~Nanti, akan ada saatnya air matamu berubah menjadi tawa~
***Delin menatap ibunya yang masih tertidur pulas, rasanya enggan sekali ia pergi kesekolah pagi ini dan meninggalkan ibunya sendirian dengan kobdisi seperti sekarang. Tapi Delin yakin, ibunya tak suka kalau Delin bolos sekolah, jadi dengan berat hati Delin akhirnya memutuskan untuk sekolah hari ini.
Delin turun dari angkutan umum tepat didepan gerbang sekolahnya, ramai, itu kesan pertama yang Delin dapatkan pagi ini, biasanya Delin akan datang sebelum siswa lainnya berdatangan, Delin sangat malas harus berpapasan dengan orang lain ketika di koridor ataupun ditengah lapangan, meskipun mereka tidak mengganggu tapi tetap saja Delin enggan.
Delin berjalan dengan santai menuju kelasnya, headset kecoklatan itu tak lepas dari telinganya, Delin mengabaikan hiruk pikuk disekitarnya, pandangannya lurus dan dengan wajah yang tanpa ekspresi, orang-orang sudah tau bahwa Delin adalah siswa yang tidak bisa diajak berkomunikasi, maka dari itu mereka tidak ada yang menyapa Delin sedikitpun.
Langkahnya terhenti diambang pintu kelasnya, Delin heran melihat kehadiran sosok baru dikelasnya, terlebih lagi sosok baru itu mendudukki bangku yang ada disebelahnya, ia bertanya dengan dirinya sendiri 'sejak kapan ada anak baru dikelas mereka?' Delin tak suka menerka-nerka tentang suatu hal yang terjadi, ia segera berjalan menuju ke bangkunya dan duduk dengan tenang disana, keterkejutannya tidak bertahan sampai tiga menit, setelah mendapatkan posisi ternyaman di bangkunya, Delin menenggelamkan wajahnya diatas tas usang yang tidak pernah dicucinya itu, menulikan pendengaran dan larut dalam imajinya sambil menunggu bel masuk berbunyi.
Antares memandang heran kearah gadis yang baru saja duduk disebelahnya itu, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal 'apa gadis ini tidak penasaran sama sekali dengan dirinya?' Ucap Antares pada diri sendiri.
***
Bel masuk berbunyi, tanpa aba-aba semua siswa yang sebelumnya bergerombol membentuk lingkaran kini telah bubar dan kembali ke bangkunya masing-masing.
Seperti biasa Delin hanya akan sibuk pada dunianya sendiri, kecuali jika guru yang ada didepan sedang menjelaskan. Antares mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen yang ada di tangannya, berusaha fokus pada pelajaran pagi ini, tapi tetap saja fokusnya selalu teralihkan karna puisi yang dibacanya tadi. Kata-kata yang tertulis membuat Antares salah tingkah, seolah lelaki manis yang ada dalam puisi itu adalah dirinya, padahal jelas sekali bukan, karna tentunya sang pembuat puisi tersebut tidak akan mengenal dirinya.
Antares melirik kesamping, melihat Delin yang fokus pada pelajaran tanpa memperdulikan sekitarnya. Kertas yang tadi dicurinya dari laci bangku Delin masih disimpan dalam saku celananya, rasanya ingin sekali ia mengenal gadis yang ada disampingnya itu, tapi ia bingung, bagaimana ia bisa menyita perhatian Delin?.
Antares mengeluarkan kertas puisi yang tadi dicurinya, ia berdehem dan menyodorkan kertas tersebut tepat kehadapan Delin.
"Punya lo, kan?"
Delin yang sebelumnya fokus dengan pelajaran, kini mengalihkan fokusnya pada kertas yang dipegang oleh Antares, matanya membulat menandakan kalau ia terkejut, tapi ia berusaha untuk menetralkan ekspresinya dan terlihat biasa saja
"Bukan"
"Lo emang ga pandai bohong ya"
"Emang bohong itu sebuah kepandaian?"
Sial. Antares merutuk dalam hati, ia memutar otaknya untuk mencari kata-kata lain agar bisa lebih lama bicara dengan Delin.
"Ah, ga gitu maksud gue, udah lupain aja deh, gausah bohong, ini ada nama lo dibawahnya"
Delin diam, segera diambilnya kertas itu dari tangan Antares lalu mencoret namanya yang tertulis disana
"Udah ga ada kan?" Delin menyimpan kertas tersebut di dalam tasnya, lalu kembali fokus pada pelajaran, tapi Antares tidak mau diam saja, ia segera mengeluarkan kertas lainnya yang juga sudah ditulisi dengan puisi dan disana masih tertulis nama Dandelina
"Kalau lo gamau ngaku, yaudah, gue tempel yang ini dimading sekolah besok pagi"
Delin kembali menatap Antares, kali ini gadis itu menunjukkan tatapan yang sama sekali tidak bersahabat
"Balikin!"
"Nggak, sampai lo mau ngaku kalau puisi ini buatan lo"
Delin menghela nafasnya
"Jelas itu punya gue, lo itu bego banget ya? Udah jelas ada nama gue"Antares tersenyum setelah mendengar pengakuan dari Delin, ia segera menyimpan kertas itu didalam saku celananya, Antares tidak memperdulikan Delin yang kini melemparkan tatapan tajam kearahnya karena tidak mengembalikkan kertas itu kepada pemiliknya.
"Dasar penipu, balikin kertas gue"
"Ga semudah itu"
Delin memilih untuk kembali fokus pada pelajaran, meladeni lelaki disebelahnya itu hanya akan membuang waktu dengan percuma dan akan membuatnya kesal.
"Kalo lo mau kertasnya, lo harus mau temenan sama gue"
Delin diam, tidak menjawab sama sekali
"Kalo gamau sih, gamasalah buat gue, tapi ya lihat aja nanti, puisi lo bakalan terpajang rapi dimading sekolah"
"Cemen banget si lo jadi cowok!" Delin mulai emosi menghadapi tingkah Antares, sedangkan Antares malah tersenyum senang melihat ekspresi kesal dari wajah Delin, baginya Delin itu lucu.
"Makannya temenan sama gue" Antares menggeser tubuhnya agar berhadapan dengan Delin
"Kalian berdua yang ada dipojok, maju kedepan!"
Suara bu Erin menginterupsi kegaduhan yang dibuat oleh Antares, dan mengalihkan fokus semua siswa yang sebelumnya memperhatikan papan tulis menjadi kearah dua orang yang duduk dipojok kelas. Antares yang sebelumnya menghadap kearah Delin langsung memutar posisi tubuhnya kembali menghadap kedepan, Delin yang masih terkejut cuma diam, sampai suara bu Erin membuat mereka berdua mau tidak mau harus maju
"Kerjakan soal ini dipapan tulis sekarang!" Titah bu Erin yang tak bisa dibantah
Antares dan Delin menghela nafas, dengan berat hati mereka harus mengerjakan soal matematika yang diberikan bu Erin, Delin merutuk dalam hatinya, bersumpah untuk menjauhkan Antares dari hidupnya agar ia bebas dari berbagai masalah dan kembali tenang.
Delin menyelesaikan soal yang diberikan Bu Erin dalam waktu yang singkat, tidak sulit bagi Delin untuk menyelesaikannya karna soal tersebut baru saja diterangkan oleh bu Erin, Delin dipersilahkan untuk kembali ke bangkunya karna telah selesai dengan hukumannya, sementara Antares ia masih sibuk berusaha memahami soal tersebut, ia sama sekali tidak mengerti materi tersebut, karena dari tadi ia tidak memperhatikan dan sibuk mengganggu Delin. Bu Erin menjewer telinga kanan Antares yang tak kunjung menyelesaikan hukumannya, Antares yang merasa kesakitan lantas meminta bu Erin untuk melepaskan jewerannya
"Bu, ampun bu, lepasin dong bu, sakit ni" Antares memohon dengan wajah yang sudah memerah
"Makannya kalau saya lagi ngejelasin itu didengerin, perhatikan, bukannya malah asik ngobrol"
"Iya bu, maaf"
Antares tidak berniat untuk melawan gurunya itu, ia hanya berusaha meminta maaf dan membujuk gurunya itu untuk memaafkannya, setelah beberapa waktu akhirnya bu Erin melepaskan jewerannya dan Antares dipersilahkan kembali kebangkunya, Delin hanya diam menatap ke papan tulis ketika Antares sudah duduk disebelahnya, ia begitu enggan untuk memperdulikkan lelaki disebelahnya itu, karena baginya memperdulikan Antares hanya akan membuat hidupnya menjadi rumit dan sial.***
"Mama... maaa"
Delin berteriak mencari ibunya, setelah bel pulang sekolah berbunyi Delin bergegas meninggalkan pekarangan sekolah tanpa menyapa siapapun, ia segera mencari angkutan umum, ia ingin cepat-cepat sampai dirumah karna tadi pagi ia meninggalkan ibunya sendirian dalam keadaan yang kacau, jika biasanya Delin enggan untuk pulang ke rumah karna malas melihat kedua orangtuanya bertengkar maka hari ini berbeda, seperti ada sesuatu yang tertinggal ketika ia harus meninggalkan rumah dan mengingat ibunya yang sedang dalam kondisi kacau, rasanya sekarang ia malah enggan untuk melangkah keluar rumah dan membiarkan ibunya sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangkah
Teen FictionHal terakhir yang bisa kamu lakukan adalah mengikhlaskan dan sekarang saatnya kamu untuk melangkah, memulai kisah baru dan melepaskan belenggu lama yang menyakitkan. - Sorakanlah kesedihanmu, tidak perlu air mata, karena terkadang, 'tawa' juga berh...