponsel dari saku jacket sambil beranjak dari tempat dudukku. Betapa terkejutnya aku melihat wajah Jeffyin di layar ponselku dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel ke lantai, aku membungkuk dan meraih ponsel ku.

Saat akhirnya pandanganku lurus kedepan, seorang pria berdiri di ambang pintu dengan wajah seperti orang yang ketahuan mengintip, "Maaf aku tidak bermaksud." katanya. Lalu dengan terburu-buru dia berjalan menghampiriku lalu menunduk untuk mengambil sesuatu dari bawah piano yang ternyata adalah sebuah tas. "I just wanted to take this, but instead saw everything." aku terkejut.

"Everything?" ucapku mengulang kata terakhir yang dia ucapkan tadi.

"It's totally accidental, really, I can't just go in and take this when a girl is crying loudly." dia menatapku dengan tatapan khawatir.

Dia menggunakan celana jeans longgar dengan kemeja putih terbungkus sweater merah darah dan sebuah kacamata berlensa cukup tebal, warna matanya coklat terang dan rambutnya hitam pekat dengan potongan pendek di bagian belakang dan poni yang jatuh di depan alisnya, hampir menyentuh matanya.

"I won't kill myself, just calm down." jelasku padanya atas tatapan khawatir itu.

"Thankfully." ucapnya sambil melangkah pergi. "You may come here every time you want to cry, but I lend you just to cry." ucapnya lagi sebelum menghilang di balik pintu. 

***

"Jadi gimana? Betah ga?" tanya Jullian dari ujung telfon.

Aku sedang duduk-duduk di kursi taman sebelah perpustakaan dengan gaun tidurku, gaun yang sama dengan yang terakhir ku pakai saat Jeffyin terjatuh disini. Hanya saja tidak dengan boot melainkan sandal berbulu merah pucat, kali ini hujan tidak turun jadi langit penuh dengan bintang. "Gitu deh, semuanya ramah."

"Udah punya temen dong?" terdengar samar-samar suara petikan gitar.

"Udah dong, namanya Arielle, baik banget, terus pinter, seru deh." ceritaku padanya.

"Yahaaha, enak dong, bisa nyontek kalo ulangan." candanya. "Cowok banyak ga yang cakep?" tanyanya bercanda, seperti biasa.

"Bejibun, cakep semua. Gila sih, jadi suka takut khilaf." aku membalas candaannya. Chino bergerak dalam tidurnya di pangkuanku, sepertinya dia sedang bermimpi.

sincerely, RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang