-09-

1.5K 239 4
                                    

Jisoo tampak berada di sebuah kafe, menunggu seseorang yang akan bertemu dengannya di kafe ini. Sesekali terdengar helaan nafas kasar yang keluar dari mulutnya. Mulutnya berdecak saat seseorang yang ditunggu itu belum muncul juga di hadapannya. Sementara perasaan Jisoo sudah tidak karuan. Jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba saja dia menjadi gugup saat memikirkan kejadian sesaat lagi. Jisoo memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya.

Sebuah tepukan yang mendarat di pundaknya membuat dirinya tenang seketika. Dia tahu siapa orang itu. Jisoo menatapnya dan melemparkan senyum manisnya. Orang tersebut juga membalas senyuman Jisoo. Jisoo melunturkan senyumannya saat orang tersebut telah menjatuhkan duduk di hadapannya.

"Mianhae, aku ada pekerjaan yang harus diurus dulu tadi." Jisoo menggeleng, "Gwenchana. Aku juga baru sampai."

"Kau sudah memesan minum?" Jisoo kembali mengangguk, menjawab pertanyaan orang itu.

"Lalu, apa yang mendorongmu mengajakku untuk bertemu, Jisoo-ya?" Tanya orang tersebut.

Jisoo melunturkan senyumannya. Dia meraih tangan orang tersebut untuk digenggamnya. Ditatapnya mata orang tersebut dengan begitu intens. Mata yang sebentar lagi, tidak akan pernah dilihatnya lagi di Amerika.

"Appa dapat kerjaan di Amerika yang mengharuskan dia pindah dan menetap disana." Ucap Jisoo kemudian.

"Jinjja?! Aku turut senang mendengarnya." Balas orang yang ternyata Jennie.

Jisoo menghela nafasnya, "Aku juga awalnya senang saat mendengar berita itu."

"Lalu, apa yang membuatmu bersedih?" Tanya Jennie.

"Appa memintaku untuk ikut pindah ke Amerika. Dan Eomma-ku juga sudah menyetujuinya." Jawab Jisoo.

Jennie terdiam. Senyum di wajahnya menghilang. Berganti tatapan tak percaya akan kalimat yang keluar dari mulut Jisoo. Jennie tahu segalanya tentang Jisoo. Tidak biasanya Jisoo menuruti perintah orang tuanya seperti ini. Pikiran Jennie tertuju pada senyum miring orang tua Jisoo padanya.

"Ka-kau serius?" Tanya Jennie.

Jisoo mengangguk, "Kau tau bagaimana sifat Appa aku bukan?"

"Tapi, tak bisakah kau tetap tinggal saja di Korea?" Jennie mulai terisak dengan pertanyaannya.

Lagi, Jisoo menggeleng, "Mianhae, Jennie. A-aku juga tidak tau harus berbuat apa."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Jennie. Hatinya terasa sakit saat mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut Jisoo. Dua bulan itu bukan waktu yang sederhana buat mereka membangun hubungan yang harmonis. Banyak tantangan dan masalah yang harus mereka hadapi bersama. Belum lagi, ayah Jennie yang terus menolak hubungan Jennie dan Jisoo.

"Jennie," Jisoo mengeratkan genggamannya pada tangan Jennie, "Aku harap kau mengerti dengan kondisiku."

Jennie mengangguk dengan air mata yang semakin deras, "Pergilah. Aku akan baik-baik saja disini."

"Tidak!" Jisoo menggeleng, "Aku tak akan yakin kau baik-baik saja saat aku tinggalkan nanti."

Jennie mengusap air matanya, kemudian memaksakan senyumannya pada Jisoo, "Aku--tidak suka mengekang orang. Jika memang itu menurutmu yang terbaik, maka pergilah."

Setelah berkata demikian, Jennie menarik tangannya dari genggaman Jisoo dan beranjak keluar dari kafe tersebut. Meninggalkan Jisoo dengan sejuta penyesalannya. Tanpa bisa ditahan lagi, Jisoo pun mengeluarkan air matanya dan menangis hebat di kafe itu. Dia tidak peduli dengan cibiran orang-orang disekitarnya. Dia mengeluarkan segala penyesalannya lewat air mata yang mengalir hebat.

Unwritten Feelings(Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang