XIII

9 1 0
                                    


Aku berjalan begitu emosi menghampiri kerumunan orang di cafetaria, seseorang menghampiriku di kelas saat ujian berakhir dan memberikan kabar yang membuatku begitu emosi. Benar saja, saat aku berhasil melewati kerumunan itu, aku menemukan Jeffyin tengah berkelahi begitu hebat dengan seseorang yang tidak asing bagiku.

Aku ingin sekali berteriak menghentikan Jeffyin tapi begitu banyak orang yang memperhatikan, jadi aku hanya bisa menatap kegiatan itu dengan mata penuh emosi berharap Jeffyin segera menemukan kehadiranku.

Dapat dengan jelas mereka saling memukul tanpa henti, wajah mereka berdua sama-sama lebam akibat pukulan. Bodohnya orang-orang hanya menontoni tanpa menghentikan mereka, dasar gila.

Aku meremas puncak kepalaku kehabisan kesabaran melihat kekerasan ini, dan sesaat mataku bertemu dengan pria itu yang membuatnya menghentikan tangannya yang sudah mengepal keras. Ketika itu juga Jeffyin akhirnya menemukanku yang menatap penuh emosi, aku segera pergi setelah menatap sinis pada orang itu.

"Aubrey," panggil Nethan padaku saat aku belum terlalu jauh pergi dari kerumunan, dia berjalan bersama Tom, Gallant dan Damien.

"Cepat hentikan dua orang bodoh itu." ucapku tanpa berhenti ataupun menatap orang-orang.

"Rain!" jelas sekali itu suara Jeffyin.

Aku tetap berjalan lurus, tidak begitu ingin menghiraukannya, begitu banyak yang menatapku dengan Jeffyin yang babak belur berjalan mengikuti di belakang. Aku membawanya ke kamarku, tentu saja. Tidak mungkin jika ke kamarnya, matahari masih di atas, terlalu banyak mata.

"Sebenarnya apa yang ada di kepalamu?" Akhirnya aku membuka suara saat kami sudah di depan pintu kamarku. Tidak ada jawaban darinya, aku masih mencoba mendapatkan kunci kamarku di dalam tas.

"Jika kali ini kamu berfikir akan di maafkan, jangan banyak berharap." Ucapku mengancam, seketika tangan Jeffyin melewatiku menahan kenop pintu.

Aku segera menoleh dan menemukan dia dengan wajah tertunduk, tidak menatapku. "Menyingkir." Ucapku lalu membuka pintu kamar.

Aku berjalan masuk lalu meletakan tasku ke sembarang tempat dan segera mencari kotak obatku. Kulihat Jeffyin terduduk tak berdaya di ranjangku, wajahnya tetap tertunduk.

Aku berjalan mendekat, lalu duduk di sofa unicornku. "Maaf," ucapnya pelan.

Aku tidak terlalu memperdulikan, terus saja fokus pada beberapa lebam di wajahnya. Mata Jeffyin tidak lepas terus memandangiku, namun aku berusaha begitu keras supaya tidak luluh dan menatapnya balik.

"Jika kamu ingin berkelahi lagi, tunggu setidaknya sampai seminggu kedepan atau wajah ini akan jelek selamanya." Ucapku benar-benar mengancam tepat di depan wajahnya.

"Baiklah." Ucap Jeffyin singkat. Terdengar seperti menantang di telingaku.

"Apa maksudnya dengan 'baiklah'?" Ucapku, membuat nada yang sama pada kata baiklah yang Jeffyin ucapkan. Aku bangkit dan menyimpan kembali kotak obatku.

"Baiklah, aku akan berkelahi lagi minggu depan." Dia menantangku.

"Jeffyin!" Teriakku tak tertahankan.

"Aku ingin tidur disini." Jeffyin berbaring dan menarik selimut, tidak menghiraukan aku yang menatapnya jengkel.

"Terserah." Jawabku tak kalah tidak peduli. Aku mengambil dompet dan ponsel dari dalam tas.

"Apa kamu tidak ingin bertanya?" Tanya Jeffyin dengan mata yang sudah tertutup.

"Tidak."

"Jadi kamu tidak peduli." Tanya Jeffyin lagi, matanya tetap tertutup rapat.

sincerely, RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang